Episode 38

154 10 6
                                    

Pertama-tama, Robby tidak langsung pergi dari tempatnya, karena Danzel kaburnya disini.

Robby bergegas keluar dari mobilnya, menyuruh semua para bodyguard untuk membantu mencari Danzel hingga ketemu.

Tidak juga diam, Robby bertanya pada orang-orang di sekeliling jalan yang sedang duduk, sekaligus kepada penjaga pom bensin.

"Apakah anda melihat laki-laki dengan baju putih dan celana coklat berdiri disini tadi?" tanya Robby harap-harap cemas. Semoga saja orang yang ia tanyai ini melihat Danzel.

"Oh, maksud anda cowok tampan yang tadi pergi bersama cewek cantik? Saya tadi dengar memanggil Danzelku sayang. Mungkin itu kekasihnya. Memangnya kenapa?"

Akhirnya Danzel ketemu juga. "Dimana dia sekarang? Kalau boleh tau pergi ke arah mana?" tak akan Robby biarkan Danzel bebas berkeliaran kemana-mana. Danzel itu harus di kurung dan di awasi. Huh, kabur-kaburan seperti bur0nan saja.

"Kesana. Mereka naik taksi."

"Terima kasih atas informasinya," langkah Robby berlari kecil kembali ke mobilnya. Entah kemana Danzel akan pergi.

***

Jane tak bisa beristirahat, perutnya terasa keram.

"Apa datang bulan ya? Hm, aku kecewa sekali kalau memang datang bulan. Padahal harapanku telat. Siapa tau hamil anak Danzel," tutur Jane sendu, ia jadi teringat bagaimana marahnya Danzel saat ia meminta hal itu.

"Danzel?" menatap Danzel menggoda. Lihatlah Jane saat ini, bersandar dan meliukkan tubuhnya berusaha menarik gairah Danzel.

"Ayo, kita lakukan sekarang," ucap Danzel. Hatinya tidak tenang, ia sama sekali tidak tertarik dengan bentuk tubuh Jane yang terbilang berisi itu.

"Danzel, tolong lepaskan pakaianku," pinta Jane pasrah. Seakan memberikan ruang izin berkuasa untuk Danzel.

Setengah mati Danzel gugup, tangannya gemetar melepas pakaian Jane satu persatu.

Terpampang tubuh Jane tanpa sehelai kain apapun.

"Mulailah Danzel. Ingat, pesan mama Anette? Bawakan kabar baik, cucu mungil hadir diantara kita," tangan Jane mengalung di leher Danzel. Menarik Danzel agar mendekapnya lebih erat.

"Sebentar," melepas tangan Jane yang bergelayut manja. Danzel hampir saja kehabisan nafas. Jane benar-benar membangkitkan hasratnya.

Grep.

Jane menarik tubuh Danzel ke dalam pelukannya.

Danzel merasa gelisah, terutama di bagian bawahnya sudah mengeras.

"Lepaskan, aku bisa memulainya sendiri," menyingkirkan tangan Jane yang melingkari pinggangnya. Danzel melepas pakaiannya satu persatu.

Setelah peristiwa semalam, Danzel sama sekali tidak menghiraukan Jane.

"Danzel, kenapa kau diam? Sariawan ya? Atau puasa bicara?" tanya Jane cerewet, ia tak ada hentinya mengganggu Danzel dari suaminya itu sarapan, bermain hp, menonton tv. Jane tetap mengusiknya.

"Semalam kau lembut sekali. Terima kasih Danzel. Tapi, aku tak merasakan hangat. Apa kau di luar? Kenapa?" sedikit kecewa Jane menanyakan hal ini. Seharusnya Danzel mengeluarkannya di dalam saja.

Menoleh, emosi Danzel sudah di ambang batas. "Untuk apa? Agar kau bisa punya anak dariku? Biar mama senang? Ayah juga bahagia? Mimpimu terlalu tinggi. Sampai kapanpun, aku hanya menginginkan anak dari Stella, bukan dirimu Jane Margareth!" Danzel menunjuk Jane dengan sorot mata tajamnya.

Suara Jane melemah. "Apa? Jadi benar? Kau sengaja di luar? Bukan dalam? Demi Stella ya?" sebisa mungkin Jane tidak menangis kali ini, ia harus terlihat tegar di hadapan Danzel.

My Billionaire Husband's [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang