Danzel menatap Jane datar. "Seandainya aku tidak perlu mencintai seorang wanita seumur hidupku. Itu jauh lebih baik," ujarnya dingin, ia menyesal mencintai Stella berlebihan sampai membangun harapan untuk menikah, kemudian waktu tak terduga mempertemukannya dengan Gabriela, sahabat masa kecilnya yang hidup sebatang kara di Surabaya. Danzel tidak tega membiarkan sahabatnya hidup sendirian. Tak ada pilihan lain kecuali menikahi Gabriela serta menafkahinya.
"Dasar plin-plan ya. Kemarin romantis, sekarang marah-marah. Menyesal mencintai wanita? Dimana rasa bersyukurmu? Cinta itu datang karena Tuhan yang menggerakan hati kita Danzel," mencoba berbicara baik-baik dan lemah lembut, Jane tak boleh tersulut emosi karena masih berada di kantor. Daripada memancing keributan dengan Danzel, lebih baik ia bertutur kata lembut, mengalah saja.
Mendapatkan reaksi amarah dari Jane, Danzel berusaha menghirup nafasnya dalam-dalam berharap emosinya mereda. Tanpa sadar ia berbicara nada tinggi yang tentunya akan menyakiti hati Jane.
Kakinya melangkah menghampiri sang istri. Tangannya menyelipkan rambut Jane menghalangi wajah cantiknya. Danzel ingin menatapnya lebih lama. Bulu mata lentik tanpa olesan maskara, binar mata indah bak air berkiluan karena sinar mentari, bibir merah muda kecil yang menggoda, pipi sedikit berisi daripada sebelumnya. Jane mengalami banyak perubahan selama menjadi sekretarisnya beberapa bulan ini. Istrinya sudah pandai merawat diri.
"Maafkan aku ya? Aku tak bermaksud memarahimu sayang," suara lembut menenangkan itu membuat Jane manatap Danzel tanpa berkedip. Apakah suaminya ini mempunyai dua kepribadian ganda? Kadang marah kadang baik.
Anette yang berniat memasuki ruangan meeting melihat pemandangan itu pun senang. Perasaan cinta Danzel sudah tumbuh seiring waktu.
"Kalian menggagalkan meeting hari ini biar ada waktu luang berduaan?" tanya Anette menggoda, sontak Danzel menjauhkan dirinya dari Jane.
"Mama?" sedikit salah tingkah, Danzel merutuki dirinya yang tidak melihat pintunya masih terbuka. Seharusnya tadi di kunci saja! jeritnya dalam hati. Jika mamanya menerobos masuk begini waktu berduaannya bersama Jane terganggu.
"Danzel sakit ma. Makannya meeting di batalkan. Ya kan Danzel?" tak mau mengatakan jawaban sebenarnya, lebih baik Jane membuat alasan bohongnya untuk menutupi bahwa Danzel tengah memikirkan Gabriela si istri siri-nya.
"Apa? Sakit?" Anette mendekat, ia mengecek suhu tubuh Danzel dengan telapak tangannya. Merasakan keningnya dalam suhu normal, Anette merasa di kerjai. "Kau bohong? Sakit tapi suhumu normal."
Gagal sudah membohongi mama Anette. Jane mencari alasan lain supaya Danzel tidak di curigai. Meeting tadi bukanlah di akhiri Danzel sendiri, melainkan Danzel tidak fokus berkosentrasi sampai klien memilih pergi dan membatalkan kerja samanya.
"Danzel, kelelahan. Semalam dia kurang tidur, begadang nonton bola ma," entah mama Anette percaya atau tidak, Jane memperhatikan wajah serius itu yang menatap Danzel curiga. Ayolah ma, percayalah batin Jane ketar-ketir sendiri.
"Lain kali jangan begadang. Jam 9 tidur. Menyepelekan dampak begadang itu tidak baik. Apalagi meeting-nya berhenti," ucap Anette menasehati Danzel.
'Kenapa Jane membelaku? Biarlah aku menjawabnya, tapi Jane tidak memberikan kesempatan padaku berbicara sepatah kata pun,' Danzel membatin, padahal selama ini ia selalu membuat Jane sakit hati karena ketidakadilan cintanya dalam pernikahan ini.
***
Pukul 7:00 pm malam. Danzel tidak mau keluar dari tempat bertapanya bernama kamar. Sudah terhitung tiga jam lamanya semenjak pulang dari kantor.
"Betah banget sih di kamar. Emang kamar ada apanya? Bahkan suara air orang mandi tidak ada. Danzel sedang apa di dalam?" karena penasaran, Jane melangkah mengendap-endap mendekati pintu kamar Danzel. Tangannya membuka knop pintu secara perlahan, jangan sampai menimbulkan bunyi apapun. Tapi aksinya itu urung saat mendengar samar-samar suara Danzel yang sedang berbicara entah dengan siapa.
"Wah harus nguping lagi nih!" mendekatkan telinganya di pintu, Jane menyimak perbincangan lirih hampir mirip bisikan.
"Danzel, pilihanmu siapa?" tanya Gabriela menatap Danzel penuh harap. Jangan heran Gabriela berhasil menyusup masuk entah sejak kapan. Danzel yang tadinya sedang mengistirahatkan dirinya pun urung karena koas di kenakannya di sibak, tangan-tangan nakal mengelus perutnya sampai Danzel terbangun, wajar saja sebagai laki-laki siapa yang tidak merasa sensitif dan merangsang kalau di sentuh bagian perut.
"Pergi. Jangan nekat dan gila kau masuk ke apartemenku Gabriela," tekan Danzel tajam. Malam-malam begini para bodyguard sedikit melonggarkan penjagaannya.
GREP
Menarik Danzel ke dalam pelukannya, Gabriela bertanya sekali lagi. "Pilih siapa? Aku, atau Jane?" menunggu Danzel menjawab, tangan Gabriela mengalung di leher Danzel. Tapi suaminya itu menyentak kasar tangannya dan mendorong tubuhnya.
Hanya tersungkur beberapa jarak saja. Bibir Gabriela tersenyum senang. Danzel terlalu takut. Dasar suami pengecut! Memilih saja tidak becus!
Tak ingin membiarkan Danzel diam, Gabriela kembali mendekat, namun kali ini ia mendorong Danzel ke ranjang. Menindihnya mengunci Danzel agar tak bisa lagi menghindarinya.
"STRESS! GILA! GO-" ucapan Danzel terbungkam karena Gabriela mel*mat bibir itu dengan rakusnya.
"Emmhh ahh" suara desahan lolos dari bibir Danzel. Ia berusaha mati-matian untuk tidak ikut larut dalam hasrat membabi buta Gabriela.
Jane terbelalak mendengar desahan Danzel yang seperti menikmati. Dari suara itu sudah cukup bahwa Gabriela ada di dalam kamar Danzel, bukan bersumber dari suara telepon.
BRAKK
Saking emosinya Jane mendobrak pintu kamar Danzel sekuat tenaga hingga berhasil membuka pintu yang tengah di kunci dari dalam. Benar-benar kekuatan Jane saat marah melebihi Hulk.
"APA-APAAN INI?" nafas memburu dan nada sedikit meninggi, sontak Danzel dan Gabriela menjauhkan dirinya.
"Sayang, ini salah paham. Gabriela lebih dulu menciumku," membujuk sang istri agar emosi Jane tidak meluap-luap, ia masih kaget saat Jane menerobos masuk ke dalam kamarnya hanya bermodal mendobrak pintu saja. Kekuatan wanita ini memang tiada batasnya. Patut di acungi jempol!
"Penjelasanmu omong kosong! Bodoamat Danzel. Sini! Jalang pelakor tidak pantas di apartemen masuk sembarangan. Dasar maling! Penyusup!" menarik kasar tangan Gabriela, mencengkram lebih kuat sampai Gabriela meringis kesakitan.
Tak membiarkan Jane menyakiti Gabriela, meskipun ia masih marah dengan sahabatnya. Danzel tidak mau Gabriela tersakiti.
"Jane! Lepaskan dia! Jangan memancing keributan di apartemenku. Kalau Robby dan bodyguard lainnya tau bisa gawat!" betapa paniknya Danzel saat Jane akan membuka pintu namun niatnya itu urung.
"Oh, pilih Gabriela? Pilih wanita jalang penggoda ini? Matamu buta! Di kelabui rayuan dan nafsu!" Jane berani menyuarakan hatinya, selama ini ia hanya diam memendam perasaan cemburu.
"Aku masih-"
"MASIH APA! INI AMBIL JALANGMU!" menghempas Gabriela sampai terjatuh bersimpuh di bawah kaki Danzel.
"Apa-apaan kau Jane. Jangan sakiti Gabriela!" bukannya berpihak pada Jane, Danzel lebih memilih membela sahabatnya sendiri.
"Sudah sayang, aku tidak apa-apa," bibir merah muda menggoda tersenyum samar, keadaan kacau ini dapat ia manfaatkan agar Danzel memperdulikannya di bandingkan Jane, istrinya.
***
Hello menegangkan banget ya klo Jane emosi tiba2 tenaganya kuat banget
KAMU SEDANG MEMBACA
My Billionaire Husband's [END]
RomanceBiar nambah referensi cerita semua genre catat profil wattpadku atau follow❤ Warning!! Beberapa part terdapat adegan dewasa. Untuk 18+ Konflik bertahap Kejutan episode terpanjang!!! Jane terpaksa harus menikah dengan Danzel demi biaya pengobatan ib...