Episode 75

71 2 1
                                    

Gk fokus nyalin😢

Danzel mengangguk, ada rasa simpati melihat keteduhan mata Gabriela yang tampak ingin bergantung dengan dirinya saja. Ia seperti harapan besar bagi Gabriela.

"Bagaimana istrimu? Apa dia tidak berbuat ulah?" menyenderkan kepalanga di bahu Danzel, mencari kenyamanan. Selama ada Danzel disisinya, tidak akan pernah ia mengalami sebuah kesepian.

'Ada banyak sekali ulahnya. Selama aku belum menemuimu dua hari belakangan,' batin Danzel menjawab, ia simpan sendiri daripada harus di utarakan kepada Gabrela. Ia tak mau Gabriela terlalu banyak pikiran dan berpengaruh pada kesehatannya juga janin yang sedang di kandung.

"Semuanya tetap tenang. Jane selalu mematuhiku. Tidak mungkin dia keluar dari batasannya," jawab Danzel, meyakinkan Gabriela supaya tidak memikirkan Jane yang akhir-akhir ini selalu membuntutinya kemanapun ia pergi. Sampai mengacaukan kencan makan siang romantis bersama kekasih barunya.

Senyum Gabriela terukir di bibirnya, setidaknya ia tak perlu khawatir. Jane mana mungkin melayani Danzel sepenuhnya, menghayati perannya sebagai seorang istri sah di mata negara juga agama.

***

"Nona Jane yakin? Disini tempatnya?" tanya Robby ragu, ia di perintahkan Jane agar menuju ke rumah kosong yang dulunya sering di kunjungi oleh Danzel. Merasa kehadiran suaminya tiba-tiba mendadak hilang tidak ada di kamarnya, pikiran Jane hanya tertuju pada rumah kosong itu. Robby sendiri masih tak mengerti meskipun sudah pernah mengikuti Danzel dan mendengarkan perbincangan Danzel bersama seorang wanita yang mengaku hamil anak dari Danzel. Sungguh, ia tak dapat membayangkan bagaimana kecewanya perasaan Jane kala mengetahui fakta menyakitkan ini.

Jane mengangguk. "Benar. Kalian tetap berjaga-jaga disini, Robby ikut aku," tanpa berlama-lama lagi, Jane keluar. Langkah bergegasnya terlalu terburu-buru, apakah Danzel memang ada di rumah Gabriela atau tidak. Insting perempuannya kuat, tidak mungkin dugaannya meleset.

Danzel menyuapi Gabriela roti tawar biasa. Ia membelinya di dekat supermarket yang tak jauh dari rumah. Terlihat Gabriela memakannya dengan lahap, meminta lagi dan lagi sampai roti tawar sebanyak tiga pack itu ludes habis tak tersisa.

"Hebat sekali istriku ini. Yakin berat badanmu tetap normal?" goda Danzel tersenyum manis kepada Gabriela, sahabatnya itu paling tidak suka apabila tubuhnya mengalami penambahan berat badan. Katanya gendut membuat tubuh sexy-nya hilang.

"Selama bayi ini belum besar, berat badanku masih sama," Gabriela tak berpengaruh dengan ucapan Danzel yang terdengar menyebalkan di telinganya. 'Kalau saja bukan demi menguras hartamu, dan mengusirmu pergi, aku tidak mau terlalu membuang-buang waktu seperti ini. Berdua-duaan, juga bersikap romantis di waktu tertentu. Pantas saja Stella langsung mengakhiri hubungannya, meminta putus karena Stella juga wanita yang sama seperti diriku. Menginginkan hartamu,' batin Gabriela dalam hatinya.

"DISINI KAU RUPANYA? KABUR MENEMUI GABRIELA?" mendorong kasar pintu utama yang sudah lapuk, suara lantang Jane menggema ke seluruh ruangan. Sontak membuat Danzel masih di dalam kamar Gabriela pun segera keluar, mendengar suara sang istri sedang di kelilingi amarah.

Mendapati Jane berdiri di ambang pintu, Danzel menghampiri Jane.

"Aku menemui Gabriela karena dia sakit," jawab Danzel jujur. Tapi tidak untuk membeberkan fakta bahwa Gabriela istri sirinya.

"Sakit?" ulang Jane sedikit tak percaya. "Gabriela siapamu? Sampai rasa pedulimu begitu besar?" mengulik lebih dalam, mencari tau sendiri dari mulut Danzel. Percuma Jane mendapatkan faktanya, kalau Danzel tidak mengakuinya di depan matanya langsung.

"Teman," dengan cepat Danzel menjawabnya. Ia tidak boleh sampai gugup atau menampilkan gerakan gelisahnya. Tetal tenang dan sabar menghadapi Jane, istri penasaran yang selalu ikut campur.

"Aku tak percaya Gabriela temanmu," langkah Jane tak sabaran memasuki kamar Gabriela. Melihat tadi Danzel keluar dari kamar itu, kepala Jane rasanya mendidih. Pikiran-pikiran negatif berspekulasi bahwa Danzel telah melakukan hal diluar batas seperti yang sudah-sudah bersama Stella dulu.

Gabriela masih terbaring dan menunggu Danzel pun terkejut melihat Jane berhasil masuk kamar.

"Wanita murahan. Perebut suami orang!" meraih selimut yang menutupi setengah tubuh Gabriela, melemparkannya ke lantai. Jane melihat tubuh Gabriela masih terbalut baju, itu artinya Danzel belum melakukan hal diluar batasnya bersama Gabriela. Ini masih aman, batin Jane.

Gabriela mengernyit tak mengerti. "Perebut? Aku hanyalah istri-" tersadar akan ucapannya hampir keceplosan. "Teman, masa sekolah Danzel," segera mengubah jawabannya lebih cepat, memaksakan senyumannya. Berharap agar Jane tidak salah paham lebih dulu. Ia masih betah menyembunyikan status pernikahan sirinya.

"Sudah ku duga," berkacak pinggang menatap tajam Gabriela. Melihat sekeliling kamar sederhana, pandangan Jane terjatuh pada semangkuk bubur lembut diatas meja. "Jangan pernah merebut kebahagiaan milik orang lain. Percayalah, kebahagiaan yang berhasil kau rebut tidak akan bertahan lama. Semuanya akan segera berakhir lebih cepat bersama rasa sesal," berkata bijak menasehati Gabriela. Ia sudah lelah berbagai wanita berusaha merayu Danzel, ingin mendapatkan cinta suaminya termasuk harta kekayaannya.

"Kau tidak tau ya? Aku sedang hamil. Dan ini anak, Danzel," sedikit menggoda Jane, ingin tau bagaimana reaksi istri sah Danzel itu. Mengusap perutnya yang masih rata, menunjukkan raut wajah kebahagiaannya, rasa syukur telah berhasil mengandung anak Danzel lebih cepat di bandingkan Jane yang sudah menikah dengan Danzel sejak lama.

"Kau gila! Itu pasti anak dari pria lain," geleng Jane tak habis pikir. Gabriela terlalu berubah-ubah saat mengaku jujur dan kini jujurnya mengungkap suatu kebohongan yang memang sedang Danzel sembunyikan darinya selama ini. Kehamilan Gabriela.

Danzel masuk, setelah ia membiarkan Robby menunggu diluar saja daripada mendengar perdebatan kecil antara Jane dan Gabriela di kamar. Danzel akan menyelesaikannya sendiri. Jane harus secepatnya pergi. Sebelum Gabriela kenapa-napa.

"Apa yang di katakan Gabriela itu benar. Dia sedang mengandung anakku," akunya merasa bangga, lain lagi lubuk hatinya masih mempertanyakan siapakah ayah dibalik bayi yang di kandung Gabriela. Bukanlah dirinya, karena usia pernikahan terpaut jauh, baru saja berusia 9 hari. Tidak mungkin secepat itu Gabriela terbuahi.

Jane menatap nanar Danzel. "Untuk apa? Karena aku tak bisa hamil?" merasa kalah dan tak berguna, ia sendiri menginginkan kehamilan pertamanya. Namun apalah daya saat malam bulan madu di Perancis justru Danzel sama sekali tidak ingin memberikan benihnya hanya karena tidak sudi memiliki anak darinya.

Mengangguk pelan. "Kau mandul," tuduhnya langsung. Padahal Jane belum tentu mandul, ia mencari-cari alasan saja supaya Jane terpojokkan tak bisa lagi berkutik.

Mendekati Danzel. Janr berkata. "Mandul, tapi benihmu saja tidak ada di sini," mengusap perutnya. Menginginkan hadirnya seorang anak hanyalah mimpi angan-angan belaka saja. Tidak mungkin. Tapi setelah Jane pikir matang-matang, berharap memiliki anak dari Danzel hanya membuang waktu. Sudah pasti Danzel tidak menginginkannya. Lebih baik Jane menundanya, dan memilih tidak hamil sampai perpisahan bernama perceraian itu tiba.

"Kau mau? Berapa yang kau bayar? Aku tak bisa memberikannya secara gratis dan cuma-cuma," ledek Danzel tersenyum smirk. Jane langsung berpaling, merasa malu.

"Tidak perlu. Untuk apa juga aku membayar mahal dan mebuang separuh uang tabunganku demi sebuah benih untuk membuahi rahimku?"

Gabriela hanya menyaksikan perselisihan menegangkan keduanya. Danzel sangat kuat, Jane mencoba mengalah dan mundur.

'Semoga saja Jane tidak membayarnya. Bisa gawat kalau Jane yang hamil anaknya Danzel,' ucapnya merasa gelisah dalam hatinya.

***

My Billionaire Husband's [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang