"Berati kau menyakiti hati mamaku. Sama saja kau mengecewakan harapannya," jawab Danzel beralasan. Agar Jane tidak lagi berpaling dengan cara mencari laki-laki lain yang tak bukan adalah sahabat masa SMA-nya dulu.
"Kau juga sama. Menyakitiku sama saja mengecewakan wasiat ibuku. Itulah mengapa aku selalu cemburu, yang berarti tanda jatuh cinta," jelas Jane terkesan dingin. Danzel tak pernah peka dengan perasaannya.
Robby yang berada di tengah-tengah dua kubu saling berselisih pun merasa bingung.
"Permisi, saya pergi dulu Tuan," pamit Robby langsung pergi. Menyeramkan sekali diantara Danzel dan Jane yang tak pernah akur.
"Bagus, pergi saja sana," usir Danzel masih marah. Kembali menatap Jane. "Jangan percaya diri setelah aku mengakui dirimu sebagai istriku. Nafkah saja tak pernah ku berikan."
"Tapi nafkah batin? Kau pernah," senyuman miring Jane remeh. Danzel melupakan malam indah di Perancis saat itu. Sengaja melupakannya demi Stella.
"Mulai sekarang, batasi komunikasimu dengan Stella," titah Jane tak terbantahkan. Entah Danzel menyanggupinya atau tidak.
"Apa? Kalau kau menyuruhku membatasi Stella, kau juga harus menjauhi Haris dan Daniel," Danzel mengikuti langkah Jane yang menuju ruang tengah.
Jane tak menggubris Danzel terus menyuarakan protes ketidaksetujuannya.
"Hoamm. Aku mengantuk sekali," mencari posisi yang pas untuk tidur. Sudah terbiasa Jane tidur di sofa panjang di bandingkan kamar Danzel yang seharusnya ia tidur disana dengan nyamannya.
"Jane! Bangun, atau aku akan-" ucapan Danzel berhenti saat suara dengkuran keras Jane yang sangat mengganggu pendnegarannya.
"Berisik! Mimpi apa aku mempunyai istri suka ngorok seperti ini," omel Danzel menggerutu sendiri.
Saat Danzel sudah berlalu pergi, Jane terkekeh. Lucu sekali melihat wajah Danzel ketika sedang marah.
"Suamiku arogan, tapi cemburuan," balas Jane yang tidak akan di dengar Danzel, karena suaminya itu kembali memasuki kamar guanya.
***
Keesokan harinya Danzel mendiamkan Jane. Bahkan Danzel tidak sarapan, jauh berbeda dengan Jane yang makan terlebih dahulu sebelum menjalani aktifitas berat seperti di kantor. Dan terpaksa Danzel harus menunggu Jane hingga selesai sarapan.
Di lain tempat, Stella sudah siap menyamar sebagai Rachel, office girl cupu yang selalu memakai kacamata bundar, alis yang terlalu tebal, dan memasang gigi palsu sedikit maju. Danzel tidak akan mengenalinya.
"Demi menjauhkan Danzel dan Jane. Semangat Rachel!" kesulitan saat Stella berbicara. Tidak apa, penyamaran hanya berlangsung 8 jam saja setelah itu ia kembali menjadi seorang Stella.
***
Baru saja sampai, Stella langsung di hadang oleh Anette. Sontak jantungnya berdebar tak karuan, belum lagi wajah Anette yang galak itu membuat nyalinya ciut. Apakah dirinya ada salah sampai Anette menatapnya tajam seperti itu?
"Bersihkan ruangan Danzel sekarang juga. Kotor sekali sejak kemarin. Apa kau becus huh? Atau cuma malas-malasan saja?" Anette memarahi Rachel.
"Kotor?" Stella masih tak percaya, kemarin memang ia hanya membersihkan kaca jendela ruangan Danzel, tidak menyapu sama sekali. Saat itu ingin memantau Danzel saja. Berdua dengan Jane dalam satu ruangan membuat hati Stella tidak tenang.
Anette mengangguk. "Benar, sekarang juga bersihkan," titahnya dan melenggang pergi.
Stella mengangguk antusias. Untuk apa menolaknya? Justru ia semakin senang dapat melihat Danzel setiap detiknya walaupun sebentar saja.
***
Danzel duduk sendirian disana. Tidak ada Jane. Inilah kesempatan emas Stella untuk mencuri-curi kesempatan dalam kesempitan.
'Jikalau aku mengaku sebagai Stella. Apakah Danzel akan tutup mulut ya?' tanyanya dalam hati. Antara ragu dan ingin. Stella dilema.
"Permisi, aku mau menyapu membersihkan ruangamu," ucap Stella mengobrol dengan Danzel sebagai orang lain. Danzel tampak acuh, lebih fokus dengan kertas-kertas putihnya.
"Sayang," panggil Stella manja. Sontak Danzel menoleh kaget.
"BERANINYA KAU MEMANGGILKU SAYANG?" sedikit berang Danzel memarahi office girl baru di hadapannya, ia tak pernah melihatnya sebelumnya.
Stella terkekeh. "Ini aku, Stella," jawabnya memperkenalkan diri. Tangannya menyentuh lengan Danzel, memberikan usapan lembut disana. Tapi Danzel langsung menepisnya kasar.
"Jangan coba-coba menyentuhku. Percuma saja kau mengaku sebagai Stella. Aku tau kau hanya bermain-main dan menggodaku," menjauhkan dirinya dari office girl yang terkesan cupu itu.
"Oh ya?" Stella tertantang. "Namamu adalah Danzel Gilbert. Danzelku sayang," menarik dari Danzel hingga tubuhnya menempel. Stella sigap memeluk Danzel.
Dari suaranya saja sudah jelas bahwasannya office girl cupu di hadapannya ini ternyata benar-benar Stella, kekasihnya.
"Bagaimana bisa kau masuk dan melamar kerja disini?" tanya Danzel gelisah sendiri.
Stella terkekeh. Ia ingin mengerjai Danzel.
"Aku melamar kesini demi bisa mengawasimu dan bertemu dengamu," menyandarkan kepalanya di bahu Danzel, mencari kenyaman disana.
Hingga suara Jane mengejutkan Stella dan Danzel.
"Apa-apaan ini? Kau berpelukan dengan office girl?" tanya Jane menyipit curiga.
Danzel gelagapan. "A-apa maksutmu? Dia bukan-ah itu cuma tak sengaja saja," hampir saja Danzel keceplosan mengatakan bahwa Stella adalah office girl barunya.
"Sama saja Danzel. Kau ingkar dengan janjimu!" ketus Jane tidak suka. Ia bisa melihat pancaran cinta di mata Danzel saat menatap office girl cupu itu.
"Kau juga, kenapa ada di ruangan ini?" sedikit keras suara Jane bertanya. Tatapan tajamnya seakan mengintimidasi.
Stella menunduk tak berani menatap mata Jane. "A-aku disuruh oleh mama Anette membersihkan ruangan Danzel karena masih berserakan. Maka dari itu, aku disini," jawab Stella gugup dan gemetaran.
Jane sepertinya tidak asing dengan sebutan mama Anette. Tidak mungkin seorang office girl kantor berani memanggil Anette sebagai seorang mama.
"Aku tau kau siapa," langkah Jane mendekat perlahan, tampak Stella memundurkan langkahnya takut.
'Ya Tuhan, apakah Jane sudah mengetahui penyamaranku?' batin Stella tidak tenang, ia menatap Danzel seakan melempar kode pertolongan agar Jane tidak membongkar penyamarannya.
Danzel menarik Jane menjauh dari Stella. "Ayo, sebentar lagi kita akan bertemu client dari Singapura. Jangan mengulur waktu," menjauhkan Jane. Stella pun selamat.
Setelah Jane dan Danzel pergi, Stella menyeka keringatnya. Jantungnya berdebar tak karuan kala Jane akan membongkar penyamarannya.
"Aku tadi keceplosan menyebut mama Anette. Pantas saja Jane langsing mencurigaiku," menyalahkan dirinya sendiri karena kurang berhati-hati.
***
Jane meronta minta di lepaskan. "Danzel! Kenapa kau menggiringku seperti kambing kotor yang mau di mandikan! Berhenti Danzel!" memukul tangan Danzel yang mencengkarm kuat, Jane juga merasa kesakitan. Danzel tak peduli dan tetap menyeretnya paksa.
Mendengar kata kambing di mandikan, hampir saja membuat Danzel tertawa lepas. Tapi sebisa mungkin ia memasang elegannya menjadi Danzel yang cool dan cuek. Kalau ia tertawa karena humor receh yang di berikan Jane, pasti istrinya itu senangnya bukan main menyaksikan senyumannya secara cuma-cuma.
Para karyawan yang tak sengaja melihat kemesraan Jane dan Danzel pun berbisik senyum-senyum.
"Mereka cocok ya."
"Cocok sekali. Sampai Danzel menggandeng tangan Jane."
***
KAMU SEDANG MEMBACA
My Billionaire Husband's [END]
RomanceBiar nambah referensi cerita semua genre catat profil wattpadku atau follow❤ Warning!! Beberapa part terdapat adegan dewasa. Untuk 18+ Konflik bertahap Kejutan episode terpanjang!!! Jane terpaksa harus menikah dengan Danzel demi biaya pengobatan ib...