Episode 72

56 4 0
                                    

"Mohon maaf, saya tidak sengaja mbak," si waitress merasa bersalah, apalagi melihat kondisi pelanggannya yang sudah teelanjur basah kuyup. Bau teh menyeruak di indra penciumannya.

"Tidak sengaja kau bilang huh? Ini rambutku jadi lengket, basah, bau teh. Pesanan makananku juga tercecer," omel Jane habis-habisan. Ia berusaha berdiri, rasanya malu di perhatikan seperti ini. Tunggu, di perhatikan? Mata Jane menelisik sekitar mencari-cari Danzel yang kini juga menatapnya dengan pandangan datar, tapi wanita cantik itu menyunggingkan senyuman remehnya menatap dirinya prihatin.

"Sekali lagi saya minta-" ucapan waitress itu tersela oleh suara berat dan terkesan dingin milik Danzel.

Menunduk berbisik di dekat telinga Jane. "Kau menguntitku?" ia bertanya datar tanpa ekspresi. Bagaimana nantinya Robby melihat dirinya sedang kencan berdua dengan wanita cantik di kafe ini? Bisa gagal rencananya untuk menyingkirkan Jane.

Tersenyum miring, Danzel tetap tenang meskipun tertangkap basah berdua dengan wanita lain.

"Menguntitmu karena pulang sendiri. Tiba-tiba menghilang, dan berakhir disini. Aku pikir, dia Gabriela. Tapi bukan," menggeleng pelan, Jane ingin mengetahui namanya. Ia tak pernah melihatnya sebelumnya selain Stella. Untuk Gabriela ia tak sengaja pernah melihat foto Gabriela melalui foto profil wassap pop-up notifikasi di layar kunci ponsel Danzel.

"Pulang. Jangan mengadu pada Robby atau mama. Aku masih mau menghabiskan waktu makan spesialku yang terbuang gara-gara dirimu," menjauh sedikit dari Jane. Danzel kembali ke tempat duduknya. Menatap Jane yang kemudian pergi keluar dari kafe.

"Dia siapamu?" tanyanya dingin. Ada kecemburuan terselip disana. Melihat interaksinya saja hatinya sudah panas.

"Istriku," jawab Danzel kelewat jujur. Ia tak mengerti bahwa wanita di hadapannya ini sedang mengaguminya.

"Istrimu?" ulangnya tak percaya. Seingatnya Danzel pernah bilang masih single, dan tak pernah jatuh cinta dengan wanita manapun. Katanya hatinya membeku, sulit di taklukan. Maka dari itu semua wanita yang menyukai Danzel terang-terangan perlahan mundur. Tak ada keberanian lagi untuk mengungkapkan rasa sukanya. Takut menjadi sasaran amarah Danzel sekaligus tatapan tajamnya membuat hati pada wanita mati kutu.

"Tenang saja," meraih jemari lentik dengan cat kuku putih berkilauan. Sangat indah di mata Danzel. "Cintaku, untukmu. Bukan istriku," gelengnya yakin, ia sudah muak bersama Gabriela, selain membohonginya dari jauh-jauh hari sebelum pernikahan sirinya tiba, juga cinta Gabriela yang terlalu dalam sampai hamil dan mengaku itu buah hatinya.

'Bagus, kau baru saja terperangkap dalam jebakanku. Menangnya siapa yang mau mencintai suami orang? Itu bukan levelku, merebut bukanlah suatu kebanggaan bagiku. Tapi karena Danzel punya segalanya, aku ingin mengurasnya sampai habis. Sampai Danzel bangkrut dan miskin,' batinnya jahat, ia tidak mencintai Danzel meskipun wajahnya tampan dan senyuman yang menawan.

Sekarang, Danzel terjebak dalam permainan wanita barunya. Ia tak pernah merasa bersyukur dan cukup memiliki wanita setulus dan sebaik Jane. Tidak meminta apa-apa kecuali komunikasi yang romantis dan sikap hangatnya.

***

Melihat Jane tidur dengan nyenyaknya, amarah Danzel memuncak. Bagaimana bisa istrinya itu bersantai istirahat? Sedangkan kepulangannya dari kafe tidak disambut dengan baik?

Mengambil segelas air diatas meja. Mengguyurkannya tepat di wajah Jane.

Merasakan sensasi dingin yang tiba-tiba menyentuh wajahnya. Jane terbangun. Mengusap butiran air menetes dari matanya, menatap Danzel berdiri tepat di sebelahnya.

"MAKSUDNYA APA INI? AKU DI SIRAM?" tanya Jane murka, bisa-bisanya Danzel membangunkan tidur nyenyaknya. Baru kali ini Danzel mengganggu waktu istirahatnya usai menjalani aktivitas beratnya, bekerja di kantor setiap harinya.

Danzel terkekeh. Lucu sekali kalau istrinya sedang marah.

"Suami datang pulang, tidak ada sambutan, senyuman ramah. Dan makanan. Dasar pemalas! Istri tak becus!" maki Danzel habis-habisan, perutnya sudah lapar keroncongan tapi di meja makan kosong tidak ada hidangan apapun.

"Loh loh. Bicara apa tadi? Datang pulang? Di sambut? Makanan?" terkekeh merasa lucu, Danzel tak bisa bercermin pada dirinya sendiri yang tadinya makan berdua bersama wanita lain diam-diam di belakangnya tanpa ada yang tau. Sekarang, Danzel menuntut ia menjadi istri baik dan becus? Lucu sekali Danzel ini.

"Sadar!" mendorong Danzel dengan jari telunjuknya. "Kau sendiri yang pergi tanpa kabar. Tiba-tiba menghilang, dan berakhir di kafe? Aku merekam semuanya jelas!" mengambil ponselnya di dalam tas selempang, menunjukkan video rekaman singkat dimana Danzel memberikan senyumannya kepada wanita cantik itu.

Danzel menyaksikannya tanpa berkedip. Jadi, istrinya merekam?

SRET

Merampas ponsel berwarna putih itu tak sabaran. "Sengaja merekamku? Biar jadi barang bukti dan mama tau?"

Jane mengangguk, mengangat dagunya menantang Danzel. Ia tidak takut apabila Danzel marah. "Supaya dirimu tidak kebagian warisan mama Anette," tersenyum puas, Danzel diam tak bisa menjawab ucapannya.

"Ponsel ini," menggenggam erat ingin menghancurkannya. "Tidak berguna!" melemparnya sekeras-kerasnya sampai isi ponsel Jane keluar hancur berkeping-keping.

"YA TUHAN! PONSELKU!" dengan sigap Jane mengambil kepingan baterai dan sim yang tercecer di lantai. Jane memasang baterainya kembali, tidak lupa sim card-nya. Menyalakan tombol daya, namun tak bisa. Ponselnya benar-benar sudah mati total.

Dalam hati Jane mencoba tersenyum puas. Ia tak bisa sebodoh itu dengan menyimpan satu video saja di ponselnya. Sebelumnya, ia sudah mengirimkan video cadangannya ke Robby juga bodyguard lainnya. Yang terpenting buktinya utuh, tidak sampai hilang.

"Beli yang baru. Uangmu dari imbalan mamaku dulu sebelum menikah masih ada. Jangan cengeng!" berlalu pergi tanpa memikirkan bagaimana perasaan Jane yang hancur, itu adalah ponsel dari hadiah ulang tahunnya oleh sang ibunya dulu se-masa SMA. Sekarang harus hancur tak berbentuk lagi hanya karena Danzel tak ingin bukti itu sampai diketahui mama Anette.

"Ok. Tapi maaf, ponsel ini tidak akan aku buang hanya karena sudah rusak," berusaha tetap tegar. Ia pasti bisa melalui ini sejenak sebelum benar-benar berpisah dari Danzel dan melupakan segala kenangan menyakitkan ini.

***

Terlalu asik bersama Kevin, Gabriela sampai melupakan Danzel. Saat ini ia tengah berada di rumah Kevin.

"Kau single?" tanya Gabriela setelah menghabiskan teh hangatnya. Kevin ini tampan, senyumnya pun sama manisnya dengan Danzel, hanya saja Kevin tidak terlalu kaya melainkan tampil sederhana apa adanya.

Kevin mengangguk. "Aku masih terlalu sibuk membagi waktu. Apalagi memberi kabar. Lebih baik sendiri dulu," jawabnya santai.

"Kenapa? Kabar memang penting. Dan membagi waktu juga perlu. Kau perlu cerdas menghargai kecemasan wanita."

"Tapi, kau tidak cemas dengan Danzel? Sejak tadi, ponselmu mati," ujar Kevin mengingatkan Gabriela. Ia tak keberatan ikut campur urusan Danzel dan Gabriela, selama ia bisa mendapatkan uang banyak secara instan dan tidak membutuhkan waktu lama, tak ada salahnya menerima penawaran menggiurkan dari Danzel.

"Cemas bagaimana? Danzel sekarang mengurusi istrinya. Huh, tak ada waktu. Aku yang sebagai istri sirinya saja tak berguna," jawab Gabriela keceplosan, ia tak sadar mengungkapkan sebuah fakta tersembunyi.

"Apa? Istri siri?" Kevin menatap Gabriela tak percaya. Se-playboy apapun Danzel, tak pernah ia mendengar Danzel menikah lagi apalagi dengan cara diam-diam begini. Itu tidak mungkin Danzel.

"Hah? Maksutku bukan," Gabriela jadi gelagapan sendiri. Ia panik setelah baru sadar terlalu jujur kepada Kevin. "Itu bukan apa-apa. Lupakan saja," berusaha tetap tenang meskipun hati Gabriela gelisah, bagaimana nantinya kalau Kevin mengungkap kebohongan Danzel kepada orang tuanya? Bisa gawat dan gagal ia tak bisa mendapatkan warisan Danzel.

***

My Billionaire Husband's [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang