Episode 79

68 6 0
                                    

Menggeleng mengenyahkan sekelebat pikiran yang selama ini mengganggunya.

"Lihatlah, itu Tuan Danzel datang," ucap Robby membuyarkan lamunan Jane. Saat matanya bertemu pandang, justru raut tanpa ekspresi itulah yang Jane lihat.

'Ada urusan apa dia sampai keluar kantor tanpa sepengetahuanku juga Robby?' batin Jane bertanya-tanya dalam hatinya. Dengan mudahnya Danzel pergi tanpa pengawasan siapapun.

"Ingat jalur kantor? Atau salah rute?" tanya Jane sedikit ketus, di amatinya Danzel seperti memikirkan sesuatu. Dan hal yang janggal adalah indra penciumannya merasakan aroma parfum dari seorang wanita, ini bukanlah parfum Danzel yang biasanya, melainkan perfum wanita dengan aroma mawar menggoda.

Danzel menghela nafas lelahnya. "Bukannya menyambut suami baik-baik, malah di omeli. Banyak tanya!" geram Danzel sedikit kesal. Inilah yang membuatnya tidak betah bersama Jane, selalu adu debat tiada habisnya

Jane terkekeh lucu, sambutan katanya? Menyambut suami yang sudah asyik bersama wanita lain tanpa memikirkan betapa hancurnya perasaan seorang istri? Jelas itu salah!

"Apa untungnya aku menyambutmu? Tidak ada," bisik Jane lirih, ia tak ingin di dengar oleh mama Anette.

Tak menanggapi Jane, Danzel meminta Robby untuk memesankan makan siangnya.

"Oh ya, aku sudah menganggapmu orang asing. Bukan sebagai suami lagi," sedikit ada keberanian Jane mengutarakan beban hidupnya yang di tanggung sendiri, rasa lega dan tenang usai mengatakannya langsung kepada Danzel, bodyguard lain duduk tak jauh dari dirinya biarlah mendengar masalah rumah tangganya yang terlalu memberatkan ini.

Danzel terbelalak tak percaya, apa yang di katakan Jane baru saja?

"Omong kosong. Katakan jujur kalau ucapanmu itu bohong. Selama ini dirimu selalu menganggapku sebagai seorang suami paling kau cintai. Sekarang? Mudah sekali membalikkan telapak tangan sampai berani menganggapku orang asing dan bukan suamimu lagi huh!" emosi Danzel meluap-luap, ia tak dapat mengontrol emosinya. Suara bariton tegasnya cukup terdengar sampai di telinga mama Anette.

Meletakkan sendok sedikit kasar, Jane paling tidak suka dengan Danzel yang sekarang, selalu ingin menang sendiri.

"Pasti ku buktikan bahwa semua ucapanku tadi bukan omong kosong. Sebentar lagi, aku dan dirimu berpisah. Uruslah istrimu yang sedang hamil, juga Stella," menatap Danzel tenang, Jane tidak terpancing emosi meskipun hampir saja meluapkan kemurkaannya tadi.

"Berpisah?" sebelah alis Danzel terangkat, menebak jalan rencana Jane. Istrinya itu bergantung dengan dirinya juga uang banyak yang di milikinya sekarang, menjadikannya perubahan hidup begitu drastis.

"Benar. Aku tidak perlu mengemis cinta dan memohon perhatian lagi. Biarlah semua itu menjadi milik istrimu yang bernama Gab-" ucapan Jane tersela oleh kedatangan Robby, sebisa mungkin ia menutup mulutnya rapat-rapat. Jangan sampai Robby mengetahuinya begitu cepat. Ia butuh waktu.

Keterdiaman Jane, membuat Danzel paham. Istrinya itu sengaja merahasiakan terlebih dahulu mengenai perpisahan dalam pernikahannya.

"Ulangi. Katamu tadi, kita berpisah?" sengaja menjebak Jane agar Robby tau termasuk sang mama yang duduk tidak jauh dari tempatnya.

Menarik nafas dalam-dalam, rupanya Danzel sengaja membuatnya mati kutu.

"Ha? Berpisah? Kau salah dengar. Sejak tadi aku makan, kau mengerti sendiri saat makan tidak baik berbicara," ucap Jane berkilah, alasan bagus untuk menghindari pertanyaan Danzel.

Robby menatao bingung antara Jane dan Danzel. Mendengar kata 'berpisah' hatinya sedikit gelisah. Tapi klarifikasi dari Jane yang fokus makan membuatnya tenang.

"Jangan pura-pura tidak tau! AYO AKHIRI SAJA RUMAH TANGGA KITA. BERPISAH JALAN TERBAIKNYA. INI YANG KAU INGINKAN SEJAK DULU?" melantangkan suaranya supaya seisi kantin mendengarnya, tak peduli bagaimana reaksi sang mama saat ini.

"Ada yang tidak beres," Anette beranjak dari duduknya, menghampiri sepasang suami istri sedang bercekcok memaksakan kehendak pisah, Danzel sangat menyetujui. Sedangkan Jane masih diam bingung menyiapkan reaksi jawaban seperti apa.

"Kalian ini," menatap Jane dan Danzel bergantian. "Tidak malu? Masih di area kantor. Tolong jangan membawa masalah pribadi kalian disini. Membuat malu saja," ketustnya tidak suka. Berita ini tidak perlu membutuhkan waktu lama pasti akan menjadi perbincangan gosip panas di kalangan para karyawan, lalu menyebar luas kemana-mana di publik.

"Dia duluan ma. Katanya tidak tahan mempertahankan rumah tangga yang sudah tidak harmonis ini," menunjuk Jane sebagai biang perkara, wanita yang dianggap mamanya sebagai anak kandung perempuan bukanlah sebaik wanita di pikirkan mamanya selama ini.

Menoleh menatap Jane, meminta jawaban pasti apakah benar dari tuduhan yang di layangkan oleh Danzel.

"Apakah benar itu Jane? Kau bosan? Sampai pikiran sempitmu memilih jalan akhir dengan cara berpisah secara tiba-tiba? Tanpa memikirkan resiko ke depannya bagaimana?" tatapan mengintimidasinya menuntut Jane agar angkat suara.

Jane menggeleng, buktinya masih ada dua. Kehamilan, DNA, USG belum ia dapatkan. Terbatasnya ruang keluar membuatnya sangat sulit menyelidiki seluk-beluk Gabriela. Andaikan tidak ada penjagaan ketat seperti Robby yang mengikuti kemanapun ia pergi.

"Kalau memang kau tidak mau berpisah. Lebih baik sekarang berdamai, berikan kesempatan lagi untuk memperbaiki masalah rumah tangga yang cukup rumit ini Jane," nasehat Anette.

Kesempatan? Mustahil! Jane tidak tahan hidup satu atap dengan Danzel, dimana selalu ditindas tak pernah di perlakukan layaknya seorang istri. Ia perlu bahagia dengan keputusannya sendiri. Termasuk melepaskan Danzel sekaligus mengakhiri pernikahan cinta palsu yang penuh sandiwara ini.

"Baik ma. Aku tadi terlalu banyak pikiran. Sedikit pusing," tangannya mengurut pelipisnya sebagai bukti bahwa kondisi kesehatannya sedang tidak baik-baik saja. Aktingnya sangat sempurna untuk meyakinkan mama Anette bahwa ia terbawa suasana emosi. Belum lagi aroma parfum wanita yang menyengat dari jas Danzel, parfum sangat di kenalinya. Siapalagi kalau bukan Stella?

"Aku tak habis pikir. Dasar wanita plin-plan!" seru Danzel malas. Bisa-bisanya Jane sekarang patuh dan menuruti nasehat mamanya? Jane sama saja menggali lobangnya sendiri dimana Jane mau terjebak untuk kedua kalinya.

"Danzel, sudahlah. Jangan membuat Jane semakin banyak pikiran. Tenangkan istrimu, belailah dia," ucap Anette lembut, menjadi penengah antara Jane dan Danzel tidaklah mudah. Danzel dengan sifat keras kepalanya dan mudah emosional, sedangkan Jane yang tenang selalu gelisah saat mendapatkan amarah besar dari Danzel.

Mengambil sendok dari tempatnya, Danzel menyuapkan nasi goreng bertoping sosis ke dalam mulutnya. Lebih baik menikmati makan siang daripada membelai Jane apalagi memanjakannya. Tidak perlu! Yang ada Jane geer.

'Mereka sudah berdamai. Danzel sulit sekali mencintai Jane. Padahal dulu pengakuannya dalam keadaan mabuk mati-matian mencintai Jane,' batin Anette heran. Danzel mengalami banyak perubahan, yang dulunya perhatian menjadi sedikit dingin dan abai kepada Jane.

***

Sepulangnya dari kantor, Danzel mengistirahatkan tubuhnya yang terasa lelah. Tak memperdulikan Jane yang sedari tadi menunduk lesu. Ia tau apa yang ada didalam pikiran Jane sekarang. Apalagi kalau bukan persoalan makan siang tadi. Berpisah tapi akhirnya batal karena nasehat dari mamanya.

***

My Billionaire Husband's [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang