Eepisode 63

100 9 2
                                    

Melihat Danzel yang begitu lelap tidur dengan tubuh di tutupi selimut berbulu hangatnya.

Ponsel Danzel menyala, di intipnya notifikasi apa yang muncul. Siapa tau salah satunya pesan atau panggilan telepon.

Jane meraih ponsel Danzel di meja nakas. Ia tak bisa membuka pola kunci, padahal dulu ia berhasil.

"Aku lupa caranya," berdecak kesal, karena Daniel yang mengajarinya apabila sulit membuka pola sandi di ponsel seseorang.

Sebelum Danzel terbangun, Jane menebak kata sandi baru yang sekiranya dapat membuka kunci layar ponsel Danzel.

"Huh, gagal lagi," meletakkan kembali di meja, sebelum Danzel bangun Jane pergi dari kamar itu.

Tanpa Jane sadari, sebenarnya Danzel sudah bangun, tapi melihat Jane yang berani menerobos masuk kamarnya membuat Danzel kembali berpura-pura tidur. Inginnya tadi Danzel memarahi Jane karena berani menyentuh ponselnya tanpa izin, dan Jane mencoba membuka kata sandinya tapi gagal.

Danzel memeriksa ponselnya, masih aman dan belum di buka Jane. Nekat sekali istrinya itu, ia juga merasa takut kalau sampai Jane mengetaghui isi room chat-nya dengan Gabriela juga Stella yang belum ia sempat hapus.

"Istri kepo. Bongkar-bobgkar isi hp suami. Jane memang tidak sopan. Apalagi tanpa seizinku," dumelnya menggerutu. Privasinya bersama Gabriela masih aman, tidak akan ada yang tau mengenai hubungannya dengan Gabriela yang saat ini sudah sah menjadi suami istri. Tapi Gabriela hanyalah istri simpanan. Danzel menikahinya karena keinginannya termasuk h*sratnya selalu di penuhi Gabriela. Sangat jauh berbeda bagi Jane, satu kali saja saat itu, bulan madu di Perancis. Setelahnya, Jane tidak pernah memintanya lagi. Danzel seperti tidak di butuhkan.

***

Diam-diam Gabriela baru saja sampai di Jakarta. Ia nekat menyusul Danzel, enggan jauh-jauh dari suaminya.

"Kira-kira Danzel tinggal dimana ya?" Gabriela mengecek ponselnya, ternyata pesannya sudah dibaca oleh Danzel. Bibir merah muda mungilnya tersenyum. Ia pikir Danzel lupa dan mengabaikan pesannya.

Anda

Bisa kirimkan alamatmu? Bolehkah aku berkunjung ke rumahmu sayang?

Tak berselang lama, Danzel pun membalas.

Suamiku Danzel

Tidak perlu. Kau kesini sama saja bunuh diri. Aku ini masih memiliki istri, Jane. Jangan gila! Kau disana saja. Jangan coba-coba ke Jakarta

Pesan peringatan Danzel itu membuat Gabriela tersenyum-senyum, Danzel tidak tau dirinya saat ini sudah berada di Jakarta.

Anda

Aku pasti datang ke rumahmu. Tunggu ya sayang...

Suamiku Danzel

Diam disana! Kau mustahil masuk kesini. Penjagaan bodyguard dari mama itu ketat. Coba mengertilah, sabar sedikit. Nanti, setelah aku berpisah dari Jane. Pasti aku kembali ke Surabaya. Demi dirimu, istriku.

Anda

Temani aku dinner malam ini. Mau ya? Mana pernah kau mengajakku kencan, apalagi dinner.

Suamiku Danzel

Ya. Share lokasimu sekarang. Yang terpenting, jangan coba-coba kesini. Jangan cari mati.

Mendapatkan pesan dari Gabriela membuat jantung Danzel berdegup kencang hampir copot. Sejak kapan Gabriela sudah sampai di Jakarta? Seingatnya Gabriela masih sibuk dengan dunia modelling-nya. Tidak ada waktu untuk pergi sejauh ini.

Danzel yang tadinya sibuk bermain game merasa terganggu dengan notifikasi pesan dari Gabriela, sehingga game yang di mainkannya log out tiba-tiba. Ingin marah, tapi Danzel kembali tenang. Gabriela mengajaknya dinner sekaligus kencan untuk pertama kalinya malam ini. Tapi, yang membuat Danzel bingung adalah bagaimana caranya keluar tanpa diketahui Jane juga para bodyguard dari mamanya itu?

Di meja makan, Jane sudah menyiapkan makan malam dua porsi piring nasi dan lauk telur dadar. Entah Danzel itu lupa atau sengaja sampai persediaan sayur dan yang lainnya tidak ada sampai menyisakan satu telur saja.

"Makanan sederhana. Apa Danzel mau makan ini?" hati Jane menjadi ragu, mengenai Danzel menolak semua masakan yang ia buat. Katanya tidak sesuai seleranya yang menyukai masakan Italia. Huh, meribetkan.

Suara pintu kamar terbuka membuat Jane bergegas menghampiri sang suami. Ia mengajak Danzel untuk makan malam. Namun respon yang di tunjukkan Danzel sedikit ketus.

"MAKAN MASAKANMU? YANG BASI ITU?" suara Danzel meninggi, ia tak pernah menyentuh makanan buatan dari Jane. Ia tidak sudi, bukan seleranya.

"Basi?" ulang Jane bibirnya bergetar menahan tangisannya. Tega sekali Danzel berkomentar masakannya basi? Sehina itukah? Padahal ia tidak memberikan racun atau membiarkannya berminggu-minggu. Setiap masakannya tersaji fresh masih segar dan hiegenis.

"Makanan kampungan," seru Danzel penuh penekanan. "Aku mau makan diluar. Lebih enak, bernilai mahal, dan berkelas. Daripada makananmu yang rendah itu," langkah lebarnya berlalu pergi meninggalkan Jane seorang diri.

Tesenyum getir. Tak ia sangka Danzel berubah emosional lagi daripada kemarin-kemarin yang penyabar dan romantis.

"Ok," mengangguk paham. Jane tidak akan memaksa Danzel atau mengingatkan suaminya itu untuk makan, daripada responnya menghancurkan hatinya berkeping-keping lagi. Langkah lesunya kembali menuju meja makan. Satu piring untuk Danzel masih utuh. Pandangan kosong Jane bersama air mata yang menetes tanpa ia sadari. Se-sedih ini, hatinya semakin yakin untuk segera mengakhiri rumah tangganya yang sudah tidak harmonis ini.

"Daripada aku membuang makanan Danzel, lebih baik aku habiskan saja sekalian," meraih piring Danzel yang sedikit jauh, porsi makannya kali ini bertambah satu piring. Jane menghabiskan tanpa tersisa sedikitpun.

"Padahal telur dadarku rasanya pas. Huh, lain kali aku biarkan saja Danzel kelaparan. Aku tak peduli!" sambil menggerutu dan membereskan piring-piringnya. Perhatian ke orang yang salah, perhatian kepada seorang suami tidak di hargai. Padahal bentuk perhatian adalah peduli dan sayang. Tapi jika hati sudah di butakan oleh amarah sekaligus rasa benci, tidak akan ada dan muncul kepedulian atau kasih sayang, pasti memudar. Semuanya yang pura-pura selalu terlihat penuh kepalsuan. Semua cinta baik sebelum menikah dan sesudah, ada yang tulus dan palsu. Rumit di jelaskan. Membingungkan.

Setelah mendapatkan pesan dari Gabriela yang membagikan lokasi tempat makan malamnya, Danzel langsung menuju ke tempat tujuannya. Ia sampai memakai masker dan kacamata untuk menutupi identitas dirinya saat berjaga-jaga tak sengaja bertemu dengan Robby atau bodyguard lainnya yang pasti mengenalinya.

Disinilah Danzel berada, restoran cepat saji termahal yang pernah ia kunjungi bersama Stella beberapa bulan lalu, tapi bukannya ada kesan romantis karena kencan dan alunan musik biolanya yang syahdu, justru keluhan Stella mengenai hewan purba bernama kecoak merayapi punggung Stella dari balik pakaiannya. Mengingat itu mendadak selera makan Danzel hilang.

"Sayang, ayo di makan. Ini sesuai pesanan makanan favoritmu dulu. Tak pernah berubah, pasti rasanya enak banget," ujar Gabriela saat Danzel baru saja datang dan duduk di hadapannya. Benar dugaannya, Danzel pasti datang menepati janjinya. Ia pikir Danzel akan menolak dengan alasan takut ketauan atau tertangkap basah oleh bodyguardnya dan istrinya yang bernama Jane itu.

"Kenapa pilih restoran ini? Kenapa Gabriela?" Danzel melayangkan pertanyaan ketus kepada istri sirinya itu.

Gabriela terkejut, kenapa Danzel tiba-tiba marah? Apakah ia salah memilih kualitas harga makanannya? Setaunya setelah browsing dari internet, hanya ini yang menurutnya bagus sesuai rating tinggi dari para pelanggan pernah berkunjung.

"Sayang, makanan disini itu rata-rata favoritmu. Seleramu," ujar Gabriela santai, ia tidak mudah terpancing amarah Danzel.

"Makan favorit? Ini maksudmu?" tunjuk Danzel ke spagheti dengan saus tomat diatasnya. "Kau salah!" serunya penuh penekanan, suaranya yang sedikit keras itu menarik perhatian konsumen lain sedang makan. Menatap Danzel penasaran.

"Memangnya kenapa? Ada yang salah? Hei sayang, ini kan kesukaanmu. Sejak kecil pasti kita bermain masak-masak membuat pasta. Kau lupa hm?" nada lembut Gabriela tetap tenang, ia sebenarnya malu karena Danzel marah-marah sampai dirinya menjadi pusat perhatian yang lain.

***

My Billionaire Husband's [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang