Bismillah
#part 3
#by: R.D.Lestari.
Bunyi aungan sirine ambulance terasa menusuk hati. Aku beberapa kali terjerembab, berusaha bangkit untuk menyambut ke datangan orang yang paling kusayang.
Beberapa orang berpakaian putih datang, mereka menggotong keranda dengan tubuh kaku yang sudah berbalut kain kafan di dalamnya.
Aku mencoba bangkit, berniat untuk menyambut cinta pertamaku dengan sepenuh hati sebelum berpisah untuk terakhir kali.
Namun, lagi-lagi tubuhku meluruh bagai lumpuh. Hanya isakan dan raungan yang keluar dari mulut menyebut namanya.
"Bapak ...!"
Tangisan Danang pecah saat keranda di bawa masuk kedalam rumah. Aku di papah dengan Yayuk Jamila menyingkir dan duduk di tepi.
"Danang... Nang ...," panggilku pada Danang. Adikku itu menangis meraung di dekat jasad Bapak yang sudah kaku saat jasad itu dipindahkan dari keranda.
"Bapak!"
Ia kembali histeris di samping jasad Bapak. Memeluk tubuh kaku itu dengan erat.
"Bapak ...,"
Derai air mata tak lagi mampu kutahan saat jasad itu kini telah terbaring di hadapan.
Tubuhku terasa lemah, hingga untuk mendekat pun aku harus merangkak.
"Bapak ...,"
Tubuhku lalu di dekap dari belakang saat akan menyentuh tubuh Bapak.
"Lepasin! Indah mau meluk Bapak!" aku meronta dan berontak.
"Sabar, Ndah, kendalikan dirimu," seseorang itu berusaha membuatku tenang.
"Lihat bapakmu, Ndah. Dia sangat kesakitan, jangan buat bapakmu tambah sakit," seseorang itu mengelus pundakku.
Aku terdiam. Tangan lembut wanita itu mengusap pelan pipiku.
Saat aku menoleh ke arah Danang, bocah itu beringsut menjauhi Bapak. Aku heran, kenapa ia tiba-tiba terdiam dan wajahnya ketakutan. Bukankah ia tadi menangis?
Dan ... rasa penasaran itu terjawab ketika mataku tertuju pada wajah Bapak yang separuh menghitam gosong dengan mata yang melotot.
Serrr!
Darahku seketika berdesir. Mengapa wajah Bapak jadi begitu mengerikan?
Melihatku tenang dan menatap Bapak terpaku, membuat wanita yang tadi memelukku melepas pelukannya.
"Tutupi wajah bapakmu, Ndah, sebelum banyak orang yang melihat dan menjadi pergunjingan warga," serunya memerintahku.
Susah payah aku bernapas. Melihat wajah Bapak membuatku sesak dan pedih menggerogoti hati.
Aku meluruh dan tangisku kembali tumpah. Tanganku bergetar saat menyentuh kain panjang dan hendak menutupi wajah tua yang selalu mengurai senyum untukku.
"Bapak ... siapa manusia yang tega berbuat ini sama Bapak? Bapak ... Indah tak terima melihat Bapak seperti ini... Bapak... mereka memang biad*b!"
Caci maki itu begitu saja keluar dari mulutku. Merasa hidup ini tak adil bagiku.
Wajah gosong itu kemudian kututup dengan kain panjang berwarna coklat. Tanpa rasa takut, tanpa rasa kikuk sedikitpun.
Hanya tangis yang seolah tak pernah surut dan menganak sungai di pelupuk mata.