part 30

8.2K 538 11
                                    

Bismillah

              Pocong Itu Bapakku

#part 30

#by: R.D.Lestari.

Cipto melangkah tergesa ke rumah Aman, temannya yang saat pengeroyokan juga ada dan sempat melukai tubuh alm. Mulyono.

Beberapa hari ini, Cipto selalu mimpi tentang kejadian malam itu, dan Aman selalu berada di dalam mimpinya.

Seolah semua itu menjadi pertanda dari mendiang agar Aman meminta maaf.

Cipto yang sudah terbebas dari ganguan, merasa perlu untuk memperingatkan temannya.

Itulah sebabnya pagi-pagi buta ia bertandang ke rumah temannya itu, tapi sayang, orang yang di cari tak berada di rumah. Ia sedang memancing bersama temannya, Toing.

Hampir sebulan ia mengurung diri di rumah, merasa tak mendapat gangguan apa-apa, dan menganggap cerita yang berhembus di kampung itu cuma tahayul saja.

Itulah yang disampaikan istri Aman. Cipto yang mendengar hanya bisa melenguh pelan.

Ia ingin membicarakan ini secara langsung pada Aman, karena jika sampai Istri Aman tau, tentulah mereka akan bertengkar, karena Aman ikut dalam pembantaian.

Cipto akhirnya memilih pulang, merasa jika menunggupun sia-sia. Dengan langkah gontai, Cipto berjalan ke arah rumahnya. Berharap Aman baik-baik saja.

***

Aman, lelaki berkulit hitam keling itu menatap pancingan yang tak bergerak sama sekali.

Memandang iri ke arah Toing yang sudah banyak mengumpulkan ikan, sedang di wadahnya yang terbuat dari derigen hanya ada beberapa ekor ikan. Miris.

Sedang hari sudah mulai magrib, langit jingga membentang indah dan matahari mulai tenggelam.

"Balik, yok, Man. Udah mau magrib. Takut banget Aku sampai rumah malam, nanti ketemu poci, hiii...," Toing bergidik ngeri.

"Halah ... hoax aja itu Ing. Aku juga ga ketemu-ketemu itu demit. Padahal Aku juga sempet nendang tu begal," ujar Aman sok.

"Heh, jangan bilang begitu. Meski aku ga ada ditempat kejadian, tapi aku percaya kok mereka memang bener-bener lihat," Toing berusaha mengingatkan.

"Halah ... mau aja di bodohi orang kamu Ing," Aman menepuk pelan bahu temannya itu.

"Ya, terserah kamu lah, A--Aku mau balik sekarang,"

Aman menarik tangan Toing saat ia hendak berdiri. "Bentar lagi, ya, lima belas menit aja, tanggung," Aman setengah memaksa.

Toing akhirnya mengangguk terpaksa. Gurat kekhawatiran terpahat di wajah paruh bayanya.

Ia mendesah kesal dan kembali duduk  menatap pancingannya. Sementara dengan senyum kemenangan, Aman melanjutkan acara memancingnya.

Bunyi suara azan terdengar sayup-sayup di kejauhan. Mereka terkesiap. Saking konsentrasi dengan buruan, tak terasa waktu magrib sudah datang.

Suasana sekitar kebun sawit di pinggir hutan menjadi sangat mencekam. Remang-remang dari sinar matahari yang sedikit lagi akan tenggelam. Selebihnya gelap tanpa cahaya penerangan.

"Wah, gawat ini Man, kita kemalaman. Kalau ada pocong gimana?" Toing dengan bibir bergetar menahan rasa takut. Perasaannya benar-benar tak enak.

"Ha, tak ada la pocong. Yok, sekarang kita siap-siap balik," Aman yang juga merasa sesuatu yang tak enak berusaha setenang mungkin di hadapan Toing.

Baru saja mereka hendak membereskan peralatan pancing, tiba-tiba rungu mereka mendengar suara daun sawit yang cukup berisik

Srekkk!

Toing dan Aman meneguk saliva serentak. Mereka saling berpandangan. Detak jantung mulai meningkat dan perasaan was-was menyerang.

"Bu--bunyi apa itu, Man?" desisnya.

Aman hanya menggeleng pelan. "Kita lihat sama-sama," ajak Aman.

Perlahan mereka membalikkan badan, dan ...

"Aaaaaaa! pocong!"

Brugth!

Dua tubuh kekar itu ambruk dan terbaring di tanah, tanpa daya. Mereka ... pingsan!

***
Pak RT Johan mondar-mandir di depan  mesjid setelah selesai melaksanakan solat subuh berjamaah.

Ia resah. Semakin hari mesjid semakin sepi saja. Hari ini hanya ada dia, Pak Ustad Salman dan Umar, salah satu pemuda kampung, keponakan Ustad Salman yang tinggal disebelah rumah Ustad.

"Bagaimana ini, Pak Ustad. Mesjid semakin sepi, pos kamling sepi. Beberapa hari ini warga mengeluh uangnya hilang, produksi padi pun menurun, padahal jika di lihat-lihat, padi tumbuh subur,"

"Tapi, gara-gara warga takut keluar malam, tikus-tikus merajalela dan memakan sebagian tanaman padi,"

"Saya khawatir jika lama-lama begini, warga kampung akan semakin miskin dan kampung Beringin akan jadi kenangan," keluh Pak RT Johan.

Umar yang mendengar turut resah, mengingat pekerjaan utamanya adalah bertani, dan memang beberapa minggu ini, sawah tampak sepi. Hanya ia dan Pak Ustad yang masih hilir mudik mengurusi petakan sawah milik mereka.

Sedangkan orang-orang tampak malas. Bukan karena malas bekerja, tapi karena malas jika harus berjumpa makhluk yang mereka sebut pocong.

"Apa kita adakan pengajian massal aja, Ustad. Mengingat kampung ini resah karena ulah pocong itu," usul Pak RT yang membuat Pak Ustad menggeleng pelan.

"Percuma, Pak. Semakin kita takut, makhluk itu semakin kuat. Cara paling ampuh hanya dengan melawan,"

"Tapi, Pak Ustad, bagaimana cara melawannya?"

"Ya, cuma dengan cara meningkatkan iman dan takwa kepada Tuhan, solat yang terpenting,"

"Pak Ustad tau sendiri, warga takut untuk keluar rumah, Pak,"

"Maka dari itu, Pak RT, mari kita kumpulkan warga, warga harus lepas dari bayang-bayang ketakutan,"

"Biar yang ga bersalah, ga ikut takut, tapi jika memang ada yang ikut dalam pengeroyokan, kita hanya bisa membantu semampu kita,"

Pak RT manggut-manggut, ia setuju dengan usul yang disampaikan Ustad. Kampungnya harus kembali seperti semula. Aman, nyaman dan tentram.

***

Umar sudah bersiap menuju mesjid malam ini bersama Ustad Salman, adzan isya harus segera di kumandangkan.

Mereka tak ingin kampung mereka jadi kampung terkutuk karena tak pernah digaungkan panggilan untuk beribadah.

Meski, warga kampung enggan untuk pergi apa lagi malam.

Suasana seperti biasa, sepi dan sunyi. Tak ada satu orang pun yang berada di luar rumah.

Hanya terdengar bunyi jangkrik dan suara kaki mereka yang menjejak di tanah.

"Tolong ... tolong!"

Lirih terdengar di kejauhan suara orang minta tolong. Umar dan Ustad menghentikan langkah dan saling pandang.

"Ada apa, ya, Pakde?" tanya Umar, Pak Ustad hanya menggeleng pelan.

"Kita lanjutkan saja perjalanan, sebentar lagi waktu isya sudah masuk," jawab Pak Ustad. Umar mengangguk, meski hatinya masih di landa resah.

Baru saja mereka hendak mengayunkan kaki, dari belakang terdengar derap kaki bersahutan mendekat.

"Pak Ustad ... Pak Ustad, tolong ...!"

Seketika Pak Ustad dan Umar berbalik, melihat dua orang berlarian ke arah mereka.

Pak Ustad menyipitkan mata dan mengenali dua orang yang ternyata adalah Aman dan Toing.

Aman juga pelaku pengeroyokan, termasuk dalam lima belas orang yang membuat nyawa Mulyono melayang malam itu.

"Hhh-hhhh," mereka ngos-ngosan dan menghentikan langkah saat berada hanya beberapa jengkal dari Pak Ustad.

"Ada apa? kenapa kalian lari-lari seperti ini?"

"Pak Ustad, kami barusan terbangun di kuburan!"

"Kuburan?"

***

Dendam Arwah BapakTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang