Bismillah
Pocong Itu Bapakku
#part 19
#by: R.D.Lestari.
"Wes kadung mual, muntah sekalian, tidak ada lagi alasan untuk mundur. Dan, ini kesempatan terakhirmu, kalau mau bebas dari pocong itu," ceracau Mbah.
Farhan meneguk ludahnya yang terasa pait dan menyakiti kerongkongannya.
Dengan langkah berat, ia memasuki pagar pembatas pemakaman dan jalan, dan tiba-tiba ...
Gussrakkk!
"Waaa! janc*k!"
Semua orang berlarian ke arah Farhan dan murid Mbah Tiran yang menjerit ketakutan.
"Astaga! ada apa?" Mbah Tiran bertanya pada Farhan yang memegang dadanya.
"I--itu, Mbah, ada kucing hitam jatuh dari pohon, hampir saja mengenai kepalaku," ungkap Farhan dengan napas tersengal-sengal.
"Ya, Mbah, heran kok malam-malan ada kucing di makam," timpal murid Mbah Tiran.
Mbah Tiran manggut-manggut. "Wes, lanjutkan ritualmu. Keburu malam. Takutnya hujan," titah Mbah Tiran.
Terdengar suara helaan napas dalam dari Farhan. Pria itu akhirnya kembali melanjutkan langkahnya ke arah tengah pemakaman.
Ia sempat menoleh ke arah belakang, di mana orang-orang sudah kembali ke tempat semula, menjadikan makam kembali tenang dan sepi.
Sunyi. Makam amat mencekam. Hawa angker begitu terasa. Apalagi terdengar bunyi lolongan anj*ng yang bersahut-sahutan.
Mendung semakin menggelayut di langit malam. Menjadikan area pemakaman semakin gelap.
Farhan mengikuti langkah murid Mbah Tiran yang melangkah perlahan sembari menyenteri satu persatu makam, hingga akhirnya ia berhenti pada suatu makam baru yang masih terlihat sisa-sisa kembang dan irisan daun pandan yang sudah mengering kecoklatan.
Sebuah patok kayu bertuliskan Mulyono menjadi penanda kalau itu adalah makam yang mereka cari.
"Nah, ketemu. Mas silahkan menunggu di sini. Nanti silahkan bakar dupa dan baca mantranya. Ini lilin saya hidupkan dulu," papar murid Mbah Tiran.
Cess!
Tombol mancis di tekan dan api kecil mulai tercipta di sana. Sedikit cahaya dari lilin mampu membuat Farhan sedikit berani.
Matanya takut-takut mengedar ke segala arah. Karena lokasi lebih mirip acara uji nyali, di mana Farhan akhirnya ditinggal sendiri di depan kuburan baru. Duduk bersila sembari kilat-kanit baca mantra yang sudah disiapkan Mbah Tiran.
Keringat dingin mulai mengucur disela anak rambut. Angin malam sepoi-sepoi menyapu tubuh, terutama tengkuk. Menyebabkan bulu-bulu halus itu mulai berdiri satu persatu.
Farhan menarik kain hitam itu lebih rapat untuk melindungi tubuhnya dari dingin yang menusuk hingga ketulang.
Sunyi senyap. Untuk beberapa saat suara lolongan itu tak lagi terdengar. Yang terdengar kini suara gemerisik dedaunan dari pohon beringin yang jaraknya hanya beberapa meter di depannya.
Tenggorokan Farhan terasa kering. Ia lalu meraih botol aqua berukuran paling kecil yang memang sengaja ia bawa untuk pereda rasa hausnya.
Krekk!
Baru saja ia membuka penutup botol, tiba-tiba ia merasakan hawa anyep dan bau bangkai menguar amat menyengat.
Udara sekelilingnya berubah menjadi lebih dingin dan tanah yang ia duduki berubah jadi sedingin batu es.