Bismillah
#part 6
#by: R.D.Lestari.
"Dono?"
Berulang kali Pak Dirga memanggil temannya, tapi tak ada sahutan sedikitpun. Pak Dirga menaruh curiga. Ia lalu memutar tubuhnya.
"Dono!"
Matanya membulat saat melihat Dono sudah terbaring diatas tumpukan padi yang sebagian sudah menguning, sedang teman-temannya yang lain sudah tak ada di tempat.
Cepat ia berlari ke arah Dono dan berusaha membangunkan temannya itu.
"Don ... Dono! bangun, Don!" ia menepuk cukup keras wajah Dono hingga lelaki itu menggeliat dan matanya mulai mengerjap.
Baru saja Pak Dirga membantunya duduk, ia melihat mata Dono seketika melotot dan mulutnya menganga, seolah ada sesuatu yang di lihat nya di balik tubuh Pak Dirga.
"Apa, Don? kamu kenapa?"
Tangan Dono terangkat dan menunjuk tepat di belakang Dono. Dengan suara bergetar, ia berucap ," po--po--cong...!"
Lagi-lagi Pak Dono pingsan. Jakun Pak Dirga naik turun, pertanda susah menelan saliva. Keringat dingin mengucur deras, apalagi saat ia mencium bau gosong teramat menyengat dari balik tubuhnya.
Dengan degup jantung yang tak beraturan, perlahan ia menggerakkan tubuh dan kepalanya, menghadap ke arah belakang tubuhnya.
Tubuh Pak Dirga langsung lemas, kala melihat daei jarak hanya sekitar dua meter, makhluk memakai kain kafan yang sudah kotor dengan ikatan di kepalanya itu menyeringai padanya.
Wajahnya sebagian gosong dengan mata bolong, belatung dan cacing keluar merayap bersamaan kelabang sebesar jari orang dewasa, berjatuhan dari bolongan matanya yang penuh darah.
Bukan cuma bau gosong, bau anyir juga menyeruak di sekitar tempat Pak Dirga.
Mulut makhluk berwujud pocong itu menganga dan mengeluarkan darah segar beserta binatang hitam licin khas makhluk sawah yang tak lain adalah lintah. Makhluk itu merayap mendekati Pak Dirga yang mematung karena takut. Pikirannya kosong.
"Aku ... akan menuntut balas ... pada kalian yang sudah tega menghabisi nyawaku tanpa ampun!"
Brughht!
Pak Dirga ambruk, itulah kata terakhir yang ia dengar sebelum pandangannya gelap dan tak ingat apa-apa.
***
"Lari! ada pocong!" salah satu dari lima orang yang berada di belakang Pak Dono berteriak histeris saat matanya menangkap sosok melayang mendekati mereka dari arah pohon beringin tak jauh dari jalan menuju pematang sawah. Pohon besar yang tak berani ditebang warga karena konon menyimpan misteri dan tempat bersemayamnya demit.
Sosok putih yang kepalanya diikat itu nampak jelas melayang dengan kilat mata merah seperti menyimpan amarah.
Lima orang yang tertinggal di belakang serta merta berbalik dan berlarian tunggang langgang.
Mereka yakin jika sosok putih itu adalah arwah penasaran dari orang yang mereka keroyok beramai-ramai tempo hari.
"Lari, Tejo , lari!" seru Pak Hamdan
saat ia melihat kawannya itu mulai mengurangi kecepatan larinya.
"Bagaimana dengan Pak Dono dan Pak Dirga?" tanyanya terengah-engah.
"Ga usah mikirin mereka, pikirin nasib sendiri! itu pasti arwah begal yang di keroyok tempo hari!" ketus Hamdan, ia semakin meningkatkan tempo larinya hingga Tejo tertinggal di belakang.
Saat mencapai jalan lebar, kelima orang itu mempercepat lari mereka. Hingga tiba-tiba....
Tejo yang tertinggal paling belakang di kejutkan dengan kedatangan pocong yang tiba-tiba menghadangnya.
Lelaki itu menghentikan langkahnya dengan napas tersengal. Merasa terpojok, melihat wajah menyeramkan dengan kain kafan kotor yang tak menyentuh tanah, ia memutar tubuh dan berlarian ke sembarang arah, hingga...
Ckittt!
Brakkkk!
Sebuah truk kosong yang datang dari arah berlawanan menghantam tubuh Tejo dan melindasnya.
Separuh tubuhnya hancur dan kepalanya remuk. Otak bercampur darah segar menggenangi jalan.
Pak Sopir yang merasa jika mobilnya baru saja melindas sesuatu langsung menghentikan mobil dan turun untuk melihat.
Betapa terkejutnya ia, saat melihat sesorang dengan kondisi mengenaskan di tengah jalan sudah penuh darah.
Dengan tubuh gemetar, Pak Sopir lantas kembali ke dalam mobil dan melajukan mobilnya dengan cepat. Ia tak ingin menjadi tersangka dan memilih pergi begitu saja. Tak ada saksi mata, selain Si Pocong yang berdiri di samping pohon pisang dengan senyum terkembang.
"Satu orang sudah mat*! masih ada beberapa orang lagi yang harus menyusulku ke neraka!"
***
Empat orang itu tiba di kampung dengan napas yang satu-satu. Tersengal karena lelah berlarian di sepanjang jalan.
"Hamdan!" panggil Wahyu saat Hamdan hendak masuk rumahnya.
"Apa, Yu?"
"Aku nginep la di sini, rumahku masih jauh," pinta Wahyu dengan wajah memelas. Hamdan mengangguk.
Tio dan Cipto yang ada diantara mereka pun minta hal serupa. Mereka tak berani pulang ke rumah, mengingat makhluk menyeramkan itu begitu ekstrim mengejar mereka.
Meski berat, Hamdan mengiyakan permintaan teman-temannya itu. Mereka berebut masuk ke dalam rumah Hamdan.
Istri Hamdan, Maemunah yang baru saja selesai solat tahajud mengagetkan beberapa di antara mereka. Malah, tubuh Cipto melungsur di lantai saking kagetnya melihat makhluk seperti pocong keluar dari dalam kamar.
"Astaga, Ma, ngagetin aja!" Pak Hamdan mengelus dadanya yang berdegup kencang saat melihat istrinya yang masih mengenakan mukenah.
"Lha, Papa yang ngagetin. Tiba-tiba datang bawa banyak orang tengah malam begini. Mau apa?" ketus istrinya saat melihat Pak Hamdan bersama ketiga temannya.
"Itu, Si Cipto kenapa lemes begitu? belum makan? di rumah ga ada makanan," Maemunah terlihat sewot. Ia paling kesel kalau suaminya itu membawa temannya main ke rumah. Selain ngabisin kopi dan gula, kadang juga ngabisin makanan yang ia masak.
"Sabar, Ma. Mereka ini cuma mau nginep, besok pagi langsung pulang. Malam ini mereka ga berani keluar," jelas Hamdan.
"Kenapa ga berani? emang ada apa di luar?" Maemunah dengan santai melenggang ke arah pintu depan yang tertutup.
"Jangan, Ma...!"
Telat. Tangan Maemunah sudah menekan handle pintu dan ...
Di kejauhan, samar mata Maemunah menangkap siluet bayangan putih, awalnya ia mengira sosok kucing berwarna putih karena kecil, tapi ... semakin lama ia perhatikan sosok putih itu semakin besar hingga mencapai pucuk pohon kelapa dengan bentuk seperti pocong.
Tubuh Maemunah seketika mematung, kaku. Hamdan dengan gesit menarik tubuh istrinya yang hampir ambruk dan menutup pintu dengan keras.
"Astaghfirullah, makhluk apa itu, Pa? kenapa amat menyeramkan?" Maemunah memeluk tubuh suami nya erat. Tubuhnya bergetar hebat.
"Itu sepertinya arwah gentayangan dari orang yang di keroyok tempo hari, Ma," jawab Hamdan. Teman-teman yang lain saling pandang.
"Ya Allah, kenapa dia sampai ke rumah kita? apa Papa ikut dalam pengeroyokan itu?"
"Ga, Ma. Percayalah, Papa ga ikutan. Saat kejadian, Papa lagi rapat di rumah Pak RT. Kami sempat datang ke sawah, tapi korban sudah meninggal,"
"Dia pasti mencari diantara kita. Siapa diantara kalian yang ikut dalam pengeroyokan itu?" bola mata Hamdan bergerak memindai tatapan bergantian kepada tiga temannya. Tiba-tiba ia teringat sesuatu.
"Di mana Tejo?"
****