Bismillah
#part 4
#by: R.D.Lestari.
Prang!
Tiba-tiba terdengar pecahan piring. Aku terjingkat dan melesat ke arah dapur. Tiba di dapur ternyata piring sudah pecah berkeping-keping.
Kuperhatikan sekitar, tak ada seseorang pun di sana atau hewan yang mungkin memecahkan piring. Pintu belakang terkunci. Yang ada hanya bau gosong yang menyengat.
Aku kembali memutar tubuh, tapi bulu kudukku meremang. Tak ingin berpikiran buruk, aku memilih mengacuhkan bau gosong yang sejak tadi siang mengganggu. Mungkin saja di luar sana bau itu terbawa angin entah dari mana.
Kembali duduk di samping Ibu yang sedang mengelus perutnya. Sedang Danang tertidur tak jauh dari Ibu. Tubuhnya meringkuk.
Aku menatapnya sedih. Hatiku sakit. Sedih kehilangan Bapak, lebih sedih lagi melihat Danang yang terpukul seperti ini.
Rumah sudah sepi, rintik hujan di luar masih terdengar di atap seng yang sebagian sudah berkarat dan berlubang.
Dingin menusuk tulang, kuraih dua kain panjang yang tadi belum terpakai. Satu kuselimutkan untuk Ibu dan satu kuselimutkan untuk Danang. Adikku itu pasti kedinginan.
Kuusap rambut legamnya sayang. Mataku menghangat, dan tanpa terasa bulir bening itu luruh tak tertahan.
"Sabarlah adikku Sayang, kuatkan dirimu, Mbak tak akan membiarkanmu kelaparan. Kita pasti bisa melewati ini semua," gumamku.
"Ndah...," panggil Ibu. Aku menoleh dan mendekat pada sosok malaikat di hadapanku.
"Iya, Bu ...,"
"Sini, Nak," Ibu merentangkan tangan dan menyuruhku untuk memeluknya.
Aku dengan cepat memeluk tubuh Ibu. Ia lalu menepuk-nepuk pundakku pelan."Kasihan Bapak, Ndah ... demi untuk biaya lahiran Ibu, Bapak terpaksa jadi begal. Ibu jadi merasa bersalah, kalau saja Ibu bisa menahan Bapak ... pasti Bapak saat ini masih ada sama kita,"
Aku semakin terisak mendengar ucapan Ibu. Bapak memang salah ... tapi, tak adakah belas kasihan untuk Bapak? apa ada diantara mereka yang berpikir Bapak juga punya keluarga yang menantinya di rumah dengan harap?
Sekarang... siapa yang akan membantu kami dan memastikan kami tak kelaparan setiap harinya?
Dadaku rasanya sesak, begitupun Ibu yang semakin mengencangkan pelukannya.
"Bagaimana nasib kita kedepannya, Ndah?"
"Oughhh," Ibu menjerit dan memegangi perutnya yang mengencang.
Aku terkesiap dan langsung menghapus air mata.
"Ke--kenapa, Bu?" tanyaku panik saat melihat wajah ibu berubah merah. Ibu terlihat sangat kesakitan.
"Perut Ibu ... Ndah, sakit ...," rintih Ibu. Ia semakin kencang memegang perutnya.
"Ibu ... Indah harus apa, Bu!"
Belum sempat Ibu menjawab, terdengar ketukan di pintu depan. Aku langsung beranjak dan membuka pintu.
Tok! tok!tok!
Wajah seseorang menyembul dari balik pintu saat pintu terbuka perlahan.
Seorang wanita berpakaian putih dengan jilbab putih menatapku khawatir.
"Ya? ada apa, Ibu?"
"Apa benar ini rumah Bu Kartini?"
Aku mengangguk mantap. "Ada perlu apa, Ibu?"