part 17

10K 727 116
                                    

Bismillah

               Pocong Itu Bapakku

#part 17

#by: R.D.Lestari

Sedang Jodi, dengan alis yang bertaut dan kening yang mengernyit mencoba mengingat ucapan pocong malam itu.

"Bapak! ada yang mau Jodi bicarakan!"

Sudiro menatap anaknya lamat-lamat. Sedang Jodi, raut wajahnya berubah tegang.

"Ada apa?"

"Bapak ... siapa sebenarnya orang yang berada di foto tadi? dan apa hubungannya dengan Bapak?" cecar Jodi, yang membuat Sudiro membulatkan matanya.

"Maksudmu, orang yang di rumah tadi?" timpal ibunya tak kalah heran. Jodi mengangguk dan mengalihkan pandangannya pada Sang Ibu.

Wanita berhijab panjang itu menghela napas dan menatap suaminya.

"Bapak saja yang jelaskan," pinta istrinya. Pandangan Jodi pun beralih pada bapaknya yang memandangnya ragu.

"Bapak ga ada urusan, kok, sama keluarga itu," bohong Sudiro.

"Tapi, Pak, kalau memang ga ada urusan, kenapa sampai jadi tersangka, Pak?" ucap istrinya.

Seketika Sudiro menjadi kikuk, dan terlihat salah tingkah.

"Ah, itu kan pinter-pinternya orang kampung aja, Buk. Ya, namanya fitnah. Untung aja kan, semua terungkap dan tuntutan di cabut. Itu berarti Bapak ga bersalah, Buk," sebisa mungkin Sudiro berkelit, membela diri, meski hati kecilnya tentu saja berontak, dan mengakui jika dirinyalah provokator terbunuhnya Mulyono malam itu.

Dialah yang mencari massa dan menyulut amarah mereka hingga tragedi itu terjadi.

Jodi mendesah lega. Ia mengelus dadanya yang sejak tadi berdebar kencang.

"Syukurlah, Pak, jika begitu. Berarti malam itu memang iblis yang ingin mengganggu diriku. Tak ada sangkut pautnya sama Bapak,"

"Memang kenapa, Dah Bagus? Ibuk merasa ada yang lain dengan ucapanmu," ibunya Jodi menatap anaknya dengan penuh arti.

Jodi menelan ludah. Raut wajahnya berubah tegang. Mengingat kejadian mengerikan yang ia alami tadi malam.

Namun, saat mulutnya baru saja terbuka, ia teringat kebaikan Ibu dan anak yang menolongnya tadi malam, juga memikirkan nasib Bapaknya. Jika ia jujur, Bapaknya pasti kepikiran.

"Ga apa, Bu. Mungkin cuma mimpi," sahut Jodi sembari memalingkan wajahnya.

"Ah, sudahlah, jangan dilanjutkan. Sekarang berdoa saja, semoga anak kita tak kenapa-napa," potong Sudiro, yang diangguki anak dan istrinya.

***

Gubuk Mbah Tiran mendadak ramai. Warga kampung berduyun-duyun mendatanginya untuk minta bantuan terkait sering munculnya pocong yang semakin sering terjadi akhir-akhir ini.

Mbah Tiran yang di kenal mumpuni dan sakti, menjadi solusi terakhir karena di daerah mereka masih kental dengan hal klenik.

Ustad bagi mereka hanyalah orang-orang sok pintar, yang hanya mengajak mereka beribadah, meski tak semua orang berpikiran sama, tapi sebagian besar punya pedoman yang sama.

Bahkan, sebagian warga masih melarung sesajen ke sungai, dan tak jarang mengirim sesajen ke gunung di dekat kampung.

Sesajen yang rata-rata berisi pisang raja, bunga tujuh rupa, segelas kopi pahit hitam, segelas teh, ayam ingkung dan juga menyan.

Rumah yang lebih pantas di sebut gubuk itu karena sangat sederhana dan penuh dengan sawang, serta sebagian papan yang sudah kropos di makan rayap itu terkesan angker.

Dendam Arwah BapakTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang