part 54

4K 291 2
                                    

#part 54

#by: R.D.Lestari.

"Ibu tau siapa dalang dari penculikanku?" tanya Indah.

Ibu hanya mengulas senyum misterius dan melangkah ke arah dapur.

"Indah ... Kakak mau membelikanmu sarapan. Kamu tunggu, ya?"

Jodi hendak beranjak, tapi tangan Indah menahannya. Jodi pun urung pergi dan kembali berjongkok di samping ranjang Indah.

"Terima kasih, Kak. Karena Kakak ... Indah bisa kembali berkumpul dengan keluarga,"

Jodi hanya mengangguk pelan. Ia tak mengerti apa maksud Indah barusan.

"Kakak belikan makanan dulu untuk Kamu, ya? pasti Kamu lapar," ulang Jodi, tapi Indah malah menggeleng.

"Kakak pulanglah. Tak baik jika pemuda masuk ke rumah wanita yang tidak punya Bapak,"

"Indah tak mau jadi bahan gosip, Kak. Kasihan Ibu nantinya," ucap Indah lemah.

Jodi menarik napas dalam. Benar kata Indah, tak baik seorang laki-laki berada di rumah perempuan. Apa kata tetangga Indah nantinya?

Jodi mengangguk. "Kakak akan pulang setelah membelikanmu sarapan," ujarnya seraya mengangkat tubuhnya. Ia memutar tubuh dan melangkah menjauhi Indah.

Indah mengulas senyum getir. Sebagai seorang wanita yang sudah beranjak dewasa, Ia pasti ingin merasakan punya pasangan. Jatuh cinta pada seorang pria baru Ia rasakan saat ini, tapi ...

Indah membalikkan tubuhnya ke sisi berbeda. Air matanya jatuh satu persatu di ujung mata. Menahan perasaan perih yang kini menyelimuti hatinya.

"Maafkan Indah ... Kak Jodi...,"

***

Sementara di luar, rungu Jodi mendengar suara orang berbincang di dalam kamar.

Jodi penasaran, tapi langkahnya terhenti saat angin membawa bau tidak sedap menguar di sekitar ruangan.

Ia membekap mulutnya Dengan tangan kanannya, sementara tangan kiri mengibas-ngibas agar bau menyengat itu pergi dari dirinya.

Namun, bau menyengat serupa bau bangkai tikus yang sudah beberapa hari mati itu tak kunjung hilang dari ruangan, sehingga memaksa Jodi untuk segera meninggalkan tempat.

"Hhhh!" Jodi menghembuskan napas kencang. Berulang kali menarik napas hingga paru-parunya terasa penuh dan lega.

Berada didalam rumah itu begitu menyiksa, tapi anehnya, kenapa Indah seperti tak merasakan apa-apa?

Jodi bukan hanya mencium bau tak sedap, tapi hawa panas dan membuatnya sesak hingga sulit untuk bernapas.

Pemuda itu berjalan beberapa langkah menjauhi rumah, tapi kemudian ia berhenti dan berbalik.

Matanya membola saat Ia melihat sekilas di dekat jendela ada bayangan serba hitam yang mengintipnya.

Hanya sekilas, dan saat Jodi berkedip, bayangan itu hilang. Jodi mengucek mata dan mengelus dadanya yang berdegup kencang.

"Syukurlah, hanya halusinasiku saja," desisnya.

Ia kembali memutar tubuh dan gegas melangkah ke arah motornya. Tak disangka, ada sekelompok bapak-bapak sedang mengerubungi motor besarnya.

Gegas Ia mengayunkan langkah, berharap motor sport mahalnya baik-baik saja.

"Maaf, Pak ada apa dengan motor Saya?" tanya Jodi sopan seraya menggeser beberapa orang untuk melihat kondisi motornya.

Bapak-bapak yang sedang mengelilingi motornya serentak menatap ke arah Jodi dengan tatapan menyelidik.

"Ini motor Kamu?" tanya laki-laki bertubuh gempal yang memperhatikan Jodi dari ujung kaki hingga kepala.

Jodi yang diperhatikan begitu intens merasa tak nyaman dan hanya mengangguk pelan.

"Apa buktinya? dan sedang apa Kamu disini? sepertinya Kamu bukan warga sini, 'kan?" tanyanya detail.

Jodi menatap satu persatu bapak-bapak yang sepertinya baru pulang dari ladang, wajah berkeringat dan tentengan cangkul, arit juga rantang.

Tatapan tajam menyorot padanya, seolah menuntut jawaban dari pemuda yang baru saja keluar dari rumah Indah, si perawan desa.

Jodi meneguk air liurnya susah payah, tenggorokannya seketika kering. Bagaimana jika Ia salah bicara? pastilah akan jadi persoalan.

"Sa--Saya tadi tak sengaja lewat dan berpapasan dengan Ibu di rumah itu,"  tunjuknya ke arah rumah Indah.

"Katanya tadi anaknya sakit dan perlu pertolongan, jadi Saya ikut Ibu tadi ke dalam," jawab Jodi berusaha tenang.

"Saya tidak percaya," jawab Bapak tadi.

"Saya juga, tidak mungkin motor di letakkan jauh dari rumah, seperti orang menghilangkan jejak," sahut yang lainnya.

Tatapan mata semakin tajam. Jodi terpojok. Ingin membela diri tapi bapak-bapak tadi malah berangsur mengelilinginya.

"Ada hubungan apa Kamu sama anak Pak Mulyono? apa Kamu baru saja berbuat mesum dengannya?"

"Ya, Bu Kartini biasanya jam segini tak berada di rumah, pasti itu ... pasti,"

Jodi di brondong pertanyaan-pertanyaan yang menyudutkannya, hingga tubuh pemuda itu bergetar. Ia merasa nyawanya kini di ujung tanduk.

"Jangan ganggu anak itu. Dia tidak berbohong. Indah memang sedang sakit di dalam. Aku yang meminta bantuannya tadi,"

Hiruk-pikuk seketika menjadi tenang. Jodi langsung bernapas lega saat mendengar suara Ibu Kartini yang membelanya.

Entah sejak kapan wanita paruh baya itu ada diantara mereka. Wajah datarnya membuat bapak-bapak yang berada di tempat bergidik ketakutan.

Ya, wajah Bu Kartini memancarkan hal yang menakutkan. Seolah bukan Bu Kartini yang mereka lihat saat ini.

Wajahnya diselimuti hawa aneh dan tubuhnya mengeluarkan bau yang tidak sedap.

Beberapa orang menyingkir menjauh, bahkan ada yang muntah-muntah, tak tahan dengan baunya.

"O--oh, ka--kalau begitu Ka--kami minta maaf, Bu. Sudah salah mengira," ujar Bapak bertubuh gempal dengan suara tertahan dan terbata.

Kartini hanya mengangguk tanpa menjawab. Bapak-bapak itu akhirnya melipir dan pergi satu persatu menyelamatkan diri sendiri.

Tak ada satupun yang berani tinggal. Hawa mistis yang begitu terasa membuat mereka enggan berlama-lama.

Jodi menarik napasnya. Rasanya plong saat Bapak-bapak itu menghentikan aksi menginterogasi.

"Terima kasih, Bu," ucap Jodi seraya berbalik, tapi ...

Mata Jodi lagi-lagi membeliak. Kosong. Tak ada siapa pun di belakangnya. Di mana Ibu Kartini tadi?

Srek-srek!

Jodi menggerakkan kepalanya, rungunya mendengar suara orang menyapu. Ia mencari asal suara, dan ...

Tubuhnya lansung lemas saat melihat di kejauhan Ibu Kartini sedang menyapu tanpa melihat ke arahnya.

Jarak yang cukup jauh, Ia kira tak akan bisa Bu Kartini melesat secepat itu. Apa yang tadi benar Ibu Kartini? atau malah ...

Mata Jodi mengedar ke segala arah. Jantungnya berdentum kian kencang. Menelisik setiap sudut yang penuh misteri.

Rumah yang di kelilingi pohon bambu dan kapuk, serta kebun singkong di belakangnya, membuat nyali Jodi berubah ciut.

Namun, perasaannya pada Indah bukan main-main. Ia menguatkan hatinya.

Naik ke atas motor dab berniat membeli makanan untuk Indah, tapi saat Ia hendak mengendarai motornya, sebuah tepukan menghentikannya.

Jodi menoleh, dan lagi-lagi terperangah dengan seseorang yang berada di belakangnya.

"Nak Jodi pulang saja. Ibu bisa mengurus Indah. Terima kasih sudah menolong Ibu dan Indah barusan," wanita yang tak lain Kartini itu mengulas senyum manis.

Jodi hanya terdiam. Tak mampu berkata-kata. Hanya mampu mengangguk pelan dengan pikiran yang entah ke mana. Ia lalu permisi dan pergi dengan sejuta tanya dalam hati. Sebenarnya siapa Ibu Kartini?

****

Dendam Arwah BapakTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang