#part 65
#R.D.Lestari.
"In, Akang Rahmat pulang duluan, ya?" Rahmat mengerling saat Indah menatap ke arahnya.
Indah hanya membalas dengan anggukan.
"Terima kasih bantuannya, Kang. Indah pastikan uangnya akan Indah balikin meski dengan cara mengangsur," janji Indah.
Melihat Indah yang berada pada titik paling bawah, Rahmat merasa keberuntungan berpihak padanya.
"Sudah ... jangan di pikirin. Sekarang waktunya Kamu mikirin keadaan ibumu, dan untuk adik-adikmu ... biarlah Kami yang mengurusnya,"
Indah menatap haru Rahmat. Kebaikan orang di hadapannya itu tentu membuatnya sangat tersentuh.
Ucapan terima kasih terus terlontar dari bibir manisnya hingga membuat Rahmat seperti berada di atas awan.
Rahmat berbalik dan melangkah ke arah pintu. Di saat bersamaan pintu di ketuk. Rahmat menghentikan langkah dan mundur beberapa langkah hingga Ia bisa melihat jelas siapa yang datang.
Sesosok laki-laki dengan wajah tampan menyembul dari balik pintu. Mengenakan hoodie berwarna putih dengan rambut yang tersisir rapi.
Rahmat menatap sinis. Memperhatikan pemuda itu dari ujung kaki hingga ujung rambut.
Pemuda itu pun membalas tatapan Rahmat tak kalah sinisnya. Indah yang saat itu tak menyangka kedatangan tamu istimewa langsung mendekat.
"Kak Jodi?"
Rahmat hanya mengulas senyum sinis dan melanjutkan langkah keluar dari ruangan itu.
Dalam hati terselip rasa cemburu. Namun, Ia tak ingin rencananya hancur. Untuk saat ini bersabar adalah jalan terbaik.
Ia sempat melirik saat Indah begitu ramah menyambut pemuda itu. Dalam hati bertanya. Mungkinkah itu pacarnya?
***
Indah lalu mempersilahkan Jodi untuk duduk, tapi Jodi menolaknya dengan lembut.
"Kamu sudah baikan, In? kenapa Kamu lama ga masuk kerja?" Jodi menatap teduh ke arah Indah.
Andai saja gadis ini menerima cintanya, Ia ingin saat ini meraih tangannya dan menggenggamnya erat.
Tak dapat di bohongi, wajah Indah menyimpan beban yang sangat berat. Jodi yang memang sudah memendam rindu sedari lama tak mampu berlama-lama menahan diri.
Hari ini, Ia sengaja datang pagi ke rumah Indah sembari membawa sarapan. Sudah seminggu lebih semenjak Indah sakit, Ia tak lagi melihat Indah datang ke Tokonya.
Jodi mengira Indah marah padanya, tapi ternyata kabar buruk yang Ia dapatkan.
Saat itu Ia bertemu seorang ibu-ibu yang sedang menggendong adiknya Indah. Ibu itulah yang memberikan alamat dan kamar tempat di rawatnya orang tua Indah.
"Laki-laki tadi, pacarmu, In? pantaslah Kamu menolakku, ternyata sudah punya pacar,"
Indah langsung menggeleng. "Bukan, Kak. Dia tetangga yang menolongku mengantar Ibu tadi pagi kemari," jelas Indah.
"Oh ...," Jodi tak percaya jika laki-laki itu hanya tetangga Indah, karena Ia melihat aroma kecemburuan dari tatapan mata yang tak biasa darinya.
"In ... Ibu Kamu kenapa?" Jodi mengalihkan pembicaraan dan menatap ke arah Kartini, ibunya Indah.
Indah pun menggerakan kepalanya dan ikut menatap ibunya. Ia menghela napas dalam sebelum membuka mulutnya.
"Indah ga tau, Kak. Begitu buka pintu kamar, Ibu sudah tak sadarkan diri dan lengannya berdarah,"
Kening Jodi mengernyit. Apa mungkin terjadi perampokan di rumah Indah? tapi ... melihat kondisi rumah Indah, rasanya tak mungkin jika ada yang ingin merampok di sana.
Apa ... korban perkosaan?
"Kak Jodi kok tau Indah ada di sini?"
"Dan, apa nanti Pak Sudiro ga marah kalau Kak Jodi kemari? melihat Pak Sudiro kan...,"
"Shuttt, jangan pikirin Bapak sekarang. Yang terpenting sekarang keadaan ibumu," Jodi menyela.
"Emhh, ayo, duduk... Kak," Indah menarik kursi stainless dan membawanya kearah Jodi. Bunyi gesekan kursi dengan kramik ternyata
membuat Kartini terbangun karna suaranya yang berisik."In ... ibumu bergerak," ujar Jodi seraya menunjuk ke arah tempat tidur.
Indah langsung berbalik dan mendekati ibunya. Benar saja, mata wanita itu mengerjap. Tatapannya sayu.
"Ibu ... Ibu sudah bangun?" tanya Indah sembari mengurut-urut kaki Ibunya.
Kartini hanya mengangguk pelan. Ia menatap nanar ke arah Indah. Desahan keluar dari bibirnya saat itu, seolah baru saja keluar dari masalah besar.
"Buk? lengan Ibu kenapa? kok lukanya besar sekali?"
Tatapan Kartini langsung melesat pada Indah. Cemas dan was-was. Jelas Ia harus menyembunyikan apa yang terjadi padanya malam itu. Jika Indah tau, bisa gawat! mana mungkin Ia mengakui apa yang sebenarnya Ia lakukan. Berpura-pura menjadi pocong dan memanfaatkan keasaman dengan mencuri uang.
"Ehm, kepala Ibu masih pusing, In. Lupa apa penyebab luka ini," bohongnya.
Indah hanya mengangguk pelan. Ia kemudian menyuruh Ibu kembali beristirahat, sedang Ia mengantar Jodi ke luar kamar.
"Indah ... Kakak pamit pulang, ya? besok biar Kakak jemput. Kamu tunggu di sini, ya?"
Indah mengulas senyum ramah. " Asal ga ngerepotin Kakak aja," jawabnya.
"Ya enggaklah. Kakak malah senang bisa jemput Kamu,"
Jodi melihat senyum di wajah Indah yang manis. Sebuah senyum tulus yang selama ini Ia rindukan.
Jodi pulang dengan hati bahagia, begitupum Indah yang semakin lebar membuka pintu hatinya.
Ia tak mampu menahan gejolak dalam dadanya. Harus Ia akui, Ia memang jatuh cinta pada Jodi. Selama beberapa hari tak melihatnya, hidupnya terasa hampa.
Mereka tak menyadari, romansa indah itu di intip oleh sepasang mata yang melihat dengan iri. Tangannya terkepal melihat keakraban itu.
"Sial*n! tak akan kubiarkan Dia mendapatkan Indah. Indah hanya milikilah!"
***
Tong! tong! tong!
Untuk pertama kalinya, malam itu di Desa Beringin suara kentongan terdengar bertalu-talu.
Disertai berisik dan hiruk pikuk, riuh rendah suara warga bersahut-sahutan sembari membawa senjata tajam.
Malam itu sangat ramai, warga berkumpul di balai desa. Termasuk kru TV yang baru hari ini diperbolehkan menginap di kediaman Pak RT.
Sempat bingung karena tiba-tiba warga mendadak berani keluar rumah dan berkumpul di tengah-tengah desa.
Padahal selama ini bagai desa mat*. Rupanya mereka sangat geram menerima kenyataan kalau ternyata pocong itu tenyata manusia biasa.
"Pak RT, cepat kita cari orang itu. Bia*ab memang. Kita ketakutan, Dia enak-enakan curi uang!" ujar salah satu laki-laki berbaju biru.
Handoyo, salah satu korban pocong itu hanya mendengarkan. Ia tak yakin jika sosok yang menerornya itu palsu. Ia yakin sekali itu makhluk halus.
Sama seperti Toing, Dia juga hanya mendengarkan saja.
"Saya rasa ... pelaku bukan dari kampung kita," Pak RT buka suara.
"Pokoknya ciri-ciri orang itu ada luka di lengannya. Siapa yang baru saja terluka, bisa di pastikan Dia orangnya ,"
Warga saling tatap. Seolah menerka-nerka siapa dari mereka yang menjadi dalangnya.
"Warga sini ga ada yang terluka Pak," Adu mereka.
"Benar dugaan Saya, Ia tak berasal dari kampung kita,"
"Jadi, Pak RT, apa yang harus kita lakukan sekarang? berjalan keliling kampung dan mencari tersangka?" usul yang lain, tapi Pak RT malah menggeleng.
"Besok Kita cari pelakunya bersama dan kita sidang!"
***