#part 64
#R.D.Lestari.
"Kita harus mencari orang itu. Aku yakin, Dia pasti dari kampung Kita atau mungkin dari Kampung terdekat,"
"Kalau ketemu, nanti Kita hajar saja!"
Beberapa orang yang tersulut emosi langsung mengiyakan.
"Stop-stop! jangan mudah terprovokasi. Kalau Kita main hakim sendiri, bisa di pastikan kejadian pocong keliling itu akan terulang lagi,"
Suami Yayuk Jamilah mengernyitkan dahi. Isu pocong itu ternyata benar? tapi ... kenapa di kampungnya adem ayem saja? padahal kampung mereka bersebelahan.
"Mas, ini buburnya," suara Mamang bubur menyadarkan suami Jamilah dari lamunannya.
Laki-laki berumur empat puluh tahunan itu lantas mengeluarkan uang lima puluh ribuan dan mengulurkannya pada Mamang.
Ia pun menerima kembalian, tapi rungunya tetap awas mendengarkan perbincangan bapak-bapak yang mengantri.
Suami Yayuk Jamilah melangkah kembali ke arah Klinik, di mana Indah masih menunggu ibunya.
Di sepanjang perjalanan, pikiran lelaki itu tak pernah lepas dari perbincangan bapak-bapak yang tadi mengantri.
Ciri-ciri sosok pocong palsu itu kenapa sama seperti Kartini? luka tebasan samurai, apa itu yang kini Kartini alami?
Tanpa Ia sadari, Ia kini sudah berada di depan ruangan tempat Kartini di obati.
Indah masih menunduk. Ia tau jika gadis itu masih kalut. Rasa iba semakin menyeruak di hatinya.
Suami Jamila kemudian mengulurkan styrofoam berisi bubur yang ada sendok plastik diatasnya.
"In ... sarapan dulu," ujarnya yang lantas membuat Indah terjingkat, kaget. Indah mengangkat wajahnya dan setengah mendongak menatap ke arah suami Jamila.
"Te--terima kasih, Kang," Indah mengulas senyum getir saat menerimanya.
Ia membuka wadah itu dengan perlahan, melihat isinya yang ternyata sangat menggiurkan.
Ragu, saat Ia ingin menyendok bubur yang sepertinya sangat enak. Wanginya saja sudah membuat perut nya keroncongan.
Ia teringat ibunya dan Danang. Bagaimana Ia di rumah? apakah Danang juga sarapan?
"Makanlah, In. Kakang tau Kamu mikiri ibumu dan adik-adikmu. Percayalah, Istriku itu orang yang sangat baik. Dia pasti bisa mengurus adikmu dengan baik,"
Bibir Indah bergetar menahan haru. Ia menatap sendu dan mengangguk.
Perlahan, Indah menyuap bubur yang terasa amat nikmat itu. Bulir bening menggenangi pipi sembari mulutnya mengunyah bubur.
Suami Jamilah pun bertambah iba. Ia seperti merasakan derita gadis cantik di sampingnya itu.
Ia ingin memberi lebih, tapi menyadari posisinya hanya sebagai tetangga. Namun, saat Ia memperhatikan Indah yang sudah tumbuh dewasa, hatinya perlahan tergugah. Ternyata gadis itu cantik juga.
Indah terhenyak dan menghentikan makannya saat pintu ruangan tempat Ibunya dirawat terbuka.
Gegas Indah bangkit dan mendekat ke arah dokter yang baru saja keluar.
"Pak Dokter, bagaimana keadaan Ibu Saya?" tanya Indah dengan nada khawatir.
Pak Dokter melesatkan pandangan kearah Indah. Ia hanya mengulas senyum tipis padanya.
"Masih lemah, tapi beruntung cepat di bawa kesini, karena darah yang keluar sangat banyak," jelasnya.
"Ibu Anda masih belum sadar, tapi sebentar lagi juga sadar. Silahkan urus administrasinya, karena besok sudah bisa pulang," ucap Pak Dokter sebelum pamit untuk pergi.