Bismillah
Pocong Itu Bapakku
#part 45
#R.D.Lestari.
Wajah Ibu berubah tegang, seperti menyembunyikan sesuatu. Ia nampak gelagapan. Matanya bergerak-gerak sedangkan bibirnya mengatup dengan deru napas yang terdengar memburu.
Indah memperhatikan semua gerak-gerik Ibu yang nampak mencurigakan. Ia yakin, ada sesuatu yang Ibu sembunyikan. Pasti laki-laki itu, pasti!
"Kamu lihat sendiri, Indah. Tak ada laki-laki manapun yang masuk ke kamar Ibu. Jangan suudzon Kamu," ketus ibunya sembari memunggungi Indah.
Indah terhenyak. Ini bukan sifat ibunya yang biasa berkata kasar. Gadis itu merasakan perubahan besar pada sosok ibunya yang terkenal penyabar dan penyayang.
"Tapi, Bu ... Indah dengar jelas suara laki-laki dari kamar Ibu," lirih Indah menurunkan volume suaranya.
Ibu yang semula memunggunginya itu dengan cepat membalik tubuhnya dan menatap tajam ke arah Indah.
"Jangan berani-berani mengintip atau menguping kamar Ibu lagi!" desisnya dengan suara yang ditekan. Rahangnya mengeras, menandakan Ia menahan amarah.
Glek!
Indah meneguk saliva susah payah. Saat matanya berinteraksi dengan mata Ibu, hatinya mencelos seketika. Kemana mata teduh itu? mata yang selalu memberinya kekuatan, karena ketika menatap mata Ibu, Indah menjadi kuat menjalani hari-harinya yang berat.
"Maafkan Indah, Bu. Mungkin Indah salah dengar tadi,"
"Ya, sekarang Kamu keluar dari kamar Ibu. Ibu mau istirahat. Kamu kan besok juga mau kerja," suara Ibu perlahan mulai kembali normal. Indah mengangguk dan pergi begitu saja.
Perasaan aneh kian menyelusup hatinya. Ia amat yakin jika yang didengarnya tadi adalah suara bass laki-laki, tapi di mana laki-laki itu? apa mungkin Ia hanya berhalusinasi?
***
Pagi itu, tak seperti pagi-pagi biasa. Ibu belum juga bangun, padahal matahari sudah terbit.
Biasanya saat azan subuh berkumandang, terdengar gemericik air di padasan belakang rumahnya, pertanda ibunya hendak mengerjakan solat.
Bak alarm alami, Indah pun biasanya terbangun karena itu. Namun, tidak pagi ini. Tak terdengar pergerakan apa pun di rumah itu selain dirinya yang sudah terbangun.
Indah menatap sekitar. Ia berdiri diambang pintu kamarnya. Begitu sunyi dan hening.
Huffft!
Gadis itu menghela napas yang terasa berat, seolah ada beban yang kini bertumpu pada dirinya.
"Ayo, Indah, semangat!" ucapnya pada diri sendiri.
Karena langit sudah nampak terang, Indah yang baru saja menyelesaikan solat subuh, beranjak ke dapur.
Ia ingin membuat sarapan untuk adiknya, Danang yang akan bersekolah.
Indah menurunkan tubuhnya, berjongkok di depan tunggu perapian yang terbuat dari batu bata yang disusun sedemikian rupa.
Abu sisa masak kemarin masih mengumpul. Indah meraih satu-persatu kayu kering yang diletakkan hanya satu meter dari tungku.
Setelah menyusun kayu, tubuh Indah perlahan naik dan melangkah menuju jerigen minyak tanah yang teronggok di sudut ruangan.
Byurr!
Ia menyiramkan minyak itu diatas kayu yang mengumpul.
Cezzz!