Bismillah
#part 58
#by: R.D.Lestari.
Sudiro bangun saat mendengar azan begitu keras di telinganya. Matanya mengerjap. Menatap sekeliling.
Bukan rumahnya. Melainkan sebuah gubuk reot. Sudiro beringsut dari duduknya. Berusaha duduk dan menyandar di dinding bambu.
Sekilas, Ia seperti mendengar seseorang menggerutu. Namun, hanya sebentar. Tak lama, suara derap langkah kaki mendekati tempatnya berbaring.
Sudiro mengangkat wajahnya dan tatapannya terpaut pada sosok yang Ia kenal. Jodi, anak kandungnya sendiri.
Jodi tersenyum hambar. Wajahnya pucat seperti kurang istirahat.
"Bapak sudah bangun?" tanyanya. Sudiro mengangguk pelan.
"Bapak di mana, Di?" Sudiro tak tahan untuk bertanya. Ia betul-betul penasaran di mana saat ini Ia berada.
Jodi kembali mengulas senyum. "Bapak ga perlu takut. Mulai sekarang Bapak aman disini," ujar Jodi.
Sudiro semakin tak mengerti dengan ucapan Jodi yang seperti teka-teki.
Di saat yang bersamaan, masuklah seseorang dengan berpakaian gamis dan jenggot panjang terjuntai di bawah dagunya.
Laki-laki yang diperkirakan berumur sekitar enam puluh tahunan lebih itu tersenyum ramah. Sudiro langsung memalingkan wajahnya dan menuntut jawaban dari anaknya.
"Bapak ... ini Abah Kyai Sulaiman. Dia adalah Kyai yang mumpuni mengobati orang-orang yang terkena guna-guna dan gangguan makhluk gaib," Jodi memperkenalkan.
"Bapak di bawa ke sini saat beberapa warga menemukan Bapak pingsan di rumah Dukun Suroso,"
"Kebetulan saat itu Abah Kyai ada di sekitar tempat dan menawarkan diri untuk membantu merawat Bapak, karena katanya ada sosok gaib yang ingin menghilangkan nyawa Bapak," papar Jodi yang menguat Sudiro terpaku.
Ia mengiyakan semua tapi hanya di dalam hati. Masih tak berani jujur prihal Indah dan ibunya.
Di mana kini Ia sudah mengetahui siapa Indah dan keterkaitan Indah pada dirinya dan tokonya.
Wajarlah jika selama ini ada sosok pocong yang selalu menghantuinya di manapun Ia berada. Ternyata Ia tak lain adalah arwah bapaknya Indah yang menjaga anak perempuannya.
Sudiro hanya mengangguk pasrah. Menyadari betapa Ia sudah banyak berbuat salah pada Indah ataupun bapaknya.
Jodi menatap bapaknya dalam. Ia merasa ada yang aneh pada bapaknya. Kenapa bapaknya bisa berada di rumah Dukun itu? apa yang sebenarnya diperbuat bapaknya?
"Bapak ... Bapak ngapain di rumah Dukun itu? Bapak melakukan pesugihan?" terkanya yang langsung di sambut gelengan dari Sudiro.
"Bapak ...,"
"Nak Jodi... biarkan bapakmu istirahat dulu. Nanti tanyakan langsung pada Mbah Dukun kalau Dia sudah sadar," ujar Abah Kyai dengan lembut.
Jodi menurut, sedang Sudiro nampak penasaran dengan ucapan Abah barusan.
"Bagaimana keadaan Mbah Suroso, Bah?" tanya Sudiro dengan degup jantung yang berdebar kencang.
Abah menarik napas dalam sebelum membuka mulutnya.
"Sekarang Suroso masih berada di Rumah Sakit, Ia masih belum sadar, sedangkan istrinya sudah sadar, tapi masih masa pemulihan,"
"Istrinya tidak mau buka suara. Ia hanya diam dan raut wajahnya ketakutan,"
"Saya ingin Bapak jujur saja, tapi Saya tidak memaksa. Saya akan sabar menunggu. Soalnya Suroso itu ... Adik Saya. Saya berhak tau apa yang menimpa saudara kandung Saya itu,"
Sudiro meneguk salivanya susah payah. Semakin di pojokkan dan dituntut kejujuran.
"Baiklah Pak Sudiro silahkan beristirahat. Saya dan Jodi akan menunggu di luar,"
Abah Kyai lalu mengajak Jodi untuk keluar dari kamar. Sudiro bernapas lega. Ia pun membaringkan tubuhnya dan menutup matanya.
Benar kata Jodi. Ia seperti menemukan kedamaian di gubuk itu. Tak ada rasa was-was akan teror. Ia begitu nyaman dan betah.
Tak seperti sebelum-sebelumnya. Di mana saja mendapat teror dan susah untuk beristirahat.
Ia bisa begitu saja merasakan damai dan tertidur pulas.
Sementara Jodi mondar-mandir di ruang tamu rumah Abah. Ia ingin sekali menanyakan prihal apa saja yang baru Ia dengar saat tak sengaja masuk ke kamar bapaknya.
Bapaknya berulangkali menyebut nama Indah dan meminta maaf. Itu membuat Jodi bertanya-tanya. Kesalahan apa yang sudah bapaknya lakukan pada Indah?
***
Suara tangis Mulyani terdengar menggema di seluruh ruangan. Sayup Indah mendengar suara Danang sedang berusaha menghibur adik kecilnya.
Indah yang saat itu masih sedikit pusing memaksakan dirinya untuk melangkah ke arah kamar ibunya.
Namun, saat Ia baru sampai di ambang pintu, Ia mendengar ketukan di pintu ruang tamunya.
Indah pun memutar langkah dan berjalan menuju pintu.
"Ibu?"
Indah terperangah saat melihat ibunya dengan pakaian penuh debu dan kotoran tabah di mana-mana.
"Ibu dari mana?" tanya Indah menyelidik.
"Jangan banyak tanya, Kamu jaga dulu Mulyani, Ibu mau mandi," tangan Kartini begitu saja menggeser tubuh Indah dan langsung berjalan cepat ke arah kamar mandi.
Indah yang melihat sikap aneh ibunya itu hanya mampu mengganguk, Ia melangkah pelan ke arah kamar Danang karena suara adik bungsunya itu terdengar dari sana.
Benar saja, bayi gembul itu masih menangis di atas kasur. Meski sedikit terhuyung, Indah membawa adiknya itu ke pelukannya dan menimangnya.
"Adek laper, ya? bentar... Ibu sedang mandi. Mulyani anak baik, 'kan?"
Dengan lidah yang mengecap-ngecap bayi itu perlahan mulai diam dan mengarahkan jari jempolnya ke arah mulut.
Mata bulatnya mengerjap lucu menatap ke arah Indah. Indah merasakan kedamaian saat Ia melihat wajah Mulyani.
Ia lalu mengecup kening Mulyani penuh cinta. Bayi kecil itu begitu tenang sampai ibunya selesai mandi dan berganti pakaian. Mulyani tak lagi rewel dan terlihat anteng.
Kartini masuk dan meminta Mulyani. Ia merasa bersalah karena meninggalkan hati kecilnya itu terlalu lama. Gara-gara ingin memberi pelajaran pada orang-orang yang sudah berani menyakiti anak gadisnya, Ia malah melupakan anak bayinya. Ia pasti kelaparan.
Benar saja, bayi kecil itu dengan lahap menyesap air susu ibunya. Tanpa jeda. Tangan mungilnya sesekali bermain di area wajah dan dada. Seolah rindu akan dekap hangat ibunya.
Tanpa terasa, air mata jatuh membasahi wajah mungilnya. Mata bocah kecil itu mengerjap dan sesekali terdengar celotehan dari mulut mungilnya.
Semakin lama Ia memandang, Semakin besar rasa bersalah dalam hatinya.
Bau bangkai tiba-tiba menguar. Kartini merasakan ranjangnya bergoyang membuat Mulyani yang awalnya sudah hampir terlelap kembali terjaga.
Kartini dengan sigap menepuk-nepuk pelan bayi kecilnya dan Mulyani pun kembali terlelap.
Kartini merasakan pergerakan pada ranjang besinya. Ia tak bergerak. Ia tau apa yang saat ini ada di balik tubuhnya.
Kartini hanya menghela napas dalam dan memejamkan mata saat sebuah tangan melingkar di pinggangnya.
Wanita paruh baya itu tetap menyusui anaknya. Tangisnya pecah saat itu juga.
Aroma bangkai semakin menyengat, tapi Kartini sama sekali tak merasa risih. Saat itu Ia hanya merasakan kesedihan yang teramat.
Merasakan perasaan bersalah pada anak-anaknya. Bimbang pada batinnya yang terus bersiteru. Apakah benar yang Ia lakukan saat ini? atau ini sebuah kesalahan yang fatal?
***