Bismillah
Pocong Itu Bapakku
#part29
#R.D.Lestari.
"Ga bisa, Bu. Jodi itu bukan mau bantu kita, tapi mau pacaran,"
Jodi dan ibunya saling berpandangan. Mereka menaikkan bahu.
"Pacaran sama siapa sih, Pak?" ledek Jodi. Ia merasa belum punya pacar.
"Sama Indah,"
"Indah?"
Jodi dan ibunya saling berpandangan. Ada apa dengan Indah?
"Bapak terlalu suudzon sama Jodi. Jodi dan Indah itu hanya teman, Pak. Teman," jawab Jodi dengan suara memelas.
"Kau bisa saja menipu ibumu, Jodi, tapi tidak dengan bapakmu. Cepat atau lambat, hubunganku dengan Indah akan terkuak, dan untuk kau tau ... Bapak tak akan pernah setuju! camkan itu!" bentak Sudiro dengan suara bergetar.
"Tapi, Pak ...,"
"Sudah, sudah! jangan ribut lagi!"
"Kau Jodi, tetap di rumah. Tunggui bapakmu dan kabari Ibu jika terjadi sesuatu," titah istri Sudiro dengan mata yang menyorot marah.
Jodi menarik napas dalam-dalam, dan menghembuskannya perlahan. Melepaskan sesak yang sejak tadi menghimpitnya. Tanpa ingin menyela ataupun membantah, Jodi mengangguk pelan.
Pemuda beralis tebal itu akhirnya memutar tubuh dan berjalan ke arah dapur. Menyeduh kopi mocca sachet kesukaannya dan membawanya ke teras rumah.
Ia menyeruput kopi yang masih mengepulkan asap tipis-tipis. Kembali ia menghela napasnya dalam.
Mengingat bagaimana perasaan yang baru saja tumbuh di hatinya. Siapa lagi kalau bukan Indah, gadis muda dengan wajah manis dan kesederhanaan yang dimilikinya.
Ia memang tak cantik, kulitnya pun tak putih. Namun, saat ia mengalunkan ayat-ayat suci yang ia hapal ketika menimbang gula, terdengar merdu dan membuat hati Jodi bergemuruh kencang.
Ia tersentuh dengan suaranya yang indah seperti namanya, membuatnya tenang dan beban dipundaknya hilang seketika.
"Jodi, Ibu pergi dulu, ya?" sebuah tepukan pelan dirasakan Jodi seiring suara Ibu yang terdengar menggema ditelinga.
Jodi menoleh kearah Ibunya yang ada di samping. Wanita paruh baya itu menatapnya penuh selidik.
"Kenapa, Bu?"
Ibu mendesah sebelum akhirnya berkata," apa benar kata bapakmu barusan? Kamu dan Indah ...,"
Jodi seketika menggeleng pelan. "Jodi dan Indah hanya teman, Bu. Tidak lebih," kali ini suara Jodi terdengar rendah malah nyaris tak terdengar.
Ibu manggut-manggut. Berusaha percaya, tapi dihatinya tetap merasa jika anak laki-lakinya itu menyimpan sesuatu pada Indah, karyawannya.
"Ibu mau Jodi anter?" tanya Jodi saat melihat ibunya melangkah menjauh.
Namun, wanita itu menggeleng pelan. "Jaga Bapakmu aja. Dia kalau lagi datang marahnya, lama baru reda,"
Jodi mengangguk pelan. Hari ini sudah cukup baginya untuk berdebat dengan bapaknya. Lebih baik ia banyak diam.
Meski hatinya berontak. Apa salahnya jika ia jatuh cinta pada Indah? bukankah ia gadis baik-baik yang mampu menjaga marwahnya?
***
Ibu Jodi kini sudah tiba di Toko. Indah menyambutnya dengan senyum manisnya yang khas seraya menundukkan kepalanya sebagai rasa hormat.
Wanita tengah baya itu menatap gadis yang ada di hadapannya dengan seksama.
Wajar kiranya jika anak laki-laki satu-satunya itu jatuh cinta pada gadis berhijab itu. Selain punya tutur kata yang lembut lagi santun, ia juga cekatan dan berwajah manis, hingga tak bosan melihatnya meski berlama-lama.
Ia pun seperti tak asing pada wajah itu. Seperti pernah bertemu tapi lupa di mana.
Namun, yang ia tangkap pada gadis itu, wajahnya selalu murung, seperti menyimpan beban dan kesedihan yang sulit di ungkapkan.
Ibu Jodi lalu duduk di sebelah meja kasir, tapi matanya tak lepas dan seperti mengintimidasi gadis malang yang sedang bersih-bersih.
Indah sebenarnya menyadari. Ekor matanya memperhatikan cara Ibu Jodi melihatnya.
Meski ia tak tau apa penyebab wanita itu menatapnya dengan sinis, Indah tetap pada pekerjaannya.
Ia butuh pekerjaan ini, demi Ibu dan adik-adiknya dirumah. Baginya, tak ada yang lebih penting dari keluarganya, meski ia harus menepis perasaannya sendiri.
Indah menghela napas dalam. Sedang Ibu Jodi kembali memfokuskan dirinya saat ada pelanggan yang datang.
Hingga sore menjelang, mereka tidak bertegur sapa. Sampai akhirnya Indah pulang, dan Ibu Jodi hanya mengangguk saat Indah berpamitan.
Tanpa sepengetahuan ibunya, Jodi menunggu di persimpangan jalan, menuju rumah Indah.
Ia ingin mengantar Indah pulang, meski ada perasaan takut yang menghantuinya. Ya, ia masih sangat trauma dengan penampakan pocong tempo hari.
Namun, demi untuk bisa berbincang dengan leluasa, ia menepis rasa takutnya.
Dan, tak lama, gadis yang ia tunggu pun datang. Menggunakan baju sederhana dengan celana kulot andalannya, Indah tetap terlihat istimewa di mata Jodi.
Matanya berbinar melihat gadis yang ia tunggu sejak tadi. Berbeda dengan Indah. Ia tampak terkejut saat melihat Jodi.
Ia menghentikan langkah saat jarak mereka tinggal beberapa langkah. Sebuah anggukan ia berikan dan senyum yang sedikit terpaksa.
Jodi mendekat dengan cepat. Meski ada beberapa pasang mata yang memperhatikan, Jodi tak menyurutkan langkahnya.
"Aku antar pulang, ya?" ujar Jodi dengan wajah sumringah.
Indah terdiam. Ingin rasanya ia mengangguk setuju, karena memang selama beberapa hari ini, mimpi malamnya selalu di penuhi dengan kehadiran Jodi.
"Ma--maaf, Kak, saya pulang sendiri saja,"
Hati Jodi mencelos saat mendengar penolakan Indah. Wajahnya berubah pias saat itu juga.
Indah berjalan melewati Jodi begitu saja. Hatinya sebenarnya juga sakit, tapi teringat kembali ucapan Pak Sudiro tempo hari, jika ia tak akan pernah setuju jika Indah mendekati Jodi.
Indah menyadari siapa dirinya. Siapa orang tuanya dan dari mana ia berasal. Ia tak ingin memulai semua yang akan membuatnya terluka lebih dalam.
Brum!
Terdengar suara motor menderu. Ternyata Jodi tak patah arang. Ia mengikuti Indah dari belakang dengan motornya.
Indah yang merasa risih, menghentikan langkahnya dan memutar tubuh, Jodi pun menghentikan motornya.
"Kak, Kakak bisa pulang. Ga enak dilihat orang," ucap Indah sedikit memelas.
Jodi hanya mengulas senyum smirknya.
"Di kampung ini kan lagi heboh, kalau sudah mulai surup, pocong mulai menampakkan diri. Kamu ga takut?"
Indah tercekat. Siapa yang tak takut dengan makhluk itu? meski kata tetangganya itu bapaknya yang menuntut balas, tentu saja ia tetap takut.
"Trus, Kakak ga takut? lupa kejadian tempo hari sampai pingsan di bawah pohon bambu?" Indah terkekeh menggoda Jodi yang wajahnya seketika merah padam menahan malu.
"Ga lah, yang penting kamu ga kenapa-kenapa, selamat sampai di rumah,"
Ucapan Jodi seketika membuat hati Indah terenyuh. Ia akhirnya mengangguk setuju dan naik ke
motor Jodi.Pemuda itu melajukan motornya dengan kecepatan sedang. Ia begitu menikmati perjalanan sore bersama Indah, gadis yang mulai mengalihkan dunianya.
Meski tak bisa ia pungkiri, rasa takut tetap hadir, memikirkan bagaimana nanti ia pulang seorang diri. Apakah mungkin pocong itu akan menemuinya kembali?
*****