part 60

3.8K 274 6
                                    

Bismillah

            

#part 60

#R.D.Lestari.

Dipta melihat Musholla di kejauhan. Ia lalu mengajak krunya untuk singgah di sana.

Mereka mengikuti langkah Dipta yang tergesa. Lelaki bertubuh tinggi itu tampak bersemangat, apalagi Ia sempat melihat sekelebat bayangan seseorang di dalam Musholla dari kejauhan.

Benar saja, ternyata Ustadz Salman baru saja selesai merapikan beberapa Al-Quran dan Juz 'amma yang berserakan sisa mengajar ngaji sore tadi.

Ustadz Salman sempat terkejut saat melihat kedatangan rombongan orang yang membawa ransel dan kamera.

Dengan ramah Ustadz Salman membuka pintu Musholla yang terbuat dari kaca tebal dan mempersilahkan mereka masuk.

"Assalamualaikum, Pak," sapa Dipta dan beberapa anggota kru lainnya.

"Waalaikumsalam," jawab Pak Ustadz ramah. Ia membuka pintu dan mempersilahkan mereka masuk.

Dipta dan kru lain merasa lega, apalagi tak lama, Umar masuk dan memperkenalkan diri sebagai warga kampung Beringin.

Dipta dan kru yang lain pun ikut memperkenalkan diri satu persatu. Pak Ustad manggut-manggut saat mendengarkan niat mereka datang ke Kampung itu.

Setelah selesai, Pak Ustadz mulai mengurai pendapatnya. Menyakinkan jika Kampung itu sedang tidak aman. Tidak seperti Kampung yang lain.

"Saya bukan menolak, tapi perlu diperhatikan, Kampung ini sedang tidak baik-baik saja," ujar Pak Ustadz.

Sontak ucapan Pak Ustad itu membuat mereka menelan ludah. Mereka tak menyangka begitu banyaknya kejadian. Kisah pilu itu membuat warga kampung diteror hingga ada pula yang menjadi korban dan meregang nyawa.

Semua bukan isapan jempol belaka. Mereka mengira Kampung itu sama saja seperti Kampung yang lain, hanya sekedar mitos dan tak pernah ada kejadian apa pun.

"Saya mohon, Pak ... Kami sudah mengeluarkan uang yang tidak sedikit untuk bisa sampai kesini," suara Dipta terdengar mengiba.

Ia tak salah. Mereka sudah menggelontorkan uang yang tak sedikit. Untuk pulang, itu hal yang mustahil.

Kerugian materiil adalah faktor utama, dimana mereka harus memikirkan biaya akomodasi yang lumayan menguras kantong.

Pak Ustadz Salman hanya bisa mendesah. Pikirannya bimbang, mengingat gonjang-ganjing di kampungnya belum juga usai, dan Ia terpaksa menerima banyak orang yang kemungkinan akan membuat keadaan kampung semakin runyam.

"Saya tidak bisa memutuskan. Kita besok saja bertemu dengan Pak RT. Malam seperti ini sangat rentan karena kampung ini sudah tidak aman," papar Pak Ustadz yang membuat kening para kru mengernyit.

"Tapi, Pak, Kami butuh tempat tinggal," Dipta masih saja mendesak. Pemuda berumur 28 tahun itu mulai tak sabar. Lelah begitu menggerogoti dirinya.

"Kalian bisa tinggal di sini malam ini. Yang perempuan bisa tidur di shaff perempuan. Terpisah,"

"Bukan Saya mau melarang, tapi kondisi kampung yang memang tidak memungkinkan," ujar Pak Ustadz masih berusaha memberi pengertian.

"Baiklah, Pak ... terima kasih sudah memberi Kami tempat menginap malam ini, dan maafkan sudah datang tanpa pemberitahuan terlebih dahulu," Dipta akhirnya pasrah.

Untuk mencari penginapan sudah tidak memungkinkan. Lagian, tempat itu cukup terpencil dan sepi.

Untung saja Ia bisa bertemu dengan Bapak yang kebetulan ada di Musholla.

"Maaf, Pak ... di mana Kami bisa memasak atau beli makanan?" tanya Rosi, sebagai penanggung jawab konsumsi.

"Semenjak isu pocong yang terus berhembus kencang, tidak ada satupun warung yang buka setelah magrib. Mereka benar-benar mengurung diri di rumah," jawab Pak Ustadz.

"Silahkan gunakan gudang Musholla, tapi ingat! bersihkan dan jangan memasak sendirian," lanjutnya.

Para kru acara Misteri Dunia Lain manggut-manggut mengerti. Pak Ustadz pun pamit dan mempersilahkan orang-orang dari Kota itu untuk beristirahat.

Rosi meminta Sinta, talent, untuk menemaninya memasak. Namun, karena rasa takut yang teramat sangat, Rosi meminta salah satu teman laki-laki untuk turut menemani.

Dari sekian banyaknya laki-laku, hanya Firdaus, kameramen, yang mau menemani. Laki-laki yang lain mengeluh lelah dan memilih menselonjorkan tubuhnya.

Sedikit ngedumel, Rosi dan kawan-kawannya akhirnya memberanikan diri untuk ke gudang Musholla.

Angin dingin langsung menyambut mereka saat pintu Musholla terbuka. Sempat ragu, tapi Rosi tetap berpikiran positif. Perut yang minta diisi jadi alasan utama.

Firdaus melangkah paling belakang. Kamera di tangannya tak henti merekam. Meskipun rasa takut kian menjalar, Ia tetap mengarahkan ke sekitar tempat.

Udara dingin semakin menusuk kulit. Rosi yang saat itu sudah dibekali kunci dengan Pak Ustad, dengan tangan gemetar membuka gembok gudang.

Perasaannya tiba-tiba tak enak. Sementara Sinta memperhatikan sekeliling tempat.

Banyaknya pepohonan rindang dan gerimis membuat hatinya berdesir tak menentu.

Ini bukan kali pertama Ia merasa begitu. Sejak Ia memasuki kampung, merasa ada yang memperhatikan gerak-gerik mereka.

Beberapa kali Ia menyentuh punuknya yang terasa meremang.

Srakkk!

Sontak tiga orang itu terdiam dan pandangan menuju ke arah pepohonan.

Aneh, hanya ada suara tapi tak ada pergerakan sama sekali.

"Kak Ros, cepetan. Perasaanku tak enak," Sinta menyentuh pundak Rosi yang saat itu belum berhasil membuka gembok. Ia begitu panik hingga kunci berulang kali meleset.

"Sa--sabar, Sin, A--Aku juga lagi usaha," jawab Rosi terbata.

Klek!

Pintu terbuka dan cepat-cepat mereka masuk. Gudang penuh dengan barang-barang mesjid, termasuk keranda mayit dan juga tempat mandi mayit yang berbentuk seperti tempat tidur tapi terbuat dari almunium.

Tatapan mereka mengedar kesegala arah. Bergidik ngeri, tapi perut semakin keroncongan dan minta segera diisi.

"Cepetan Ros, hidupin kompor. Aku udah ga tahan lama-lama di sini. Kek ada yang lihatin," Firdaus bergidik ngeri.

"Iya-iya, sabar. Ini juga lagi Gua rakit kompornya," seraya memasang kaleng gas Rosi terlihat mulai marah. Sama seperti Firdaus dan Sinta, Ia pun takut, cuma karena memikirkan perut teman-temannya, Ia berusaha berani.

Sinta mulai membantu menyiapkan alat masak yang mereka bawa. Bahu membahu bersama Rosi memasak mie rasa kari ayam, tentu saja tanpa nasi, karena waktu yang semakin malam dan kondisi yang tidak memungkinkan.

Selesai masak, Sinta dan Rosi membereskan semua perlengkapan dan membawa mie yang sudah matang ke Musholla, di mana teman-temannya sudah menunggu.

Hanya dalam beberapa menit saja, Mie habis tanpa sisa. Firdaus yang sudah kekenyangan mulai memeriksa kameranya.

Malam itu mereka lewati dengan tenang tanpa hambatan. Mereka memutuskan istirahat dan mengumpulkan energi, karena hari esok akan lebih melelahkan dari hari ini.

***

Abah Sulaiman pulang mengucapkan salam sebanyak tiga kali. Sudiro yang mengingat pesan dari Abah Kyai langsung membuka pintu.

Abah mengulas senyum dan ucapan terima kasih terlontar dari bibirnya. Ia masuk dan dengan segera menutup pintu. Seperti ketakutan akan sesuatu.

"Bahaya. Cepat-cepatlah masuk," serunya.

Sudiro mengangguk pelan. " Abah, bolehkah Saya bertanya?"

Abah menghentikan langkah dan berbalik menghadap Sudiro.

"Ya, tentu saja, Pak,"

"Kapan Saya bisa keluar dari sini?"

Dendam Arwah BapakTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang