part 68

3.2K 233 11
                                    

#part 68

#R.D.Lestari.

"Darimana Ibu punya uang sebanyak itu?" pertanyaan itu akhirnya lolos begitu saja dari mulutnya.

Wajah Kartini tiba-tiba menegang. Apa yang selama ini Ia sembunyikan ... apakah ini saatnya akan terungkap? sebuah kejujuran yang akhirnya harus lolos dari bibirnya.

"Bu?"

"Ehm, sebelum ketimpa musibah, Ibu minjam duit koperasi untuk modal usaha," bohongnya.

"Pinjam duit koperasi? bisa sebanyak itu? bagaimana cara kita balikinnya, Bu?" Indah menatap ibunya tak percaya. Hatinya berdesir menyayangkan tingkah ibu yang seenaknya.

Kartini semakin bimbang. Jelas Ia sedang tidak menyusahkan Indah, tapi ternyata alasan yang Ia kemukakan barusan salah.

"Ehm, itu bukan untuk Ibu sendiri, tapi tak apa kita pakai dulu, nanti bisa Ibu cari pinjaman di tempat lain untuk balikinnya,"

Indah menarik napasnya dalam. Ia lalu mengangguk pelan.

"Ya sudah, sekarang Ibu istirahat dulu. Nanti Indah cari pinjaman dari Pak Sudiro," Indah menarik dua sisi bibirnya hingga tercipta lengkungan senyum yang nampak di paksakan.

Mendengar nama Sudiro, wajah Kartini langsung menegang. Ia tak suka nama itu terucap dari mulut Indah.

"Jangan Indah libatkan laki-laki itu dengan Kita, dan Ibu tak mengizinkan Kamu dekat-dekat dengan anaknya," dengan mata berkilat marah, Kartini memperingatkan Indah.

Wajah Indah menegang. Bingung. Apa sebabnya ibunya bisa semarah itu pada Pak Sudiro? padahal bertemu saja belum?

"Bu ... kenapa memang? dan ... yang dari kemarin  jadi pertanyaan Indah ... tangan Ibu kenapa bisa terluka seperti itu? apa yang sebenarnya Ibu sembunyikan?"

Wajah Ibu langsung menegang. Semakin terpojok dan sulit untuk berbohong.

"I--Ibu tak sengaja terkena arit saat sedang membersihkan rumput di kebon belakang," jawabnya terbata, sebisa mungkin menyembunyikan gemuruh di dadanya.

Indah memperhatikan ibunya seolah tak percaya pada perkataannya.

"Kenapa? Indah tak percaya sama Ibu? kapan Ibu pernah bohong sama Kamu?"

Indah bergeming dan hanya mengangguk pelan. Ibunya Ia suruh istirahat agar Ia bisa pulang ke rumah dengan segera.

Indah meminta izin untuk pulang barang sejenak, Kartini mengizinkan dan menyuruhnya untuk mengembalikan uang Rahmat.

Ia pun memberi tahu tempat penyimpanan uang. Indah menuruti perintah ibunya dan pulang membawa uang yang belum sempat Ia pergunakan.

lndah pulang dengan menggunakan oplet. Meski perjalanan menuju rumahnya termasuk jauh jika menggunakan oplet, Indah tetap memilih transportasi tersebut demi menghemat uang yang Ia punya.

Ia tak ingin memakai sepeserpun uang dari tetangganya itu. Perasaannya tak enak jika berada di dekat Rahmat. Meski Ia terlihat baik, Indah merasa Ia punya maksud yang lain.

Membawa uang lima juta yang hanya Ia simpan di dalam kresek hitam tentu membuatnya harus waspada di tengah keramaian.

Tak bisa Ia bayangkan jika nantinya uang itu raib dan berpindah pemilik. Tentulah Ia yang akan ketimpa tahlil.

Beruntung, hingga Ia sampai di rumah, uang itu masih utuh. Indah bergegas menuju rumahnya. Gadis itu mengitari rumah yang kosong bagai tak bertuan.

Gadis itu melesatkan pandangan ke arah rumah Yayuk Jamilah, di mana Ia mendengar suara tawa anak-anak yang terdengar riang.

Indah mengenali suara itu. Suara Danang dan Mulyani, adik bungsunya. Seketika perasaannya lega. Ternyata Yayuk Jamilah benar menjaga adiknya.

Gegas Indah berlarian ke arah rumah besar yang dikelilingi oleh pagar beton berukir itu. Ia masuk melalui pintu samping yang memang tak pernah di kunci, sebagai akses keluar masuk si pemilik rumah tanpa harus membuka pintu pagar besi di depan.

Indah mengetuk pintu yang tertutup rapat, memanggil dengan suara lantang karena di dalam kedengarannya sangat berisik.

Terdengar sahutan dari dalam. Tak lama pintu terbuka dan wajah sayu Yayuk Jamilah menyembul dengan senyum ramahnya.

"Eh, Indah ... sudah pulang?" tanyanya. Ia nampak begitu lelah, Indah jadi merasa tak enak hati. Ini pasti karena adik-adiknya.

"Iya, Yuk, tapi cuma mau nyerahin ini sama Ayuk," Indah menyerahkan uang lima juta itu pada Jamilah.

"I--ini apa, In?" Jamilah terlihat ragu saat akan menerima kresek hitam itu.

Ia langsung membuka bungkusan itu dan terbelalak melihat isinya.

"U--uang? sebanyak ini? untuk apa?"

"Yuk, terima kasih sudah mau menjaga adik-adik, mungkin besok Ibu sudah boleh pulang. Bisakah sampai esok hari adik-adik Indah titipkan di sini?" ujar Indah dengan suara melemah, berharap tetangganya itu mau menjaga adiknya hingga ibunya pulang.

Yayuk Jamilah mendesah dan menyerahkan uang itu kembali ke Indah.

"Tentu saja Yayuk mau. Mereka anak-anak baik dan ga rewel. Indah simpan saja uangnya untuk keperluan Indah. Yayuk ikhlas kok nolongnya," mata Yayuk Jamilah berkaca-kaca. Ia salah mengira.

Indah membola. Ia menolak uang yang di ulurkan padanya.

"Ini ... uang Yayuk Jamilah. Kang Rahmat yang minjemi kemarin, Yuk, tapi Ibu suruh kembalikan," Indah menjelaskan.

Tiba-tiba wajah Yayuk Jamilah mendadak tegang. Rasa haru yang merasuk lenyap entah kemana.

"U--uang ini ... dari Kang Rahmat?" tangan Jamillah bergetar saat mengetahui itu uang suaminya.

Indah mengangguk pelan. "Oh, ya sudah, Ayuk terima ya, In. Terima kasih banyak," Jamilah berusaha menahan sesak di dadanya. Senyum tetap Ia berikan, pun setelah gadis itu mohon diri untuk ke rumahnya karena ada sesuatu yang akan Ia ambil.

Ekor mata Jamillah tetap mengikuti gerak-gerik Indah, hingga gadis itu menghilang masuk ke dalam rumah.

Perlahan, Ia memutar tubuhnya dan melangkah gontai masuk ke dalam rumahnya karena suara tangisan Mulyani mulai menggema.

Ia sebenarnya lelah karena semalam Mulyani terus menangis, mungkin merindukan dekapan ibunya.

Masih dengan perasaan rancu, Ia meraih anak tetangganya itu. Hampir saja bayi itu terjatuh dari gendongannya, karena Jamilah tidak fokus dan pikirannya bercabang.

Sejak Ia menerima uang itu, Ia bagai menemukan sisi lain suaminya.

Selama ini Ia tak pernah mengetahui jika suaminya itu punya uang sebanyak itu.

Rahmat selalu bilang gajinya Ia berikan pada Jamillah, hingga untuk sehari saja Ia dijatah lima puluh ribu saja, di luar bahan bakar mobil tentunya.

Lima juta bukan uang yang sedikit. Hati Jamillah seperti di khianati. Kenapa semua itu harus Ia ketahui dari seorang Indah, bukan dari mulut suaminya sendiri?

Jamilah menatap nanar pintu kamarnya yang terbuka lebar. Ia memperhatikan anaknya dan juga adik Indah dengan tatapan sendu.

Ia kembali meletakkan Jamillah di atas ranjang saat bayi itu tertidur pulas. Mendengar suara ketukan dan melihat Indah sudah berada di ambang pintu rumahnya. Gadis itu pamit untuk kembali ke Rumah Sakit dan Jamillah hanya mengangguk pelan.

Perubahan sikap Jamillah yang jadi pendiam, tentu saja membuat Indah bertanya-tanya, tapi Ia tetap menitipkan adiknya pada wanita berwajah teduh itu.

Jamilah melihat kepergian Indah dengan hati tersayat. Kepalanya dipenuhi pikiran tentang Indah dan suaminya. Apakah Indah adalah selingkuhan suaminya? atau memang ini murni hanya sekedar pertolongan?

Dendam Arwah BapakTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang