part 71

4.9K 259 17
                                    

Bismillah

Pocong Itu Bapakku

#part 71

#R.D.Lestari.

"Bu ....ayo, di makan nasinya," Indah dengan telaten menyuapi ibunya. Piring nasi itu terkadang bergetar karena Indah pun kelaparan dan pikirannya terbagi dengan adiknya di rumah.

"Sudah, In. Kamu aja lanjuti. Sayang, masih ada ayam sama sayurnya," tangan Kartini menunjuk ke arah piring. Indah mengangguk dan memasukkan suapan yang tadi hendak Ia berikan pada ibunya.

Sembari mengunyah makanannya, Indah membayangkan wajah polos dua saudaranya yang kini Ia titipkan pada tetangga. Entah kenapa, dadanya terasa sakit jika mengingat mereka berdua.

"In ... Indah...," panggilan Kartini membuyarkan lamunannya.

Sontak Indah menatap Ibu dan mencoba tersenyum. Ia tak mau ibu nya memikirkan hal yang sama. Ibunya harus sembuh dan segera pulang, agar Ia bisa berkumpul kembali secara utuh.

"Kenapa, Bu?" Indah menatap ibunya yang terlihat gusar. Gurat kesedihan terpatri jelas di wajah kusamnya.

Ibunya menarik napas. Tampak dari dadanya yang kembang kempis menahan sesak.

"Ibu ...,"

"Pikiran Ibu tak enak, In. Besok Kamu pulang, lihat adik-adikmu," desis Ibu yang terdengar pilu.

Indah mengangguk setuju. "Iya, Bu. Makanya, Ibu makan yang lahap, biar kondisi Ibu membaik dan Kita bisa segera pulang ke rumah," ujar Indah.

Kartini mengulas senyum getir dan mengiyakan ucapan Indah. Gadis itu menggenggam erat tangan ibunya, menghilangkan perasaan was-was yang sejak tadi merajai hatinya.

***

Danang kecil terbangun dari tidur lelapnya saat mendengar suara cicit burung yang biasa bertengger diantara rumpunan bambu yang ada di sekitar rumahnya.

Bocah itu menggeliat dengan mata yang masih tertutup. Perlahan, Ia membuka mata dan tangan kanannya terangkat untuk menghindari sinar matahari yang masuk melalui jendela yang sudah terbuka tirainya.

Entah kapan dan siapa yang telah membukanya, yang Danang ingat tadi malam hanya Indah yang ada di rumah bersamanya.

Bocah itu menggeser tubuhnya ke pinggir ranjang dan menaruh guling sebagai penghalang agar Mulyani tak terjatuh jika Ia keluar.

Danang berlarian ke arah dapur dan menuju kamar mandi, sejak tadi kandung kemihnya penuh dan Ia ingin pipis.

Setelah selesai menuntaskan hajatnya, Ia langsung keluar dari kamar mandi dan melangkah ke arah meja makan. Perutnya kembali keroncongan.

Biasanya jam segini, Yayuk Jamillah sudah membuatkannya nasi goreng atau roti bakar.

Danang kembali merasa sedih jika ingat kejadian tadi malam, di mana Ia di usir dengan adiknya. Nampak jelas kemarahan di wajah Yayuk Jamilah, yang membuat Danang bingung, kesalahan apa yang telah Ia perbuat.

Dalam keadaan sedih itu, Danang mengangkat tudung saji dan matanya seketika membola.

Seporsi sate beserta air putih sudah tersedia di sana. Terang saja Danang tak mau melewatkannya. Ia langsung melahapnya tanpa sisa.

Baru saja selesai makan, suara Mulyani terdengar keras dari dalam kamar. Danang yang masih merasa sebah memanggil Indah yang sedari Ia bangun, tak terlihat batang hidungnya.

"Mbak... tolong lihatin Mulyani, dong. Danang kekenyangan, nih," pekik Danang, tapi tak ada sahutan. Suasana begitu hening dan sepi.

Susah payah Danang berdiri dan melangkah ke arah kamar, di mana Mulyani masih menangis. Sempat celingukan mencari Indah, tapi tak juga Ia temukan.

Danang kecil langsung meraih adiknya itu dan membawanya keluar rumah.

"Cup-cup-cup, Adek laper, yo? sabar bentar, ya, Dek. Kakak buatin susu dulu," sembari menimang-nimang, Danang berusaha menenangkan Adik bungsunya.

Mulyani yang manis dan penurut, mendengarkan suara kakaknya saja sudah membuatnya terdiam dan mengerjapkan mata.

Dengan gemasnya Danang mengecup pipi gembul Mulyani dan mengusap sisa air mata Mulyani yang masih membekas.

"Anak pinter, Adik baik, bayi cantik," Danang memuji adiknya yang langsung membuat bibir kecil itu tersenyum, seolah mengerti akan arti kata-kata yang dilontarkan kakaknya.

Dua bocah itu saling melempar senyum. Hal sesederhana itu mampu membuat rasa hangat dan bahagia di hatinya. Meski angin dingin dipagi hari itu sempat membuat seluruh bulu tangan berdiri , mereka tetap tertawa riang, menepis segala beban hidup yang mereka alami.

Tanpa mereka sadari, di balik dinding beton dengan tinggi 140 sentimeter, yang berjarak hanya beberapa puluh meter dari rumahnya, mengintip sepasang mata dengan tatapan tajam dan mengintai.

Sebuah ide kejam bermain di pikiran si pemilik mata. Rasa sayang yang sempat ada di hatinya, lenyap sudah. Berganti dengan rasa benci yang teramat sangat.

"Kalian akan merasakan sakit hati yang sekarang Aku rasakan! tunggu saja! hidup kalian tak akan tenang!"

***
Indah melangkah tergesa seraya membawa bungkusan gado-gado yang  Ia beli di kantin Rumah Sakit.

Ia ingin segera sampai ke rumah. Menemui kedua adiknya. Perasaan tak enaknya itu membuat Ia uring-uringan, seperti terjadi sesuatu pada kedua saudaranya.

Tangannya melambai ke arah oplet yang lewat dan tak lama salah satu oplet berhenti tepat di hadapannya.

Gadis itu masuk dengan tergesa hingga tanpa sengaja menginjak kaki seorang penumpang.

"Ma--maaf, Saya tidak sengaja," dengan tertunduk Indah meminta maaf. Orang itu hanya memperhatikan Indah yang duduk di seberangnya.

"Mbak Indah, ya?"

Indah terhenyak dan mengangkat wajah saat namanya di sebut.

"Ya ampun, Ibu Silvi. Maaf ya, Bu. Indah ga sengaja, buru-buru tadi," Indah menebar senyum manisnya saat menyadari wanita yang kakinya Ia injak tadi ternyata adalah Ibu Silvi, pelanggan toko tempatnya bekerja.

"Eh, iya, Mbak. Ga papa. Mbak Indah ke mana aja? lama ga kelihatan di Toko. Cuma Ibu Sudiro dan Mas Jodi yang ada di Toko," Ibu itu bercerita panjang lebar, tapi Indah hanya menjawab singkat," Saya ... menunggu Ibu yang sedang sakit, Bu,"

Dan, perbincangan hangat itu mengalir begitu saja hingga Ibu Silvi turun dari Oplet, dan Indah juga turun tak berselang lama darinya.

Kembali seorang diri menyusuri jalan sepi yang diapit semak dan pepohonan tinggi serta rerumpunan bambu di kedua sisi.

Degh!

Jantungnya berdebar kencang saat tak sengaja berpapasan dengan Kang Rahmat yang menghentikan mobilnya begitu saja.

Pria dewasa itu turun dan mendekatinya dengan senyum yang terkembang penuh.

"Indah ... Kamu sudah pulang? baru saja Akang mau jemput," ucapnya dengan wajah berseri.

Indah hanya termenung. Sikap Kang Rahmat itu membuatnya tak nyaman.

"Eh, Iya, Kang. Mau ketemu Adik. Mau anter sarapan,"

"Oh, mereka tadi malam minta pulang, jadi Akang yang tidur di rumah Kamu," bohongnya.

Jelas saja itu sempat membuat hati Indah bertanya-tanya, tapi Ia segera memutus pembicaraan.

"Oh, kalau begitu, Indah duluan, ya, Kang. Mau kasih ini ke Danang,"  Indah mengangkat bungkusan gado-gado kesukaan adiknya dan hendak melangkah pergi, tapi ...

Slapps!

Indah membeliak saat tangannya di cengkeram Rahmat. Gadis itu menghentikan langkah dan menatap tangan Rahmat.

"Ada apa, Kang. Tolong lepasin tangan Indah, Kang. Ga enak dilihat orang. Nanti orang bisa salah paham," Indah berusaha melepas tangannya, tapi Rahmat semakin mempererat genggaman tangannya.

"Tidak akan ada yang curiga. Karena Aku akan menjadikanmu istri kedua,"

"Hah? apa?"

***

Yang punya apk Fizzo, mampir yaa, dah part 101

Dendam Arwah BapakTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang