part 8

12.8K 778 19
                                    

Bismillah

#part 8

#by: R.D.Lestari.

Matahari mulai terlihat malu-malu menampakkan sinarnya. Para petani nampak ragu untuk mengayunkan kakinya ke sawah. Rumor tentang penampakan pocong dengan wajah yang sangat mengerikan itu membuat orang enggan untuk beranjak dari rumahnya.

Mereka seolah takut meski sinar mentari menemani, bukan malam yang minim cahaya.

Hanya karena terdesak himpitan ekonomi, beberapa warga terpaksa keluar rumah. Mereka berjalan berkelompok untuk menghindari sosok pocong yang meresahkan. Siapa tau ia tiba-tiba muncul, 'kan?

Begitupun Hamdan yang menjadi pembawa berita pocong, ia pun akhirnya mau tak mau ikut pergi ke sawah karena begitu khawatir dengan Tejo yang semalam tiba-tiba menghilang, juga Dono dan Pak Dirga yang tertinggal saat mereka kabur dari sosok pocong berwajah gosong.

Hamdan memberanikan diri berjalan di depan. Hanya dia dari empat orang tadi malam yang berani untuk mencari teman-temannya yang hilang.

Sedangkan Tio, Wahyu dan Cipto yang ikut kabur dari sosok mengerikan itu tak mau ikut. Mereka masih trauma dengan kejadian semalam.

Sebelum memasuki areal persawahan, Hamdan dan beberapa orang di belakangnya itu melewati jalan aspal yang lumayan besar. Bisa untuk di lewati dua mobil sekaligus.

Hamdan menghentikan langkah kakinya. Darah Hamdan berdesir saat melihat kerumunan orang dan motor yang berhenti di tengah jalan. Riuh rendah suara membuat batinnya bertanya-tanya. Apakah ada kecelakaan?

Perasaan Hamdan tiba-tiba tak enak. Berbeda dengan orang-orang di belakangnya. Mereka tampak antusias.

Hamdan yang awalnya berada di depan kini jauh tertinggal.

"Astaghfirullah, siapa ini? mengerikan sekali!" celetuk salah satu orang yang berkerumun.

Perasaan Hamdan semakin tak karuan. Apalagi saat matanya tak sengaja menangkap darah yang sebagian sudah mulai mengering di aspal dan putih-putih seperti otak yang buyar.

Dengan kaki gemetar, Hamdan memberanikan diri mendekat ke arah kerumunan orang. Ia menyibak satu persatu barisan orang yang memenuhi tempat guna mencari tau apa yang terjadi sebenarnya.

Tubuhnya seketika kaku, kala ia melihat dengan jelas kepala hancur dan gepeng yang di penuhi darah serta perut yang sudah pecah dengan usus terburai kini teronggok di hadapannya.

Sontak ia menutup wajahnya dengan kedua tangan. Tubuhnya terhuyung ke belakang. Beruntung salah satu temannya dengan sigap menangkap tubuhnya.

Tangis Hamdan pecah seketika. Ia sangat ingat pakaian yang dipakai Tejo, temannya. Kaos kuning dengan garis merah dan biru di tengahnya, beserta celana jeans dan sendal kulit berwarna hitam yang amat sering ia pakai.

Hamdan amat hapal dengan apa yang melekat di tubuh temannya itu, karena hampir setiap malam mereka bertemu dan menghabiskan waktu bersama untuk saling bertukar pikiran.

"Te--Tejo ...," lirihnya. Beberapa orang yang mendengar segera mendekat dan memastikan jika yang di ucapkan Hamdan benar adanya.

"Tejo!? kamu yakin itu Tejo?" tanya seorang Bapak berkumis lebat memastikan pendengarannya.

Hamdan mengangguk lemah. Perlahan ia menurunkan tangannya dan membuang wajahnya ke tempat berbeda. Ia tak sanggup menatap tubuh Tejo yang mengenaskan.

Sedang beberapa orang yang ada di tempat berinsiatif untuk mengambil daun pisang yang ada di pinggir jalan dan menutupi tubuh tak bernyawa itu dengan daun yang sudah mereka tebas.

Hamdan di bawa ke arah pinggir jalan karena ia tampak begitu lemas, mereka menunggu Polisi datang untuk mengusut kejadian sebelum membawa mayat dari jalan.

Sedangkan beberapa orang yang tadi mengikuti Hamdan, terpaksa pergi tanpanya ke sawah, karena tubuh Hamdan yang tiba-tiba lemah dan tak bertenaga. Ia tampak sangat shock atas kejadian yang menimpa sahabatnya.

***

Delapan orang berjenis kelamin pria itu berjalan melewati pematang sawah. Mereka memanggil-manggil nama Dirga dan Dono yang sejak tadi malam hilang.

Mereka kemudian berpencar menjadi empat kelompok, karena tak ada satupun yang mau mencari seorang diri. Mereka di cekam ketakutan akibat isu pocong yang meresahkan. Hingga hari terangpun seolah tak berpengaruh pada jiwa-jiwa penakut.

Sepuluh menit berpisah, salah satu kelompok terdengar menyebut nama Pak Dirga dan Dono. Ketiga kelompok itu mendekat ke asal suara.

Tubuh masing-masing orang mendadak kaku. Mata mereka membesar dan serasa mau keluar dari tempatnya saat melihat tubuh orang yang mereka cari suka membeku dan kaku tak bernyawa dengan kondisi yang mengenaskan.

Mata kedua orang itu melotot dan kulit mereka pucat, mengkerut seperti kehabisan darah.

Sebagian tubuh mereka di hinggapi makhluk hitam pekat mengkilat berukuran besar dan gendut-gendut.

Beberapa makhluk menjijikkan itu keluar dari hidung dan telinga, juga mulut. Menggeliat dan jatuh satu persatu di tanah, merangkak pelan dengan tubuh gendut kekenyangan.

Mereka bergidik menatap ngeri dua sosok yang sudah kaku tanpa pergerakan.

Memutar tubuh dan lari tunggang langgang karena ketakutan yang teramat sangat. Shock!

Suara teriakan menggema seantero kampung tempat pembantaian seorang lelaki paruh baya yang mereka sebut dengan 'begal'.

Rumah Pak RT yang memang sudah ramai karena proses pengusutan tersangka pembantaian seketika menjadi hiruk pikuk. Pengaduan ada korban kecelakaan dan matinya dua orang warga tanpa penyebab yang jelas di area persawahan, tempat yang sama di mana korban pengeroyokan di bantai dan di bakar oleh warga.

Warga bertambah resah. Sebagian ada yang ketakutan karena menjadi tersangka, dan sebagian takut menjadi korban balas dendam serta teror pocong yang meresahkan.

Pak RT pun kalang kabut. Bukan hanya ikut mengusut kasus, ia pun harus turun tangan membantu memakamkan jenasah Tejo yang sudah pulang ke rumah duka beserta dua orang warganya yang meninggal mengenaskan di sawah.

Tiga warga yang meninggal dalam waktu yang bersamaan dan dengan kondisi mengenaskan.

Proses pemandian jenasah pun di lakukan di rumah Pak RT, itu semua pun disetujui warga dan juga keluarga korban, dengan maksud untuk memudahkan pemakaman.

Banyak warga yang muntah-muntah dan memilih melipir dari mayat, karena tak tahan melihat kondisi yang hancur dan juga binatang menggelikan yang masih keluar dari lubang hidung dan juga telinga.

Atas inisiatif salah satu orang, sebelum di mandikan, mayat dua orang yang di penuhi lintah di siram air yang sudah di campur garam dan tembakau.

Benar saja, tak lama binatang penghisap darah itu berjatuhan dan menggelepar. Proses pemandian pun bisa dilakukan dengan lancar.

Acara pemakaman yang diiringi dengan isak tangis dan raungan dari keluarga menambah haru suasana.

Namun, tidak bagi lima belas orang yang ikut dalam pembantaian. Tak bisa di pungkiri, melihat tiga orang meninggal dalam semalam dengan kondisi yang mengerikan membuat nyali mereka ciut seketika. Rasa sesal kini menyelusup ke dalam jiwa. Jika saja waktu bisa di ulang, mungkin mereka...

Dendam Arwah BapakTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang