Bismillah
#Part 13
#by: R.D.Lestari.
"Saya minta maaf, Bu. Saya hanya menendang paha Pak Mulyono sebanyak tiga kali," timpal Handoyo. Ia berusaha meredam gemuruh dalam dadanya.
Kalau tak merasa takut karena teror pocong itu, tentu sampai saat ini rahasia itu akan ia simpan rapat.
Seketika pandangan Kartini melesat ke arah Handoyo dan menatapnya tak kalah tajam.
Tangannya terangkat dan ia mengacungkan jari telunjuk ke arah Handoyo yang berdiri terpaku.
"Apa kau bilang? hanya?"
"Ibu jangan terlalu berlebihan, tendangan tak akan menyebabkan suami Ibu kehilangan nyawanya," Nani yang mendengar ucapan Kartini seketika tersulut emosi. Rasa takutnya menguap entah kemana.
Tatapan tajam Kartini seketika melesat ke arah Nani yang berdiri dengan gigi yang bergemeretuk.
"Kau kira tendangan itu ' hanya'? apa ini cara orang kaya meminta maaf ? dengan mengedepankan kata 'hanya' dan memandang gampang semua perbuatan?"
"Bu... sabar Bu...," Indah saat itu terpaku menatap wajah garang ibunya langsung tersadar dengan tangisan Mulyani yang lantang.
Gadis muda itu berusaha menenangkan ibunya dan meraih tubuh mungil adik bungsunya.
"Kau bawa adikmu mencari udara segar. Udara di dalam berasa seperti racun!" Ibu menyerahkan Mulyani. Indah menurut dan membawa adiknya keluar rumah.
"Maaf, Bu ... istri saya tidak bermaksud seperti itu," timpal Handoyo.
"Ini kesalahan ucapan saya, sungguh," Handoyo berusaha meredam emosi Kartini.
"Tapi ...Pak ...,"
"Wes, Ibu diem aja. Ini urusan Bapak," Handoyo menyela istrinya. Nani menghembuskan napas kasar. Kesal.
"Bagi saya, perbuatan Bapak, yang Bapak sama istri Bapak bilang itu 'hanya' tiga kali tendangan, amat fatal!"
"Apa hak Bapak menganiaya manusia lain yang belum tentu bersalah? merasa seperti pahlawankah?"
Tenggorokan Handoyo rasa kering. Ia menelan lidahnya susah payah, bagai tercekat.
"Ta--tapi, Bu... suami Ibu memang begal, dan barang bukti ada saat itu," Handoyo berusaha membela dirinya, meski ia tak menampik perbuatan nya juga salah.
"Meskipun ia bersalah, apa gunanya ada polisi dan aparat keamanan? kenapa kalian dengan mudah menendang, menghantam, dan membuat nyawanya melayang? yang lebih kejam, kalian ... orang-orang kampung sebelah dengan sadar membakar tubuh manusia yang masih bernyawa!"
"Apa kalian tau, di rumah ada anak-anak dan istrinya yang sedang mengandung?"
"Bagaimana jika kalian yang dibakar dan meregang nyawa, sedangkan di saat hampir mat* pun masih memikirkan nasib orang-orang di rumah?"
"Dan untuk Ibu yang membela suami tercinta, dengan menyebut tendangan tiga kali itu ' hanya ', pernahkah Ibu berpikir bagaimana rasanya jadi saya?"
"Saya tidak beruntung seperti Ibu. Punya uang. Saya harus menunggu suami saya di rumah, yang katanya mencari rezeki untuk biaya lahiran,"
"Tapi ... boro-boro suami pulang bawa uang, yang ada tubuhnya pulang tanpa nyawa!"
Nani yang mendengar ucapan Kartini terdiam. Ia yang awalnya emosi dan hendak melawan berubah iba.
"Jadi, saya harap jangan anggap sepele perbuatan buruk menyakiti orang lain. Siapa yang tau jika saat itu ia sudah sekarat dan tendangan itulah yang akhirnya membuat ia menemui Penciptanya?"
Senyap. Ruangan itu berubah senyap. Handoyo dan Nani larut dalam pikirannya masing-masing.
Andri yang ikut, berusaha menjadi penengah di antara kedua kakaknya.
"Kami benar-benar minta maaf, Bu. Sungguh kakak saya, Handoyo sangat menyesal,"
Kartini mendengus, ia lalu duduk. Berusaha menenangkan hatinya yang bergemuruh.
"Saya mohon, Bu ... maafkan sikap saya tadi. Saya tersulut emosi," pelan, Nani mengakui kesalahannya.
Handoyo pun ikut meminta maaf. Batin Kartini bergolak. Rasanya ia tak ingin memaafkan siapa pun yang sudah menyiksa suaminya. Terlalu sakit, apalagi mengingat bagaimana suaminya itu kesakitan saat meregang nyawa.
"Sudah ... Bu ... maafkan saja, mereka sudah jauh-jauh datang ke rumah. Allah saja Maha Pemaaf, kenapa kita yang hanya umatnya bersikap sombong dan sulit memberi maaf ?" Indah tiba-tiba muncul berupaya membuka hati ibunya.
Tatapan Kartini melesat ke arah Indah. Matanya menyiratkan dendam dan sakit hati yang teramat dalam.
"Bu ...,"
Kartini menggeleng cepat. Benar kata anak perempuannya. Bagaimanapun semua sudah terjadi. Untuk apa menyimpan dendam kalau ternyata Mulyono tak akan pernah kembali?
Kartini menghela napas dalam. "Baiklah, saya memaafkan kesalahan Pak Handoyo,"
"Alhamdulillah, terima kasih banyak, Bu. Saya janji akan membantu kebutuhan ibu sehari-hari setiap bulan, meski tak banyak, saya harap bisa sedikit membantu," Pak Handoyo menyerahkan amplop putih pada Kartini.
"Saya tidak butuh rasa kasihan, silahkan kalian keluar dari rumah saya,"
"Tapi, Bu ... ini benar-benar karena kami ingin menebus kesalahan kami," Handoyo memohon.
"Benar, Bu. Kakak saya benar-benar menyesal sudah melakukan hal buruk pada almarhum Pak Yono," Andri menyela.
"Terimalah, Bu. Ini pasti berguna untuk anak-anak Ibu,"
Indah mengangguk saat Kartini menatapnya, sebagai tanda kalau ia ingin ibu menerima apa yang orang-orang itu berikan.
Dengan berat hati, Kartini menerima uang pemberian Handoyo dan istrinya. Sekali lagi mereka meminta maaf sebelum mereka meninggalkan gubuk milik Kartini.
Indah mengantar hingga ambang pintu. Ia lega, akhirnya ada yang sadar dan mengakui kekalahannya. Meski baru satu orang, ia harap Bapaknya sudah tebang di alam sana.
***
Angin berhembus kencang di sertai hujan rintik, menyebabkan kampung tempat kejadian tragis itu semakin terasa sepi mencekam.
Nani sudah bersiap tidur, ia lega karena tadi siang sudah meminta maaf pada Kartini. Ia yakin setelah ini tak akan ada lagi teror yang ia dan suami alami.
Sedang Handoyo, setelah buang air kecil, berlarian kecil ke dalam kamar menemui istrinya yang bersiap tidur.
"Bu ...Bu, tunggu Bapak," ucapnya riang.
"Yo wes, Pak ... sini...," Nani menepuk-nepuk pelan kasurnya.
Handoyo langsung naik ke kasur dan memeluk tubuh istrinya.
"Mudah-mudahan ga ada teror lagi, ya, Bu. Bapak kapok," ujarnya seraya bergidik ngeri.
"Iya, Pak, semoga. Lagian kita kan udah berusaha semampunya, Pak,"
"Iya, Bu,"
Brakkk!
Tiba-tiba jendela di kamar Handoyo terbuka lebar. Jendela itu bergerak menimbulkan bunyi berisik, dan terhempas karena kuatnya angin.
"Pa--Pak ... apa itu ...," Nani terbata menahan takut, takut jika yang datang adalah pocong.
Tetesan air hujan masuk ke dalam kamar karena ikut angin. Handoyo menepis rasa takutnya. Ia tak perlu lagi rasa takut. Bukankah ia sudah minta maaf?
"Bapak tutup jendela dulu, Bu. Ibu tidur duluan saja," ucapnya setenang mungkin.
"Tapi ... Pak ... kalau itu ...," Nani berusaha mencegah suaminya. Ia menarik lengan legam itu.
Handoyo menggeleng pelan. " Ga apa, Bu. Itu cuma angin kencang aja,"
Nani menurut. Ia duduk seraya memperhatikan gerak-gerik suaminya.
Baru saja Handoyo mendekat ke jendela, tiba-tiba matanya membulat sempurna. Bola matanya serasa akan terlontar keluar saat ....