#part 56
#R.D.Lestari.
Indah menatap ibunya yang asik menimang Mulyani, adiknya. Sementara Danang sejak tadi pergi bermain bersama temannya ke lapangan.
"Kenapa, In? jangan ngelamun. Habisi bubur kacangmu," suruh ibunya dengan mengurai senyum.
Sekilas, Indah merasakan sosok ibunya yang dulu. Perhatian dan pengertian. Bersuara lembut dan tutur kata yang halus.
Indah tak menjawab sedikitpun, Ia dengan lahap mengunyah makanan yang masuk ke dalam mulut.
Bukan cuma karena lapar, tapi karena perasaan haru. Ia begitukan merindukan ibunya yang dulu. Yang beberapa hari ini tak Ia jumpai.
"Indah? makan pelan-pelan, Nak," ibunya berdiri dan dengan sangat lembut menyapu kotoran di sudut bibir Indah.
Indah menatap haru ibunya. Tanpa terasa air mata itu jatuh di ujung matanya.
Ibu melihat air mata itu jatuh. Ia lalu bertanya," ada apa, Nak? kenapa Kamu menangis?"
Indah menggeleng pelan. Kartini menghela napas dalam.
"Besok Kamu ga usah kerja. Biar Ibu aja yang cari uang," Kartini mengelus kepala Indah yang masih tertutup hijab.
Indah yang sempat tertunduk seketika mengalihkan pandangannya pada Ibu.
"Berhenti kerja? bagaimana dengan nasib Ibu dan adik-adik?" Indah tampak tak setuju dengan usul Ibu.
"Ibu bisa menghidupi kalian semua. Kamu jangan khawatir tentang itu," kali ini Indah mulai melihat perubahan di sikap Ibu. Matanya tampak berbeda, hingga Indah tak berani membantah.
Indah tak menjawab. Kembali melanjutkan makannya yang belum selesai.
Sementara Ibu keluar membawa Mulyani di gendongannya. Indah ditinggal sendirian di dalam kamar.
Gadis itu merenung sendirian. Bosan. Ia kemudian melangkah keluar, tertatih.
Tangannya merayap didinding karena kepalanya masih pusing. Pandangan nya pun sedikit buram.
Samar-samar, Ia mendengar seseorang berbicara. Seperti sebelumnya, aroma bangkai begitu menguar, membuat perut Indah seperti diaduk-aduk dan ingin muntah.
Huekkk!
Brukk
Tubuh berbobot 52 kilogram dengan tinggi 155 centimeter itu ambruk dan terduduk menyender di dinding.
Bertepatan dengan dentuman suara Indah yang terjatuh, Kartini keluar dari kamar dengan wajah yang sulit diartikan.
Ada rasa kesal, marah, juga kasihan. Kartini lalu berjongkok dan meraih tubuh Indah. Susah payah Ia membawa Indah masuk ke dalam kamar.
Merebahkan tubuh itu kembali di atas kasurnya.
"Kamu itu masih lemah, In. Jangan kemana-mana dulu," tutur Ibu. Indah hanya diam. Matanya masih berkunang-kunang.
Ibu melangkah keluar dari kamar Indah, sedang Indah memilih memejamkan mata, untuk mengurangi rasa pusing yang kian menghantam kepalanya.
Di antara sadar dan tidak sadar, Indah kembali mendengar suara seperti orang berbincang. Meski tak jelas apa yang sedang dibicarakan, tapi suara itu sama persis seperti suara Ibu dan suara seorang lelaki, yang Indah pernah dengar, terasa familiar.
Indah ingin membuka matanya, tapi rasanya amat berat. Semakin ingin Ia membuka mata, semakin berat dan menempel keras.
Indah hanya mampu terdiam. Merasakan hawa disekitar pengap dan anyep. Membuatnya sulit untuk bernapas.