Bismillah
Pocong Itu Bapakku
#part 12
#by: R.D.Lestari.
Kartini memandang lembut wajah bayi perempuannya yang ia beri nama 'Mulyani', bermaksud untuk menyematkan nama suaminya, Mulyono di diri putri kecilnya.
Bayi mungil itu menggeliat. Pipinya mulai menggembung seiring berjalannya waktu.
Ia mendaratkan kecupan berkali-kali di pipi gembul itu dengan gemasnya. Merasa beruntung di samping rasa sakit yang ia alami, Tuhan masih mengirimkan kebahagiaan yang tak terhingga untuknya, yaitu anak-anaknya.
Namun, menjadi janda yang punya wajah manis dan menarik, membuat beberapa warga kampung kepincut padanya.
Baru beberapa minggu melahirkan, tubuh Kartini sudah kembali ke ukuran semula. Kulitnya pun sekarang kuning langsat, bahkan terkesan pucat karena jarang keluar rumah.
Paras ayu Kartini tak pelak membuat laki-laki ingin menyuntingnya menjadi istri kedua.
Tak jarang, saat Kartini berbelanja, banyak mata yang tertuju padanya. Bisik-bisik kaum wanita dengan sorot mata sinis dan tajam.
Ia merasa di kucilkan. Entah apa kesalahan yang telah ia lakukan, hingga membuat sebagian warga menatapnya hina.
Batin Kartini terluka. Siapa yang mau menjadi janda? jika bisa memilih, ia lebih memilih hidup susah meski jarang makan daripada harus menjadi janda. Pun jika ia di hadapkan pada pilihan sulit sekalipun, antara di madu atau harus kehilangan selamanya, ia memilih untuk di madu. Tak apa berbagi cinta asal suaminya masih tetap di sampingnya.
Kartini mencengkeram dadanya yang terasa sesak. Bulir bening jatuh meluruh di dua sudut matanya.
"Bu ...,"
Panggilan suara Indah mengejutkannya. Refleks ia menyapu air matanya yang sempat berderai dengan ujung daster lusuhnya.
"Iya, Nak?" Kartini berbalik dan berusaha menyunggingkan senyum yang terkesan penuh kepalsuan.
"Bu ... Ibu nangis?" Indah mendekat dan duduk di bibir ranjang, berhadapan dengan Kartini, ibunya. Tangan lembutnya menyentuh pipi wanita yang amat ia sayang.
Sepersekian detik Kartini bergeming, tapi sejurus kemudian ia mengucap lirih," Ibu cuma kangen Bapak, In,"
Kali ini malah Indah yang terdiam. Wajahnya berubah pias. Namun, Indah tak ingin membuat ibunya semakin larut dalam kesedihan terus menerus.
Indah lalu teringat benda yang ia bawa, tangan kecilnya merogoh kantung bajunya dan menyerahkan beberapa lembar uang merah kepada Kartini.
Kelopak mata Kartini melebar melihat lembaran uang yang jumlahnya cukup banyak.
"Uang ? dari mana? apa kamu?"
"Iya, Bu. Lagi-lagi Indah ketemu uang di depan pintu. Herannya, tiap ada uang ini, malamnya Indah pasti mimpi wajah Bapak yang menangis. Apa uang ini dari Bapak, ya, Bu?" tanpa sadar, tangan Indah mengusap sudut matanya yang tiba-tiba basah.
Kartini menghela napas, ia meraih bahu Indah dan memeluknya erat. Tangis pecah di antara mereka.
Semenjak kepergian Mulyono yang memilukan, kejadian ganjil sering mereka alami.
Sering adanya makanan yang tiba-tiba datang di depan pintu setelah ketukan, uang yang berlembar-lembar, dan teriakan orang yang lewat di depan rumah.
Mereka selalu mengucap 'pocong', tapi anehnya baik Indah, Kartini ibunya, maupun Danang, tak ada salah satupun dari mereka yang pernah melihat sosok pocong itu.
Kadang terselip rasa penasaran. Apa benar sosok pocong itu adalah arwah bapaknya yang gentayangan?
Apalagi tersiar kabar dari kampung sebelah, jika sudah banyak korban yang meninggal karena balas dendam begal yang menjadi pocong. Semua kabar burung itu akhirnya sampai di telinga Indah.
Meski ia tak punya HP dan sosial media, juga jarang keluar rumah, kabar itu tetap sampai di telinganya. Mbak Jamila, tetangganya selalu memberi informasi padanya.
Namun, Indah memilih diam, tak pernah menceritakannya pada Ibu. Ia takut Ibu kepikiran, dan membuat ibunya stress karena berita yang belum tentu benar adanya.
"Jika memang bapakmu, apa mungkin Bapak tak tenang di alamnya, Nak? kasihan Bapak, meninggal dengan tragis, Ibu ga bisa membayangkan rasa sakit yang harus Bapak terima karena keroyokan warga, dan sudah meninggalpun ia masih memikirkan kita,"
Hati Indah mencelos, mendengar isakan ibunya. Sama seperti Ibu, Indah pun merasakan hal yang sama.
Tok-tok-tok!
Suara ketukan di pintu depan membuat Ibu mengurai pelukannya. Ibu dan Indah saling berpandangan.
"Indah lihat siapa yang datang, Bu," Indah beranjak dari duduknya dan melangkah menuju pintu depan. Ia sempat mengintip di jendela, sebelum akhirnya membuka pintu rumahnya.
Wajah Indah menyembul di balik pintu dan menatap heran beberapa orang yang kini berada di hadapannya.
"Benar ini rumah Pak Mulyono? korban amukan massa tempo hari di kampung sebelah?" tanya wanita berparas ayu pada Indah.
Indah mengangguk pelan. "Ya, Bu. Ada yang bisa saya bantu?"
"Saya ada perlu, Dek. Bolehkah kami masuk?" pintanya.
"Silahkan, Bu," Indah menggeser tubuhnya dan membuka pintu lebar-lebar.
Tiga orang itu masuk, satu orang perempuan dan dua orang laki-laki. Mereka duduk di kursi kayu yang sebagian sudah bolong-bolong termakan rayap dan sedikit goyang.
Ibu pun keluar dari kamar seraya membawa bayi di gendongannya.
"Siapa, In?" tanyanya saat melihat orang asing yang tak ia kenal. Indah menggeleng pelan.
"Maaf, Bu. Kami datang dari kampung sebelah hendak memohon maaf," sela Si Wanita bergamis merah bunga-bunga dengan hijab senada.
Ibu menoleh ke arah Si Wanita. Minta maaf? ia merasa tak pernah berada dalam masalah dengannya. Untuk apa meminta maaf?
"Maaf sebelumnya, saya benar-benar tidak kenal kalian, apa sebabnya kalian meminta maaf? sedang kita tak pernah berjumpa sebelumnya,"
Ketiga orang itu saling melempar pandangan. Seolah memberi kode satu sama lainnya.
"Baiklah, Ibu. Perkenalkan, saya Nani. Saya mewakili suami saya, Handoyo, ingin meminta maaf kepada Ibu atas perbuatan tidak menyenangkan kepada suami Ibu, Almarhum Pak Mulyono," ujarnya dengan sangat hati-hati.
Kartini dan Indah terpukul. Merasa seperti di hantam benda tumpul di wajahnya.
"Ma--maksud Sampean itu ... suamimu ikut andil dalam pengeroyokan hingga membuat suamiku meregang nyawa dan akhirnya aku harus menjadi janda?"
Suara Kartini bergetar. Kilat amarah terpancar jelas di matanya. Rahangnya mengeras dan giginya bergemeretuk menahan emosi yang tiba-tiba membuncah.
Nani tak berani meneruskan ucapannya. Nyalinya ciut seketika, berganti dengan tubuh yang gemetar hebat menatap mata Kartini yang tajam dan penuh dendam.
Melihat istrinya terpojok, Handoyo langsung berdiri, berikut Andri, iparnya yang ikut mengantarkannya hari ini.
"Saya minta maaf, Bu. Saya hanya menendang paha Pak Mulyono sebanyak tiga kali," timpal Handoyo. Ia berusaha meredam gemuruh dalam dadanya.
Kalau tak merasa takut karena teror pocong itu, tentu sampai saat ini rahasia itu akan ia simpan rapat.
Seketika pandangan Kartini melesat ke arah Handoyo dan menatapnya tak kalah tajam.
Tangannya terangkat dan ia mengacungkan jari telunjuk ke arah Handoyo yang berdiri terpaku.
"Apa kau bilang? hanya?"
***