part 36

5.5K 394 8
                                    

Bismillah

          
               Pocong Itu Bapakku

#part 36

#R.D.Lestari.

Kartini melangkah mantap di keremangan malam. Sepi dan sunyi tak jadi soal baginya.

Ia menatap lurus jalan yang sepi. Di balik tubuhnya, Ia merasakan hawa dingin yang teramat sangat menjalari kuduk dan punggungnya.

Ia menghentikan langkah, dan berbalik. Mengulas senyum indah yang telah lama tak terpatri di wajahnya.

"Bapak !" lirihnya sembari berniat memeluk sosok berpakaian serba putih dengan wajah pucat itu.

Tapi, lelaki yang ia panggil malah mengangkat tangannya dan menggeleng pelan, seolah menolak pelukan yang amat dirindukan Kartini, wanita yang sangat mencintainya.

Hati Kartini mencelos, tubuhnya seketika kaku.

"Kita tak punya banyak waktu, anak-anak pasti menunggumu," lirih sosok putih itu sembari mengulas senyum.

Wajah Kartini yang sempat menegang  kembali tenang. Ia mengangguk mantap dan berbalik, melanjutkan langkah menuju tempat yang sudah Ia pikirkan sebelumnya.

Dengan membawa kantung kain yang Ia sangkutkan di bahu dan selipan ketiaknya itu, Ia melangkah mantap masuk ke sebuah tempat.

Krettt!

Ia membuka gerbang dan masuk kedalam. Meski ada perasaan takut yang mengganjal, tapi karena Ia bersama orang yang sangat Ia cinta, perasaan takut itu menguap entah ke mana.

Barisan nisan terhampar di depan mata. Sunyi. Hanya terdengar derap langkah kakinya. Rembulan di atas pun seperti malu-malu memancarkan sinar, tertutup awan hitam yang berarak.

Angin dingin mulai berhembus. Ia meneguk saliva susah payah saat berada di bawah pohon beringin tua yang berukuran tiga orang dewasa.

"Jangan takut ... bukankah Kau berniat untuk membantu membalaskan dendamku, Bu?"

Kartini terhenyak. Benar, kembali Ia mengingat niat. Berulang kali Ia meminta dan menangis setiap malam.

Sungguh Ia merasa sakit hati, lidahnya dengan sadar selalu berucap untuk ikut andil dalam balas dendam kepada warga kampung itu, tak terkecuali pada mereka yang tak bersalah.

Ia akan membuat kampung itu jadi kampung mat* dan semua penghuni pergi dari sana.

Kenapa? karena baginya, warga kampung seolah mudah melupakan kejadian itu, hingga kasus itu di tutup dan polisipun enggan untuk mengusut.

Kalau tidak bisa bisa bergantung dengan siapa pun, biarlah Ia sendiri yang akan membuat perhitungan itu.

Dan, malam itu saat di mana Kartini tidur bersama Mulyani, Ia bermimpi di temui almarhum suaminya, Mulyono.

Ia datang dan meminta pertolongan padanya, untuk membalaskan dendamnya.

Kartini terhenyak dan saat Ia bangun, Ia mendapati suaminya berdiri di sudut ruangannya.

Awalnya Kartini takut, tapi ketika samar Ia melihat senyum terulas di wajah pucat itu, seketika batin Kartini tergugah.

Ia mendekat dan menumpahkan segala keluh kesahnya, dan malam itu hingga sebelum azan subuh berkumandang, Kartini melepas rindu pada suaminya.

Diluar akal dan logika. Kartini menuruti permintaan mendiang suaminya.

Seperti malam ini, Ia keluar rumah untuk membuat warga-warga takut. Bukan cuma Dia, Mulyono pun akan turut hadir untuk menambah ketakutan warga. Pasangan suami istri yang kompak meskipun berbeda dunia.

Namun, Mulyono tak pernah datang dalam bentuk pocong seperti biasanya, Ia datang dalam bentuk kesehariannya. Itu yang membuat Kartini berani saat bersamanya. Walaupun Ia sadar, itu hanya arwah suaminya.

Kartini mengangguk. Ia duduk dibalik pohon dan membuka kantung kain perlahan. Diambilnya mukenah usang andalannya yang sudah menemaninya puluhab tahun lamanya.

Ia menunggu di situ hingga terdengar suara derap langkah bersahut-sahutan.

"Mereka datang ...," desis Kartini.

Terdengar bunyi suara orang bercakap-cakap. Sesekali terdengar gelak tawa.

'Sial*n! bisa-bisanya mereka tertawa saat ada nyawa terbunuh sia-sia karena amarah mereka!' batin Kartini.

Ia yang sudah geram beringsut mendekat, melangkah dengan pelan, agar tak menimbulkan suara.

Mengintai dari balik tembok makam yang cukup tinggi.

Langkah kaki bersahut-sahutan semakin mendekat. Terasa panas menjalari tubuhnya, terbakar emosi pada dendam yang selama ini memenuhi seluruh jiwa juga raganya.

Swiittt-swittt!

Goda Kartini, menyuiti keenam orang laki-laki yang awalnya mengobrol, terhenti seketika. Saling pandang.

Kartini tersenyum melihat ketakutan dan suara bisik-bisik.

Namun, mereka kemudian melanjutkan langkah. Seolah tak mendengar apa pun.

Kartini semakin kesal. Ia lalu beranjak dari balik tembok putih tinggi, menuju gerbang dan tegak di sana. Sengaja menampakkan diri untuk meneror orang-orang sekitar.

Benar saja, setelah suitan kedua, keenam orang itu sontak melihat ke arah pemakaman, begitu melihat Kartini dengan senyum culasnya dan mukenah yang Ia pakai, mereka langsung buyar dan lari terbirit-birit sambil berteriak," pocong!"

Kartini terkekeh. Ia merasa puas sudah membuat orang-orang itu ketakutan. Setidaknya, gosip pocong itu semakin berhembus kuat dan kampung itu akan menjadi kampung mat* seperti keinginannya. Balas dendam memang menyenangkan!

Kartini lalu membuka mukenahnya dan memasukkan kembali ke dalam kantung lain dan melangkah mantap kembali ke rumah.

Sementara di rumah, Indah terlihat sibuk menenangkan Mulyani yang sejak tadi terbangun.

Bibir bayi mungil itu mengecap berulang kali. Kehausan, dan rindu akan dekap hangat ibunya.

"Sabar ya, Dek. Mbak buatkan teh dulu," ujar Indah seraya menimang adiknya, sambil melangkah menuju dapur.

Meski kerepotan, tangan kiri menggendong hingga tubuhnya miring, Indah mampu menyeduh teh dengan menuang air panas dari termos ke cangkir plastik.

Ia lalu mengambil satu sendok makan gula dan mengaduknya di gelas yang berisi teh celup. Menambahkan air dari teko dan mencicipinya. Setelah ia rasa pas rasa dan suhunya, Ia lalu menuangkan ke botol dot dan memberikannya pada Mulyani.

Bayi itu dengan lahap mengisap air teh di botol susu yang Indah berikan.

Gadis itu menatap nanar adik kecilnya. Dadanya tiba-tiba terasa sesak.

Ia tau, apa yang Ia perbuat itu salah. Bayi seusia Mulyani tidak diperkenankan mengkonsumsi gula berlebih, apalagi teh, yang memiliki kandungan kafein sama seperti kopi.

Namun, Ia tak bisa berbuat banyak, selain sebuah janji di dasar hatinya. Janji untuk bisa memberikan makanan yang lebih layak untuk adiknya.

Tanpa Ia sadari, bulir bening itu jatuh begitu saja menimpa wajah bulat adiknya. Beruntung, ibunya mampu memberikan ASI yang penuh, dan konsumsi teh itu hanya sesekali diberikan.

"Doakan Mbak supaya bisa cari rezeki lebih, ya, Dek,"

"Mbak janji, Kamu ga akan menderita seperti yang Mbak rasakan," Indah menimang adiknya, hingga bayi itu tertidur dan melepas botol dari tangannya.

Indah menciumi kening dan pipi adiknya dengan sayang. Kecupan itu serentak dengan tetes air yang berjatuhan dari matanya. Sesekali bayi itu menggeliat tapi tak bangun.

Indah lalu meletakkan Mulyani di tempat tidur ibunya dan Ia pun berbaring di sana.

Baru saja Ia akan terpejam, suara derit pintu terdengar sayup-sayup di luar.

Ia hendak beranjak, tapi takut Mulyani terbangun. Ia hanya mendengar dengan seksama saat langkah kaki mendekat.

"Indah ...,"

****

Dendam Arwah BapakTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang