part 32

7.5K 547 35
                                    

Bismillah

           Pocong Itu Bapakku

#part 32

#R.D.Lestari.

Tubuh Aman terasa kaku. Ia benar-benar ketakutan. Pandangan matanya nanar menatap keluar jendela, di kejauhan terlihat sosok tinggi putih dengan tubuh dan kepala terikat berdiri tegak dengan wajah gosong.

Amat jelas. Sedang Toing, Umar dan Pak Ustad hanya celingak-celinguk mencari asal suara.

"Man ... Man ...!" Toing memukul pundak temannya pelan. Ia khawatir melihat tingkah Aman yang aneh dengan wajah yang sangat ketakutan.

Berulang kali Toing melihat keluar jendela kaca, tapi tak ada sesuatu apa pun selain deretan pepohonan besar.

Sedang Aman, nyalinya semakin ciut melihat sosok itu bertambah besar dengan kaki yang mengawang terbang mendekatinya perlahan.

"Ing ... Ing ... ada po--cong, Ing!" tangan Aman terangkat menunjuk ke arah luar.

Toing semakin bingung karena Ia tak melihat apa-apa. Pak Ustadz dan Umar yang sejak tadi melihat kearah luar, mengalihkan pandangan ke arah Toing dan Aman yang terdengar berisik.

"Ada apa, Pak Toing?" tanya Pak Ustad saat melangkah mendekat.

"Ini Pak, dari tadi Aman bilang diluar ada pocong. Dia nunjuk-nunjuk terus ke sana,"

Pak Ustad dan Umar melongok ke arah luar. Kosong. Tak ada apa-apa.

Aman menggeram. Matanya seolah akan terlontar keluar, Ia begitu ketakutan saat sosok itu kian mendekat. Kali ini wajahnya sangat jelas.

Hancur dan gosong. Matanya bolong dengan belatung mengerumun, mulutnya menganga dan lidahnya terjulur panjang, mengeluarkan darah kental berwarna merah kehitaman.

Sosok yang di balut kain kafan lusuh dengan tubuh dan kepala yang diikat itu berdiri amat dekat. Hanya jendela kaca sebagai penyekat diantara mereka. Sangat mengerikan.

Tubuh Aman bergetar. Peluh mengucur deras didahi dan tubuhnya.  Ingin berteriak, tapi suaranya bagai tercekat di kerongkongan.

"Man ... minta maaf, Man ...," suara itu terdengar begitu jelas ditelinga Aman.  Aman hanya bisa terdiam. Tubuhnya lemas tanpa daya.

"Man ... Ya Allah, Man ...," Toing semakin gusar. Begitupun juga Pak Ustad yang notabene bukan seorang indigo. Ia tak dapat melihat apa yang dilihat oleh Aman.

"Kita harus bagaimana, Pak Ustad?"

"Umar, tolong bawakan segelas air ke sini," perintah Pak Ustad yang langsung dilakukan Umar.

Dengan gesitnya Umar melangkah untuk mengambil air dan menyerahkannya pada Pak Ustad.

Pak Ustad menerima air itu dan membaca doa-doa, lalu ia tiupkan ke atas permukaan air sebanyak tujuh kali.

Ia meminumkannya ke Aman yang saat itu mulutnya ternganga.

Glek-glek-glek!

Sisa air Pak Ustad usapkan di wajah Aman, seketika mata Aman berkedip dan ...

"Alhamdulilah...," ucapnya sembari mengurai tangis.

"Toing ...," dengan haru Aman memeluk temannya itu. Toing membalas pelukan sahabatnya itu.

"Terima kasih Pak Ustad," Aman menatap ke arah Ustad saat ia mengurai pelukannya.

"Sama-sama, Pak Aman. Bapak tadi kenapa? karena Saya dan yang lain tidak dapat melihat apa yang Bapak lihat," ucap Pak Ustad.

"Po--pocong itu ... Pak ... nyuruh Saya minta maaf. Saya harus bagaimana, Pak Ustad?"

Pak Ustad menghela napas dalam. Ia lalu menatap dalam mata Aman yang dadanya masih bergemuruh kencang.

"Besok Bapak ziarah kubur. Saya akan membantu baca doa untuk almarhum Pak Mulyono yang mungkin saat ini bukan beliau yang datang, bisa jadi itu jin yang menyerupai, tapi tak ada salahnya kita berusaha, semoga Almarhum tenang dan mendapatkan tempat yang terbaik di sisi-Nya,"

Aman tertunduk. Ia benar-benar menyesal sudah berbuat demikian. Karena kelakuannya sendiri, Ia sekarang di kejar-kejar makhluk mengerikan hingga membuat seluruh tubuhnya sakit dan lemas.

"Kalau memang tidak bisa pulang, malam ini kita menginap saja di Musholla. Besok kita bersama-sama ke kuburan,"

"Sudah, Pak Aman jangan risau. Berserah diri kepada Allah. Atau mau saya antar Bapak kembali ke rumah?" tawar Pak Ustad yang langsung diangguki Aman dan juga Toing.

"Kami mau pulang saja, Pak. Tubuh kami kotor, mau bersih-bersih," ungkap Toing.

Pak Ustad dan Umar mengangguk. Dengan memapah Aman, Toing berjalan beriringan menuju rumah Aman terlebih dahulu.

Udara malam yang dingin disertai angin yang cukup kencang membuat suasana menjadi mencekam.

Namun, setelah kejadian tadi yang sempat membuat batin Aman terguncang, entah kenapa Ia menjadi lebih tenang.

Tekadnya sudah bulat. Ia berniat untuk meminta maaf secara langsung saat Ia berziarah nantinya. Tak ada keraguan.

Ia pun akan meminta maaf pada keluarga yang ditinggalkan. Berharap jika nanti teror pocong akan berakhir padanya.

Ia benar-benar kapok sudah menganggap sepele masalah itu. Ternyata yang di perbincangkan warga itu benar adanya dan bukan hoax semata.

***

Sudiro menatap anaknya dengan kesal. Jelas-jelas Ia menentang jika Jodi berhubungan dengan Indah, yang dikarenakan Indah anak dari orang tak berpunya.

Ia tak ingin usahanya untuk menyekolahkan Jodi hingga jadi Sarjana sia-sia.

Semenjak Ia pulang, dan bertemu dengan Indah, anaknya itu enggan untuk kembali melanjutkan pekerjaannya di Kota. Ia memilih tinggal dan menetap di Kampung.

Ia akan membuka usaha lain di sana. Sudiro menentang keras. Ia ingin anaknya membangun karir di Kota. Bagi orang kampung seperti dirinya, punya anak yang sukses di Kota adalah sebuah kebanggaan.

Istilahnya, Sudiro mementingkan gengsi daripada keinginan anaknya. Ia malah kesal melihat Jodi yang terlihat begitu bucin pada Indah.

Padahal, jika di lihat, Indah tampak biasa. Gadis itu sepertinya tau diri. Pandai menjaga diri.

Ia malah menghindar saat Jodi terang-terangan menunjukkan rasa suka dan perhatiannya.

Seperti sore itu, tanpa menghiraukan bapaknya, Jodi mendekati Indah yang saat itu sedang merapikan beberapa kaleng sarden di rak kayu.

Sudiro memperhatikan anaknya sembari menggerutu. Bisa-bisanya Jodi bersikap acuh. Padahal selama ini ia sudah mewanti-wanti.

"In ... nanti Kakak antar pulang, ya?" ucap Jodi saat berada di samping Indah. Indah yang tak menyadari kedatangan Jodi terjingkat kaget.

Ekor matanya sempat melirik ke arah Bos besarnya yang tampak merengut dan bersungut-sungut. Matanya menatap tajam bak mata pedang yang siap menghunus. Membuat Indah meneguk salivanya perlahan.

Indah amat paham apa yang membuat Sudiro berlaku seperti itu. Karena ketidaksukaan pada dirinya. Tentu saja.

Gadis itu menghela napas gusar. Ia menggeleng perlahan. Sembari menunduk Ia berucap," tidak usah, Kak. Saya pulang sendiri saja. Lagian, apa ga takut sama gosip warga, penampakan pocong yang sering muncul setelah petang,"

Jodi terkekeh geli mendengar ucapan Indah. "Aku sudah pernah melihat, dan itu bukan gosip belaka. Untuk kamu, Indah... jangankan pocong, kuntilanak, genderuwo, Kakak hadapi," ucap Jodi yakin.

Ya, demi Indah, Jodi memang akan berbuat apa pun. Indah sudah membuatnya bertekuk lutut, karena Jodi... tengah dimabuk cinta, Ia begitu memuja, gadis manis si bunga Desa.

***

Dendam Arwah BapakTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang