part 44

4.7K 342 14
                                    

Bismillah

               Pocong Itu Bapakku

#part 44

#R.D.Lestari.

Gemericik bunyi air hujan di tengah malam yang diselingi dengan bunyi jangkrik membuat Indah enggan untuk menjauh dari adiknya yang kini tertidur pulas.

Sengaja, Ia tidur di kamar Danang sembari menunggu ibunya pulang.
Mereka tidur bertiga di kasur kapuk lusuh dengan selimut usang peninggalan Mbah.

Mulyani kecil menggeliat, Indah yang saat itu kedinginan merasakan ada rembesan air dan basah disekitar perutnya.

Gadis manis itu menggerakkan tangannya dengan mata masih terpejam, menggerayangi pantat adiknya dan memeriksa.

Benar saja, seperti dugaannya, Adik bungsunya itu mengompol. Indah membuka matanya perlahan. Terdiam sejenak untuk menyesuaikan cahaya yang redup dan remang-remang. Menatap sekitar untuk mencari alas dan mengganti pakaian yang dipakai Mulyani.

Beruntung, adiknya itu termasuk bayi anteng yang jarang sekali menangis. Ia masih tetap tertidur meski pakaiannya sudah basah karena air seninya.

Indah dengan sigap bergeser ke bibir ranjang, menurunkan kedua kakinya dan melangkah ke arah meja belajar, di mana sudah ia siapkan baju, celana dan beberapa popok kain untuk Mulyani.

Ia bergerak cepat. Hawa dingin yang menusuk kulit Ia takutkan akan menyerang adik bayinya. Ia tak ingin bayi mungil itu kembung dan masuk angin.

Ia melapisi bekas ompol dengan popok dan mengganti pakaian adiknya.

Sesekali terulas senyum di bibirnya, melihat betapa anteng dan lucunya bayi gembul itu.

Bayi kecil itu nampak pasrah saat Indah memiringkan tubuhnya agar bisa lebih mudah memakaikan pakaian dan celana.

Setelah selesai memakaikan baju, Ia meletakkan guling di samping Mulyani. Indah bergerak menjauh dari kedua adiknya yang tertidur pulas.

Ia meraih baju yang ada diatas keranjang tempat pakaian hari- hari yang sudah terlipat.

Baru saja Ia hendak melangkah pergi, rungunya mendengar langkah kaki mendekat sayup-sayup di antara suara percikan tetesan air hujan.

Suara kaki yang menghentak dan bersahutan itu seperti langkah orang berlari ke arah rumahnya.

Siapa yang kira-kira datang di tengah guyuran hujan?

Penasaran, Indah memutar langkah ke arah jendela, hendak mengintip. Menepis rasa gatal dan dingin yang menghinggapi tubuhnya karena memakai baju basah yang terkena ompol adiknya.

Namun, belum sempat Ia bergerak, adiknya Mulyani menangis kencang. Sontak, Indah melesat ke arah kamar dan langsung mengangkat tubuh adiknya, menimangnya agar bayi itu kembali tertidur pulas.

Kriettt!

Terdengar bunyi derit pintu dari arah depan. Indah lega saat mengetahui seseorang yang berlarian diantara guyuran hujan itu ternyata ibunya.

Karena tak lama setelah terdengar bunyi pintu, wajah ibunya langsung menyembul di pintu.

"Indah, urus Adik bentar, ya? Ibu mau ganti baju," ujarnya yang langsung diangguki Indah.

Ibunya melesat begitu saja ke arah kamar. Indah lalu menjatuhkan pandangannya ke wajah bulat Mulyani.

Melihat adiknya sudah kembali tertidur pulas, Indah dengan sangat hati-hati meletakkan Mulyani di atas kasur Danang.

Ia ingin melanjutkan kembali niatnya yang sempat tertunda, yaitu ke kamar mandi, mengganti bajunya yang basah dan berbau pesing.

Indah melangkah sangat hati-hati, takut adiknya terbangun karena pergerakannya. Saat Ia melewati ruang tamu, matanya tak sengaja bertumpu pada kantong kain yang di bawa ibunya.

Rasa penasaran kian menyelusup batinnya. Ia ingin tau apa isi dari kantung kain yang tak pernah jauh dari ibunya itu dan selalu disembunyikan darinya. Apa sebenarnya yang dirahasiakan ibunya?

Indah lalu mendekati kantung kain berwarna merah itu. Degup jantungnya terdengar memacu. Jedag-jedug.

Saat tangannya akan menggapai benda itu, tiba-tiba...

Kriett!

"Indah!"

Jantung Indah rasanya mau copot saat itu juga. Ia langsung menarik tangannya dan memutar badan.

Ibunya berdiri di ambang pintu dengan dua tangan bertekuk di dada. Pandangannya matanya tajam menembus hingga jantung Indah, menciptakan desiran kengerian dari tatapan mata yang tak biasa.

"Mau ngapain, Kamu?" ketusnya. Hati Indah mencelos mendapati suara ibunya yang terdengar meninggi. Hal yang tak pernah dilakukannya, mengingat Ibu adalah wanita yang lembut dan penyayang.

"Indah ....,"

"Jangan sekali-sekali Kamu berani menyentuh kantung ini. Paham?" ujar Ibu saat melewati Indah. Tatapan mereka saling bertaut.

Indah meneguk saliva susah payah. Tatapan mata Ibu menghunus bak ujung pisau yang siap menancap di dadanya.

Gadis itu hanya mampu mengangguk pelan dan mundur kebelakang saat ibunya meraih kantung itu dan kemudian berlalu begitu saja menuju kamar Danang.

Indah memutar tubuh dan melangkah gontai menuju kamar mandi. Ia benar-benar sedih mendapat perlakuan dari ibunya barusan.

Ia semakin penasaran dengan isi dari kantung kain merah itu, hingga ibunya begitu menjaganya. Bahkan untuk disentuh pun tidak boleh.

Saat Indah mengganti pakaiannya kembali rungunya terusik dengan suara bisik-bisik dari arah kamar Ibu.

Terkadang terdengar kikik tawa pelan yang terdengar takut-takut. Indah mempercepat kegiatannya di kamar mandinya dan melangkah pelan menuju kamar Ibu.

Saat tiba di depan pintu kamar, suasana kembali hening. Di desak rasa curiga, Indah mendekat ke dinding kamar dan mendekatan matanya pada sebuah celah di dinding papan.

Celah yang cukup lebar itu bisa menangkap isi kamar ibunya. Dengan perasaan was-was, Indah mengintip ibunya dari luar.

Hanya terlihat punggung Ibu dan kembali terdengar Ia bercakap-cakap. Indah mempertajam indra pendengarannya.

"Awas, nanti Indah tau,"

Degh!

Terdengar suara laki-laki dari dalam. Ibu menyembunyikan pria?

Seketika tubuh Indah dijalari rasa panas yang merayap hingga ke ubun-ubunnya.

Marah, kesal dan sakit hati. Mengapa ibunya harus berbohong jika sudah mencintai lelaki lain?

Eneg, juga benci. Bapaknya baru saja meninggal beberapa minggu, ibunya sudah punya pria baru!

Apa sebegitu gatalnyakah Ibu yang selama ini terkenal sopan, pemalu dan pandai menjaga marwah?

Api emosi membakar hatinya, dan tanpa sadar Indah menggeser tubuhnya ke arah pintu, dan ...

Dok-dok-dok!

Ia mengetuk pintu kamar ibunya cukup keras hingga terdengar derai tangis dari Mulyani di dalam sana.

Krett!

Tak menunggu lama, pintu terbuka dan wajah Ibu yang kusut menyembul seraya menimang Mulyani yang masih menggeliat, tapi tak menangis.

"Ada apa, In ...,"

Indah mendorong tubuh ibunya, hingga wanita itu terhuyung. Beruntung, Ia masih mampu menyeimbangkan tubuh, hingga Ia tak terjatuh berikut bayi yang kini ada dalam dekapannya.

Indah tak memperdulikan ibunya yang saat ini bersiap untuk melontarkan ucapan kasar karena perbuatannya.

Mata Indah mengedar ke segala arah, menelisik setiap tempat seperti mencari sesuatu.

Kosong. Tak ada apa pun di kamar Ibu selain dirinya dan Ibu, juga Mulyani, adik bayinya yang kini sudah tertidur.

"Indah! Ibu butuh penjelasan! apa yang sebenarnya terjadi padamu?" sembari menimang bayinya, Ibu menyorot tajam ke arah Indah yang saat itu masih termenung.

"Di mana Ibu sembunyikan laki-laki itu?"

"Apa? laki-laki?"

****

Dendam Arwah BapakTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang