part 28

8.1K 541 11
                                    

Bismillah

                Pocong Itu Bapakku

#part 28

#by: R.D.Lestari.

"Aaaa! tolong!"

Teriak Sudiro. Derap langkah kakinya terdengar menghentak di keheningan malam. Memecah sunyi padang rumput dan merayap ke arah semak-semak.

Jatuh bangun dan terseok-seok menghindari kejaran makhluk berwajah mengerikan yang melayang ke arahnya.

Ke manapun ia pergi, makhluk itu mengejarnya tanpa jeda. Napasnya terengah-engah, dengan derunya yang memburu.

Peluh mengucur diantara anak rambut hingga membasahi wajah dan tubuhnya.

Bunyi lolongan anj*ng menambah suasana seram malam yang kelam. Tak ada cahaya karena rembulan tertutup kabut hitam.

Dunia begitu gelap, hanya tampak makhluk putih melayang dengan kepala diikat.

"Tolong!!!" lagi, Sudiro berusaha berteriak meminta pertolongan.

Matanya berbinar, saat melihat adanya perkampungan di tengah-tengah hutan. Ia berlarian dan sesekali melihat ke arah belakang. Makhluk itu tak lagi mengejarnya.

"Hhh, hhhh!" ditengah rasa haus tak tertahankan, Sudiro menghentikan langkah kakinya dan menarik napas dengan susah payah.

Ia menyeka peluh yang menggenang hingga memasuki mata, membuat pandangannya sedikit buram.

Setelah ia merasakan lebih plong dan napasnya kembali normal, ia melangkah memasuki perkampungan yang tampak sepi dan sunyi seperti tidak berpenghuni.

Rumah-rumah yang ia lewati termasuk aneh, beratap ijuk dan berdinding bambu dengan pondasi batu-batu kali.

Tanah yang di lewati berdebu dan terlihat amat kering, penuh kerikil hingga terasa menusuk kaki.

Sudiro melangkah setengah berjinjit karena tak memakai alas kaki. Matanya mengedar kesegala arah. Benar-benar sepi. Saking sepinya hanya terdengar desiran angin.

Perlahan, kabut hitam memudar dan langit kembali terang. Pendar cahaya bulan mulai menerpa setiap sudut kampung yang semakin tampak suram.

Jaring laba-laba memenuhi rumah-rumah, pertanda sudah lama ditinggal pemiliknya.

Perasaan Sudiro mendadak tak enak. Perlahan, ia memundurkan kakinya beberapa langkah, tapi mengingat rasa haus yang tak tertahankan, ia melangkah ke arah salah satu kendi yang ada di depan salah satu rumah, berharap ada air di sana.

Syurr!

Air begitu segar membasahi kerongkongannya yang kering. Awalnya, tapi lama-lama rasa air berubah dan berbau amis serta berlendir.

"Huekkk!"

Mata Sudiro mendelik, melihat air berwarna merah yang ia muntahkan.

"Da--darah ....," lirihnya.

Tubuhnya bergetar hebat. Merasa ada seperti yang mengaduk-aduk perutnya.

Saat yang bersamaan, terdengar bunyi suara tahlil bersahutan-sahutan dari arah hutan.

Perlahan, suara itu terdengar semakin besar dan menggema. Burung-burung hitam serentak berterbangan dengan bising  suara dan kepakkan sayap.

Merasakan sebuah keanehan, Sudiro berlarian mencari tempat berlindung.  Ia bersembunyi di belakang sebuah rumah dan mengintip dari kejauhan.

"Laaillahaillallah,"

Kalimat tahlil semakin terdengar lantang dan bersahut-sahutan. Tubuh Sudiro semakin gemetar saat melihat barisan orang yang  berjalan melewatinya sambil membawa keranda yang ditutupi kain berwarna hijau dan untaian bunga di atasnya.

Dendam Arwah BapakTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang