Bismillah
Pocong Itu Bapakku
#part 41
#R.D.Lestari.
Karno memutar tubuhnya mengitari ranjang Rumah Sakit, berniat melihat lebih jelas, berharap jika apa yang tadi Ia lihat itu salah.
Namun, kenyataan pahit begitu memukul dirinya. Jelas, yang terbaring itu dirinya. Bukan orang lain.
Karno menurunkan pandangannya dan menelisik tubuhnya, tembus pandang. Kakinya juga mengawang, tak menyentuh lantai keramik Rumah Sakit.
'Apa Aku sudah mat*?' desisnya sembari menatap ke arah tubuhnya yang tak bergerak.
"Dik, Adik! ini Abang, Dik!" Karno berusaha menggapai tubuh istrinya, tapi nihil. Tangannya bak angin.
Sintia tercekat. Ia mengangkat tubuhnya saat merasakan sesuatu yang menyentuh tubuhnya.
Dingin ... hawa yang tak biasa itu membuat tengkuknya meremang. Sintia perlahan menyentuhnya dan bergidik.
Pandangannya mengedar sekitar. Takut-takut menelisik setiap sudut yang terasa menyeramkan. Di kamar itu hanya Dia dan suaminya yang belum sadarkan diri.
Meski operasi sukses dan sudah selesai sekitar dua jam yang lalu, Karno tak kunjung memperlihatkan tanda-tanda akan segera sadar.
Itu yang membuat Sintia frustasi dan bersedih. Khawatir jika suaminya tak akan sadar selamanya alias mati*.
Sintia memilih melangkah ke arah pintu, berniat mencari kedua orang tuanya yang saat ini sedang menunggu di bangku luar.
Srekkk!
Jantungnya terasa berhenti saat itu juga saat tirai tersibak dengan sendirinya.
Tak ada angin karena ruangan tertutu rapat. Kipas angin pun mati.
Sintia mematung dengan degup jantung yang bergemuruh kencang. Wajahnya seketika pias.
Ia mundur beberapa langkah. Ingin Ia pergi saat itu juga, tapi tak mungkin. Siapa yang akan menunggu suaminya?
Ia tak menyadari jika itu perbuatan suaminya yang berusaha berkomunikasi dengannya.
Ya, Karno berusaha keras untuk menunjukkan jika Ia ada. Hanya horden yang bisa Ia gerakkan.
Namun, begitu melihat wajah istrinya itu ketakutan, Ia tak melakukannya lagi. Ia menyadari jika perbuatannya itu membuat mental istrinya semakin jatuh.
Karno hanya mampu menatap sedih istrinya dan tubuhnya yang tak bergerak. Hanya dadanya yang naik turun, pertanda masih adanya kehidupan di sana.
Karno melangkah mendekati tubuhnya. "Aku masih hidup?"
Merasa sudah aman, Sintia berlarian ke arah pintu dan membukanya, Ia mencari Ibu juga bapaknya.
"Buk, Pak!"
Kosong! Rumah Sakit itu terasa kosong. Sunyi dan sepi. Lorong rumah sakit yang panjang membuat rasa takut Sintia kian bertambah.
"Bagaimana ini? ke mana kedua orang tuaku?"
Angin dingin yang bertiup kencang tiba-tiba menerpa tubuhnya. Jilbab merah yang Ia pakai hampir saja terlepas jika saja Sintia tak menahannya.
Ia membekap tubuhnya yang menggigil dengan kedua tangannya. Hanya dalam beberapa detik saja, angin itu hilang, dan menyisakan kesunyian.
Sintia akhirnya memutuskan untuk mencari kedua orang tuanya dan melangkah menyusuri lorong sepi tanpa seorangpun selain dirinya.