Bismillah
Pocong Itu Bapakku#part 31
#R.D.Lestari.
Tubuh Toing menggeliat. Seperti ada yang bergerak di dekat daun telinga dan lehernya. Lelaki berumur empat puluh tahunan itu menggaruk tubuhnya cukup kencang, tapi rasa gatal menjalar ke seluruh tubuhnya.
Mata yang sangat mengantuk itu perlahan ia buka. Gelap gulita. Hanya nampak langit malam yang penuh bintang.
Kembali ia menggaruk tubuhnya dan menangkap makhluk yang sedari tadi merayap hampir masuk ke lubang telinganya.
Slap!
Ia memperhatikan dengan seksama makhluk kecil yang menggeliat di tangannya.
Matanya membulat saat mengetahui benda itu. "Ca--cing? hiii ....!"
Ia melempar cacing itu ke sembarang tempat. Belum reda rasa keterkejutannya, Ia kembali di suguhkan pemandangan mengerikan. Bibirnya bergetar seketika begitu juga tubuhnya.
Gundukan tanah dengan nisan-nisan putih dan nama samar-samar terlihat jelas saat bulan purnama mulai muncul karena awan yang menutupinya mulai bergerak menjauh.
Lolongan suara anj*ng sayup-sayup terdengar di kejauhan, membuat bulu kuduk merinding seketika.
"Ku--kuburan?" desisnya. Peluh mulai mengucur diantara anak rambutnya.
Tap!
Tanpa sengaja tangannya seperti menyentuh sesuatu. Perlahan Ia menggerakkan kepalanya dan pandangannya tertumpu pada seseorang yang terbaring dengan suara dengkuran cukup keras.
Plok!
Tanpa sadar tangannya terangkat keatas dan sebuah tamparan keras ia layangkan ke wajah seseorang yang masih terlelap.
"Uasuuu!" maki orang itu yang tak lain adalah temannya sendiri, Aman. Aman menatap garang sembari mengelus pipinya yang memerah.
"Woy, apa-apaan sampean nampar Aku, toh, Ing?" tanyanya dengan nada marah.
"Koe tu ya, Man. Enak-enakan turu! lihat kita ada di mana!"
Aman bergeming. Matanya mengedar ke segala arah. Seketika bulu-bulu di tubuhnya berduri semua. Ia bergidik dan menyentuh tengkuknya.
"Ku--kuburan? kita di kuburan, Ing?" dengan gigi bergemeretuk, Aman mendekati sahabatnya.
"Wes tak omongi, sebelum magrib kita pulang, kamu ngeyel sih, Man," Toing mendesah kesal.
Srekk!
Tiba-tiba terdengar suara gemerisik dedaunan. Toing dan Aman saling berpandangan. Detak jantung terdengar kencang. Mereka semakin di dera rasa takut.
"A--apa itu, Ing?" Aman meraih lengan Toing dan mencengkeramnya.
"Man, ikuti kata Aku, ya. Hitungan ketiga kita lari. Satu ...," perlahan Aman bangkit mengikuti Toing.
"Dua ... tiga!" tepat pada hitungan ketiga, dua orang lelaki paruh baya itu lari tunggang langgang dan saling berpegangan.
Beberapa kali Aman terjerembab, tapi Toing kembali membantu temannya itu, meski napas terengah dan capek luar biasa.
Beberapa kali mereka melihat bayangan putih dengan ikat kepala berpindah dari satu tempat ke tempat lain seperti mengikuti mereka.
Berulang kali juga Aman teriak minta ampun. Meski wajah makhluk itu tak nampak, tapi tubuh berbalut kain kafan itu bertubuh tinggi.