part 34

6.8K 472 7
                                    

Bismillah

Pocong Itu Bapakku

#part 34

#by: R.D.Lestari

Ustad Salman menyeruput kopinya hingga tandas, seraya mendengarkan perbincangan Pak Johan dengan beberapa warga.

Mereka saat ini berkumpul di Aula yang terbuat dari kayu, tanpa dinding dengan pemandangan hamparan sawah menguning di sekelilingnya.

Suasana yang amat tenang dan nyaman jika saja tak ada peristiwa yang membuat kampung itu terasa mencekam.

Di tempat itu juga hadir Sudiro, Aman, Toing, Handoyo,Andri, Farhan, Gusti, Joko dan Umar. Saksi-saksi yang pernah melihat langsung sosok pocong yang sangat meresahkan warga.

Suasana tenang dengan semilir angin sepoi-sepoi dan latar persawahan yang padinya sudah siap panen, menjadikan pertemuan antar warga menjelang siang itu terasa santai.

Mereka sibuk membicarakan bagaimana caranya agar kampung kembali kondusif. Rindu dengan suasana malam di mana mereka sering berkumpul di pos ronda untuk berbincang dan bercanda juga melepas lelah.

Ketakutan warga juga berdampak pada pendapatan warga. Di perkirakan panen padi juga tak seperti biasa, di mana banyak tanaman padi yang terserang hama akibat dari warga yang takut patroli di malam hari.

Ya, biasanya para petani akan mendatangi sawah mereka untuk mengecek hama tikus yang sering menyerang padi kala matahari terbenam. Hama serangga lain pun banyak memakan daun dan padi yang belum menguning. Burung pemakan padi pun lepas dari pandangan mereka.

Kini, mereka hanya bisa pasrah menunggu hasil panen yang mungkin tak seberapa.

Tentu saja itu semua membuat dunia per-dapuran tidak baik-baik saja. Para istri mulai komplen, apalagi semua serba mahal.

Kampung yang sebelumnya selalu makmur hanya tinggal kenangan. Berubah menjadi kampung terbelakang karena penduduknya mulai kekurangan.

Seperti terkena azab dan kutukan, hidup semakin susah semenjak kejadian pembantaian begal yang berujung teror.

Mengerikan. Malam yang dilalui terasa panjang dan dibayangi ketakutan.

Tak ada yang berani membuka pintu, karena terkadang terdengar ketukan, tapi begitu pintu di buka, tak ada seorang pun di luar rumah.

"Jadi, Pak RT, bagaimana solusi bagi kami, terus terang saja mendengar cerita dari Bapak-bapak yang pernah melihat, Saya jadi tambah takut untuk keluar rumah," lelaki paruh baya dengan kepala setengah botak itu memulai sesi tanya jawab.

Pak RT mendengarkan dengan seksama.

"Sekarang saya yang mau balik bertanya kepada Bapak-bapak yang pernah ditemui dan interaksi langsung. Berhubung kasus ini ditutup secara kekeluargaan, ya ... tau sendiri, Polisi juga malas mengusut,"

"Apa penyebab tu pocong ganggu? apa Bapak-bapak ikut dalam pembantaian itu, atau ada yang tidak ikut tapi tetap diganggu?"

Suasana yang awalnya cukup ramai berubah sunyi, mereka yang sempat mendapat gangguan, memilih pura-pura tak tau, padahal sebelumnya, mereka amat antusias bercerita, bagaimana mengerikan dan menyeramkan saat pocong itu berusaha meneror dengan segala cara.

Bahkan mereka sangat yakin jika Dirga, Dono dan Tejo yang meninggal beruntun itu adalah ulah dari arwah begal yang menuntut balas.

Berhubung Hamdan yang merupakan sahabat mereka sudah pindah, Ia tak bisa dimintai keterangan seperti yang lainnya.

"Sudahlah, Pak RT ... intinya kita di sini untuk mencari solusi, bagaimana bisa lepas dari terror pocong yang sangat meresahkan ini," Sudiro dengan lantang angkat bicara.

Ia sebenarnya merasa takut karena beberapa hari ini setiap menjelang tengah malam Ia selalu mendapat teror ketukan bahkan suara-suara aneh diluar rumahnya.

Belum lagi mimpi yang berulang-ulang, membuat Sudiro semakin dicekam ketakutan.

"Tidak bisa begitu, Pak Sudiro. Kalau gara-gara perbuatan beberapa orang, semua warga kena imbasnya, itu sama sekali tidak adil. Bagaimana nasib orang yang tidak bersalah? itu namanya egois!"

Pak RT Johan menatap marah. Ia benar-benar jengah dengan sebagian warga kampung yang cuek bebek seolah kasus ini tak berarti. Apalagi saat Polisi seolah enggan mengusut kasus ini.

Ya, perkampungan yang terisolir, masih kental dengan budaya mistis. Percaya dukun, percaya makhluk goib, mudah di bodohi, dan kurang pengetahuan, membuat semua orang merasa wajar melakukan perbuatan keji hingga mengesampingkan pri kemanusiaan.

Pengeroyokan di anggap wajar. Hingga nyawa melayang itu hal biasa.

Sekarang, setelah banyak korban, warga saling tuduh dan merasa paling benar.

Mereka yang salah bungkam. Hanya sebagian yang mau mengakui kesalahan. Antara takut atau malah tak perduli.

Itulah, kenapa Pak RT mengumpulkan warga hari itu. Warga merasa perlu meluruskan, siapa-siapa yang bersalah haruslah mempertanggung-jawabkan perbuatannya.

Pak Sudiro meneguk ludah susah payah. Ia ingin berkeras, tapi takut jika nanti orang-orang akan tau jika Ia adalah salah satu orang yang ikut pengeroyokan.

Namanya yang sudah terkenal baik, bisa hancur karena kelakuannya sendiri. Wajahnya berubah tegang.

"Kenapa Pak Sudiro? apa Bapak merupakan salah satu orang yang ikut mengeroyok?" tembak Pak RT Johan. Matanya memicing, mengintai bak elang berburu mangsa, hingga membuat Sudiro terpojok. Apalagi saat itu puluhan mata menatap ke arahnya menuntut jawaban.

Ada yang berbisik-bisik membuat jantung Sudiro berdetak lebih kencang. Matanya bergerak, membidik satu persatu wajah orang-orang dengan raut wajah curiga.

"Ekhm, tentu tidak, Pak. Orang seperti saya tidak akan berani melakukan hal bejat seperti itu," dengan suara bergetar, Sudiro masih berusaha menjaga nama baik yang saat ini dipertaruhkan.

Pak Johan tetap menatap tajam masih tak percaya.

"Sudah, kok jadi saya yang di pojokkan. Saya kan sudah bilang, kalau saya tidak ikut-ikutan," Sudiro memasang warga garang.

Pak RT melengos, dan mengalihkan pandangan pada warga lainnya.

"Ya, kita lanjutkan, tapi sebelumnya, Saya hanya memperingatkan. Apa pun perbuatan kita, semua pasti ada pertanggung jawaban. Kebohongan sekecil apa-pun itu, suatu saat akan ketahuan,"

"Jadi, jika kita merasa punya salah, cepatlah minta maaf,"

"Maksud Pak RT apa?" Aman tiba-tiba nyeletuk.

"Saya hanya mengambil kesimpulan saja, Pak Aman. Sampai sejauh ini yang diganggu rata-rata mereka yang pernah ikut dalam pengeroyokan,"

"Ah, ga juga, Pak. Saya ga ikut-ikutan juga pernah di ganggu. Baru saja beberapa hari yang lalu, dan itu juga sama Aman. Ya, kan, Man?" Toing menyenggol bahu Aman meminta dukungannya. Aman mengangguk pelan.

Terdengar bisik-bisik diantara warga. Aman mendengar namanya ada diantara suara yang berbisik.

"Kalau Pak RT lihat sendiri, yakin, Pak RT ga akan bisa tidur beberapa hari lamanya. Yakin, Pak. Seremnya minta ampun," ujar Toing bergidik.

Pak RT manggut-manggut. Ia lalu memindai tatapannya pada Pak Ustad Salman.

Seolah mengerti apa yang ada dalam pikiran Pak RT, Ustad angkat bicara.

"Mungkin kita bersama sama orang yang ikut dalam pengeroyokan,"

Degh!

Kata-kata Pak Ustad sontak membuat wajah Aman berubah pias, tapi Ia tak seperti Sudiro. Ia dengan gagah berani mengakui kesalahannya.

"Ya, benar, Pak. Saya ikut dalam pengeroyokan. Saya merasa bersalah, tapi saya sadar dan sudah menebus kesalahan saya,"

****

Dendam Arwah BapakTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang