#part 69
#R.D.Lestari.
Suara deru mobil terdengar di depan rumah Jamillah. Tak seperti biasanya, wanita tiga puluh tahunan itu lebih memilih menidurkan anaknya dan membiarkan adiknya Indah di kamar lainnya.
Ia malas untuk menyambut kedatangan suaminya dan membuka pagar rumah, hal yang selalu Ia lakukan dengan sukacita.
Meskipun Ia tak ingin mempercayai kata hatinya, karena percaya jika Indah tak setega itu untuk mengkhianatinya, tapi tetap saja ... hatinya merasakan sakit yang tak tertahankan.
Suami yang Ia percayai malah membohonginya. Rasa ikhlas mengurusi kedua adik Indah berubah menjadi beban dan Ia enggan untuk memberikan kasih sayang seperti semula.
Jamilah tersadar dari lamunannya saat mendengar bunyi derap langkah kaki mendekat. Ia lantas berbaring dan berpura-pura tidur disamping anaknya.
"Ma ... Mama...," lirih suara Rahmat, suaminya memanggil dari arah ruang tengah.
Jamillah mempererat matanya. Ia benar-benar tak ingin berbicara pada suaminya.
Semakin lama bunyi langkah kaki semakin besar, menandakan Rahmat semakin dekat. Benar saja, hanya dalam beberapa detik, pintu kamar anaknya itu terbuka. Suara derit pintu sempat membuat bocah umur lima tahun itu bergerak.
"Ma...,"
"Shuttt!"
Jamilah menepuk-nepuk pantat anaknya itu agar kembali tertidur karena tadi matanya sempat mengerjap dan mengingau.
"Ma ... Papa mau bicara," bisik Rahmat seraya merundukkan badan.
Sembari menahan emosi yang sejak tadi ingin meledak, Jamillah hanya berdehem.
Rahmat yang merasa aneh dengan perubahan sikap istrinya memilih menunggu di luar.
Ia memilih kearah dapur dan meraih kopi sachet rasa mocca yang ada di dalam lemari makanan.
Ia lalu merobek bungkus kopi berwarna merah, menuangkan isinya ke dalam cangkir, menambahkan air panas dan mengaduknya perlahan sembari membayangkan wajah Indah dan kejadian barusan yang membuat bulu kuduknya kembali meremang.
"Hiii, untung selamat," desisnya.
"Hmm, untung selamat kenapa, Pa?" Rahmat terjingkat saat mendengar suara yang tiba-tiba mengejutkannya. Refleks Ia berbalik dan melihat istrinya sudah berada di belakang dengan kedua tangan di tekuk ke dada.
"O-oh, itu tadi ... Ma, itu yang mau Papa ceritakan. Ayo, kita ke ruang tamu sekarang," seraya meraih kopinya, Ia lalu mengajak istrinya ke ruang tamu.
Jamilah yang sedang marah menepis tangan suaminya yang hendak meraih pinggangnya.
"Mama lagi M ya, kok dari tadi jutek banget sama Papa,"Rahmat berusaha menggoda istrinya saat mereka berjalan beriringan.
Jamilah tak menjawab dan hanya melangkah. Rahmat bertambah bingung apa kira-kira yang membuat istrinya marah.
Rahmat dan istrinya mendaratkan pantatnya di sofa ruang tamu secara bersamaan.
Lelaki bertubuh sedikit tambun dengan pipi yang chubby itu menyeruput kopinya yang masih mengeluarkan asap tipis.
"Ahh ... lega, Ma," ujarnya untuk mencairkan suasana, tapi Jamilah, istrinya masih terdiam.
"Mama kenapa, Ma? Mama tau, gak. Hari ini Papa ketemu pocong yang digosipkan warga itu, Ma,"
"Ngeri banget wujudnya. Baru kali ini Papa lihat yang seseram itu. Selama ini ga pernah,"
"Untung Papa masih hapal surah Al-Baqarah dan ayat kursi yang di ajarkan Ustadz dulu. Alhamdulillah kabur juga, Ma, Papa selamat," panjang lebar Rahmat menceritakan apa yang baru Ia alami.
Meski Jamilah ikut bersyukur karena suaminya selamat, tapi tetap saja hatinya masih merasakan perih. Ia hanya melirik ke arah Rahmat dengan mata yang berkaca-kaca.
"Ma? ada apa?" lirihnya saat melihat wajah istrinya yang mendadak mendung.
Rahmat mengangkat tangannya dan mengarahkan jemarinya ke pipi Jamilah, tapi wanita itu langsung menepisnya.
"Ma?" ekspresi wajah Rahmat begitu sulit diartikan.
Sementara Jamilah mengusap pipinya kasar. Ia menyorot tajam ke arah suaminya.
"Ada hubungan apa Papa sama Indah, hah?"
"Jujur!" bentak Jamillah yang membuat mata Rahmat seketika membola.
"Shutt, pelankan sedikit suaramu, Ma. Anak-anak sedang tidur," dengan suara bergetar Rahmat mengusap lengan istrinya.
Namun, bukannya tenang, Jamillah malah naik pitam.
"Perset*n dengan anak-anak! sekarang jujur, Papa bilang semua uang sudah diberikan sama Mama, tapi kenapa Papa kasih ke Indah lima juta?"
"Itu uang Papa, 'kan? dengan Indah bisa kasih uang segitu, dengan Mama malah bohong!" cerocos Jamillah memojokkan Rahmat.
Kadung ketahuan, tanpa rasa bersalah Rahmat malah menyandarkan tubuhnya dan tangannya meraih remot TV.
"Pa! jawab Mama!" ujar Jamillah seraya menahan tangis.
"Itu ... benar, Ma. Papa menyimpan uang di belakang Mama, tanpa memberi tahu Mama, toh uang yang Papa beri juga lebih dari cukup, 'kan?"
Tanpa melihat ke arah Jamillah dan fokus ke arah TV, Rahmat menjawab pertanyaan istrinya.
Hati Jamillah teriris. Memang benar apa yang diucapkan suaminya itu. Uang belanjanya jauh dari kata cukup, tapi ... Ia kecewa karena Rahmat membohonginya, itu saja.
"Papa kan tak perlu bohong sama Mama, sementara sama Indah, Papa bisa kasih semua! mau Papa apa? istri Papa itu Indah atau Mama?" dengan menahan geram, Jamillah melontarkan semua pertanyaanya yang berseliweran diotaknya.
Rahmat menggerakkan kepalanya dan mengulas senyum sinisnya.
"Dua-duanya istri Papa," jawab Rahmat seperti tanpa dosa.
Tentu saja jawaban itu membuat Jamillah tercengang. Bak tertancap tombak yang langsung mengenai jantungnya. Sakit dan perih.
Air mata yang mati-matian Ia tahan, menerobos keluar tanpa jeda. Bukti betapa terlukanya hati seorang istri yang dikhianati suaminya.
"Maksud Papa ... apa? Papa dan Indah... sudah...," tanyanya dengan tangan gemetar.
"Tidak...tidak ... Papa dan Indah belum menikah, gadis itu pun belum tau perasaan Papa, tapi Ia tak akan menolak jika Papa menjadikannya istri kedua, Papa pastikan itu," jawab Rahmat percaya diri, karena ada Ia memegang kunci untuk bisa meluluhkan hati seorang Indah.
"Papa tega! tak cukuplah Mama yang jadi istri Papa satu-satunya? Kita menikah sudah lama, Pak. Mama kurang apa?" Jamilah terisak. Sungguh sakit rasanya mendengar ucapan jujur dari suami yang Ia cinta.
"Mama lebih baik dari Indah, tapi ... Papa harus jujur ... Indah lebih cantik dan lebih menarik dari Mama, makanya Papa ga bisa berpaling darinya,"
"Papa kejam!"
"Terserah Mama ... kalau masih mau bertahan silahkan ...tidak juga ga kenapa-kenapa. Apa Mama siap hidup miskin dan menderita? ingat! rumah dan beberapa aset kita itu atas nama Papa,"
Jamillah terdiam. Sebuah kenyataan pahit lagi-lagi membuatnya ternganga.
Bagaimana ini? harus bertahan ataukah pergi?
"Papa ga akan maksa, tapi kalau Mama minta Papa lupakan Indah, Papa ga bisa. Papa tetap sama pendirian Papa. Kalau ga bisa secara sah, nikah sirih pun tak mengapa," ucapnya tenang.
Bukan hanya sakit hati, panas seketika menjalari tubuhnya. Emosi. Kebaikannya selama ini sama sekali tak berarti, berujung pengkhianatan oleh suaminya sendiri.Tragis.
Rahmat beranjak dari sofa dan melangkah pergi ke arah kamar mandi, meninggalkan Jamillah yang masih menangis tak bisa berhenti.
Tak lama, Jamillah pun bangkit dan melangkah ke arah kamar paling belakang, tempat kedua adik Indri tidur terlelap. Ia ...