Bismillah
POCONG ITU BAPAKKU
#part 26
#by: R.D.Lestari.Mereka berjalan beriringan ke rumah Pak Ustad yang jaraknya hanya beberapa ratus meter dari rumah Hamdan.
Begitu sampai, mereka disambut Pak Ustad Salman yang sedang membersihkan halaman.
"Assalamualaikum, Pak Ustad," sapa mereka serentak. Sedikit memicingkan mata, Pak Ustad memperhatikan lebih seksama dua orang yang umurnya tak begitu jauh darinya.
"Waalaikumsalam, mari masuk, Pak Hamdan, Pak Wahyu," jawabnya ramah dan mempersilahkan mereka masuk.
"Pak Ustad, bisakah kita bicara di sini saja, Pak? ini penting sekali Pak," mohon Wahyu.
Pak Ustad mengangguk pelan. "Ada apa, Pak?"
"Begini, Pak. Saya mau minta tolong. Teman Saya, Cipto mengalami penyakit aneh. Bisakah Pak Ustad ikut kami?"
Ustad berpikir sejenak. Ia tanpa banyak bicara permisi untuk ganti baju dan setuju ikut.
Dengan langkah tergesa, Hamdan, Wahyu dan Pak Ustad memacu langkah menuju rumah Cipto.
Sesekali mereka berpapasan dengan beberapa warga dan bertegur sapa.
Mereka akhirnya tiba di rumah Cipto. Rumah batu sederhana belum di plaster dengan kebun singkong di kiri dan kanannya.
Wahyu mengetuk kencang rumah Cipto. Tak lama terdengar derap langkah mendekat.
Pintu berderit dan terbuka perlahan. Wajah cantik dengan balutan jilbab panjang menyembul dari balik pintu.
"Alhamdulillah, mari masuk, Pak Ustad, Bang Wahyu dan Bang Hamdan," wanita itu menggeser tubuh dan mempersilahkan tamunya masuk.
Mereka diantar ke kamar Cipto, di mana lelaki itu masih dengan posisi terlentang dengan mata yang melotot dan jakun yang naik turun.
Tubuh Cipto gemetar dengan mulut yang komat-kamit tanpa suara. Hanya air mata yang mengalir di kedua sudut mata.
Pak Ustad yang melihat kejadian itu menyuruh istri Cipto untuk merebus empat gelas air dengan tujuh helai daun bidara hingga menjadi satu gelas.
Segera, istri Cipto pergi ke arah dapur dengan membawa plastik seperempat yang berisi daun bidara.
"Kalian tunggu di dalam, menemani Saya. Pegang tangan dan kaki Cipto dengan kuat,"
"Turuti perintah Saya dan jangan banyak tanya, mengerti."
"Ya, kami mengerti, Pak Ustad!" jawab mereka serentak dan mencari posisi. Wahyu di sebelah kiri dan Hamdan di sebelah kanan.
Sedang Ustad berdiri di samping Cipto yang susah payah menarik napasnya.
Ustad mulai mengawali melantunkan doa surat-surat pendek. Awalnya tubuh Cipto hanya bergetar ringan.
Malah terdengar suara tawa. Ia terkekeh seolah mengejek Ustad. Detik-detik berikutnya, mulai terdengar suara desisan.
Setiap Ustad membaca ayat-ayat suci, Cipto juga mengucapkannya.
Hamdan dan Wahyu saling pandang. Cipto seperti kesurupan, bukannya takut di bacakan doa, ia malah terlihat fasih melepaskannya.
Ustad tak tinggal diam. Ia terus berusaha membuat Cipto sadar. Alunan doa terdengar semakin lantang, diiringi tawa mengerikan dari mulut Cipto.
Tak lama, istri Cipto membawa segelas air rebusan daun bidara dan Ustad meletakkannya sebentar di atas nakas karena masih sangat panas.
"Percuma, Ustad! nyawa manusia laknat ini akan aku bawa, sebagai balas dendam," mata Cipto melesat ke arahnya. Tajam, dan tersenyum sinis. Giginya bergemeretuk dan terkekeh mengejek.
"Hei, kau bukan almarhum. Kenapa kau masuk ke tubuh Cipto!" Hardik Ustad Salman.
"Karena dia sudah membunuhku!" teriaknya lantang.
Kali ini tubuh Wahyu yabg terasa bergetar hebat. Dadanya bergemuruh karena rasa takut yang teramat sangat. Untunglah ia sudah sempat minta maaf, kalau tidak ... pastilah ia yang menderita seperti Cipto saat ini.
"Kau memang Jin yang pandai berkata-kata, meskipun kauJin yang punya ilmu tinggi, aku tak akan gentar melawanmu,"
"Cepat pergi, sebelum kau merasakan sakit yang teramat sangat,"
"Ha-ha-ha, kau kira aku akan begitu saja pergi dari manusia lemah ini? dia harus merasakan sakit seperti apa yang aku rasakan sebelum aku mat*!" Ia menggeram marah. Tubuh Cipto naik dan dadanya membusung dengan mata yang yang melotot tajam.
Wahyu dan Hamdan semakin panik, tapi mereka tak berani beranjak dari tempat karena Ustad melarang.
"Berhenti berpura-pura, kau bukan Almarhum Pak Mulyono yang meninggal karena di keroyok warga. Kau Jin yang menyerupai!" tukas Ustad Salman.
Tangannya dengan sigap meraih air yang sebelum ia paksakan untuk diminum Cipto, sudah ia bacakan doa terlebih dahulu.
Tubuh Cipto menggelinjang saat air hangat itu berhasil masuk ke kerongkongannya. Tubuhnya bergetar kian hebat hingga ranjangnya bergoyang, pun Hamdan dan Wahyu yang ikut terguncang karena memegang tangan dan kaki Cipto bersamaan.
Suara lengkingan terdengar memekakkan telinga seiring lantunan surah Al-Baqarah yang keluar dari mulut Ustad Salman.
"Panasss! sa--sakit! hentikan!" raung Cipto setengah memohon.
Namun, lantunan ayat suci dari mulut Ustad Salman terus menggema, membuat Cipto semakin kesakitan.
Mata Cipto memerah. Sesekali Ustad menepuk beberapa bagian tubuh Cipto dan tubuh itu meliuk-liuk menahan sakit.
"Ampun ... sakit ...,"
"Kalau kau sakit, lekas keluar! jangan berani datang lagi!" bentak Ustad lagi.
"Baik, Ustad,"
Setelah berucap, tubuh Cipto kembali mengejang. Muntah-muntah hebat. Dari kepalanya mengepul asap tipis yang hilang dalam sekejap.
Cipto yang lemah akhirnya sadar dan mereka sandarkan di kepala ranjang dengan bantal sebagai penyangga.
"Saya kenapa, Pak Ustad. Badan saya semua rasanya pegal dan sakit-sakit," keluh Cipto saat kesadarannya benar-benar sudah pulih.
Istrinya yang sedari tadi hanya memperhatikan di ambang pintu berlarian ke arah Cipto dan memeluk suaminya erat. Tangisnya pecah saat itu juga.
Cipto menatap heran. Ia benar-benar lupa apa yang terjadi padanya.
Istrinya berbalik dan mengucapkan terima kasih pada Pak Ustad.
"Alhamdulillah, sama-sama, Bu. Jinnya sudah pergi. Nanti sebelum saya pulang, kita kembali ruqyah sedikit Pak Cipto dengan metode rendaman air Bidara sebagai perantara saja. Semua ini murni hanya pertolongan dari Allah,"
"Saran saya, minta maaflah pada keluarga orang yang Bapak sakiti,"
"Dan ini jadi pelajaran. Bahwa sesungguhnya Jin punya sejuta cara untuk menjerumuskan manusia, ini salah satunya,"
"Sebenarnya, yang merasuki tubuh Pak Cipto bukan almarhum Pak Mulyono, melainkan Jin yang menyerupai,"
"Karena kalian takut, dan di cekam rasa bersalah, Jin mengambil kesempatan untuk menyerupai dan menakut-nakuti. Itulah salah satu tipu daya Jin,"
Hamdan, Cipto dan Wahyu mendengarkan petuah Pak Ustad dengan seksama.
"Nah, biar hidup kalian tenang, jangan tinggalkan solat sebagai tiang agama, dan minta maaflah, supaya tak di kejar perasaan bersalah,"
Tiga orang itu mengangguk serentak. Cipto yang lemah mengucapkan terima kasih kepada Ustad dan berjanji akan segera minta maaf.
Istri Cipto pun bergegas menyiapkan air yang berisi daun Bidara. Pak Ustad melakukan ruqyah sedang Hamdan dan Wahyu menunggu di luar sembari berbincang ringan. Mereka lega, akhirnya Cipto sadar.
Itulah kali terakhir Cipto kesurupan, karena esoknya, Cipto dan keluarga bertandang ke rumah Kartini dan minta maaf dengan setulus hati.
Sejak itu, Ia tak pernah lagi di ganggu sosok pocong yang mengganggu warga sekitar. Hidupnya kembali damai, lebih tenang karena sudah meminta maaf dan berusaha sekuat tenaga untuk menjalani kewajiban sebagai muslim. Sebagai rasa syukur pada Kemurahan Hati Robbnya.