part 7

12.7K 769 58
                                    

Bismillah

               

#part 7

# by: R.D.Lestari.

Suara petok induk ayam dan cicitan anak ayam terdengar berisik di belakang rumah.

Bayi mungil Bu Kartini pun sejak jam delapan malam tak henti menangis kejer seolah ada sesuatu yang mengganggunya.

Indah yang saat itu sedang menemani Danang belajar, merasa terusik. Kasihan memikat ibunya yang pasti kelelahan dan ia yakin lapar, karena tak sempat makan malam. Adiknya terlampau rewel dan susah didiamkan.

"Nang, Mbak mau bantuin ibu sebentar. Kamu ga apa kan belajar sendiri?" Indah menggeser duduknya, berniat untuk berdiri dan menemui Ibu. Ia berusaha meyakinkan Danang terlebih dahulu, karena adiknya itu sangat penakut.

Danang menggigit bibirnya, seolah tak ingin Indah meninggalkannya. Namun, iapun tak kasihan melihat ibunya yang kerepotan mendiamkan adiknya yang sejak tadi rewel. Bocah itu terpaksa mengangguk setuju, meski matanya bergerak ke kiri dan ke kanan seperti memperhatikan sesuatu.

"Nang, jangan takut, ga ada apa-apa, kok. Ini kan di rumah, mana ada setan," ujar Indah meyakinkan.

"Jangan lama-lama, ya, Kak. Danang takut," lirihnya. Kali ini Indah yang mengangguk.

Gadis itu akhirnya berdiri dan melangkah ke arah kamar ibunya, di mana suara tangis adiknya semakin terdengar lantang.

"Apa Adek sakit, Bu?" ucap Indah saat menatap punggung ibunya di ambang pintu.

Kartini yang terkejut mendengar suara Indah langsung berbalik. Wajah gusarnya terekam jelas saat menatap Indah.

"Ga, In. Adek ga panas. Ibu juga heran, kok rewel banget, mana ayam di luaran berisik, apa ada maling, ya, In?"

Drap-drap-drap!

Petok! petok!

Sayup Indah mendengar suara derap langkah kaki di sekitar rumahnya. Ia terdiam dan mempertajam pendengarannya.

"Ada apa, In?"

"Shuttt, Bu, jangan berisik. Ada seseorang diluar," indah meletakkan jari tengah di antara bibirnya.

Ibu yang masih berusaha mendiamkan bayi mungilnya mengatup mulutnya. Ia mendekati jendela kamar dan mengintip dari sela-sela papan yang bolong termakan rayap.

"Bu, Indah cek ke dapur dulu. Apa ada senter?" ucap Indah saat ibunya menatap ke arahnya.

"Jangan, In, bahaya. Kamu di sini aja," ibu berusaha menahan Indah, tapi gadis itu seolah tak perduli. Ia pergi ke arah dapur. Ibu yang tak mau anaknya berada dalam bahaya, mengikuti langkah Indah.

"In, hati-hati," ucapnya saat Indah keluar seraya meraih senter di atas meja kayu rumahnya. Indah menoleh ke arah Ibu seolah memberi isyarat.

"Dah, Ibu jaga adek-adek aja. Indah cuma mau lihat ayam di belakang. Kalau ayam-ayam kita di curi orang, makan kita akan terancam, Bu. Lumayan untuk nyambung hidup sebelum Indah dapat pekerjaan," tutur Indah selembut mungkin, berharap ibunya bisa percaya dan tak khawatir dengan keadaannya.

"Kamu berani, In?" sirat ketakutan terekam jelas di wajah Ibu. Indah mengangguk mantap.

Tak ada rasa takut di hatinya. Baginya, hal yang terpenting saat ini yaitu adik-adik dan ibunya. Satu-satunya ketakutan dalam dirinya adalah saat mereka tak bisa makan.

Ia sudah merasakan cukup menderita karena kurang makan. Saat ia masih berada di bangku sekolah dasar, bapaknya amat gemar berjudi dan malas bekerja.

Jika sedang tak bekerja yang bisa berhari hingga berminggu-minggu lamanya, ibu yang tak punya uang terpaksa mencari makanan di kebun tak terurus dan semak yang ada di belakang rumahnya.

Terkadang ubi rebus, pisang rebus dan kalau beruntung keladi atau kemumu yang direbus. Tanpa lauk, tanpa penyedap ataupun gula.

Rasa kemumu masih terbilang enak, tapi jika pisang mentah yang diolah, rasanya pasti kelat.

Kalau nasib lagi beruntung, Yayuk Jamila tetangganya mengirim masakan buatannya, seperti sop dan semur ayam.

Indah terbiasa jarang jajan. Badannya pun lebih kurus dari teman-teman seusianya.

Hati kecilnya kadang menjerit. Menyalahkan Tuhan karena memberinya orang tua yang malas bekerja.

Tak dapat di pungkiri, gadis kecil seusia Indah saat itu amat labil. Ingin juga punya kehidupan layak seperti teman-temannya yang lain.

Melihat temannya makan jajan, Indah menjauh dan menatap dengan sendu. Titik-titik air terlihat mengkilat di sudut matanya.

Indah kecil meneguk ludahnya. Ia berulang kali mengisi perut kosongnya dengan air yang di bawanya. Ya, air minum botol sekali ulang yang bermerk Aqia itu berulang kali ia pakai karena tak punya botol mahal seperti teman-temannya yang lain.

Indah menggelengkan kepalanya cepat. Nostalgia semasa kanak-kanaknya itu menjadikannya trauma. Takut jika adik-adiknya kelak merasakan apa yang ia rasa.

Belum lagi Indah melangkah keluar dari dapur, pintu baru ia buka sedikit, netranya menangkap sekelebat sosok berlarian masuk ke dalam semak dengan amat cepat. Ia tak dapat melihat dengan jelas, hanya terdengar sayup suara teriakan.

"Pocong! pocong!"

Degh!

Jantung Indah seketika berdegup kencang. Ia terpaku di ambang pintu. Tubuhnya kaku dan sedingin es mendengar teriakan orang yang meski hanya sekilas, tapi sangat menghantam tubuhnya.

'Pocong?'

Rasa penasaran yang teramat sangat mengalahkan rasa takutnya. Meski berurai keringat dingin, ia berusaha mengangkat kakinya yang terasa amat berat.

Matanya bergerak ke kanan dan ke kiri, waspada jika sewaktu-waktu sosok yang diikat di bagian kepala itu hadir dan menunjukkan eksistensinya.

Dan saat kaki Indah baru saja menjejak di luar rumah, tiba-tiba  ....

Slapss!

Netranya menangkap sekelebat bayangan putih yang naik dengan cepat ke atas pepohonan.

Brught!

Tubuh Indah meluruh di tanah, kakinya tak kuat menopang tubuhnya yang terasa lemas.

Untuk pertama kalinya ia melihat sosok yang ditakuti banyak orang itu. Meski sangat singkat dan cepat, bayangan putih dengan ikat kepala itu sempat tertangkap indra penglihatannya dengan sangat jelas.

Hanya wajah yang tak ia lihat. Wajar jika gadis itu amat shock dengan kejadian yang baru saja menimpanya.

Susah payah Indah menggeser tubuhnya. Sembari menyeret tubuhnya, Indah mendekati pintu dan bertepatan dengan masuknya ia kedalam rumah, suara tangis bayi pun reda.

Batin Indah bergejolak. Apa ini ada kaitannya dengan sosok pocong yang barusan ia lihat?

"Indah ... kamu kenapa, Nak?" Ibu yang saat itu sedang menggendong bayi yang sudah tertidur itu segera berusaha menolong Indah dengan salah satu tangannya.

"Udah, Bu. Indah bisa sendiri. Indah hanya shock. Barusan lihat penampakan," Indah menjawab dengan suara bergetar.

"Hah? penampakan?"

Belum lagi Indah berdiri, terdengar ketukan di pintu depan rumahnya. Ketukan yang terdengar lirih itu membuat Danang yang masih berada di kamar ketakutan. Berulangkali ia memanggil ibunya.

"Bu! Ibuk!"

Bayi yang berada di gendongan kembali menggeliat. Baru saja hendak terhenyak, rungunya kembali terusik dengan teriakan.

Ibu mendesah frustasi. Ia lalu berlari ke arah pintu, dan saat ia membuka pintu....

Dendam Arwah BapakTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang