Bismillah
#part 62
#R.D.Lestari.
"Bukan cuma Suroso. Jin yang ingin melenyapkan nyawamu juga berasal dari orang yang Kamu sakiti sebelumnya,"
Lagi-lagi Sudiro di buat terhenyak. Sulit untuk mengucapkan sepatah kata.
Semua ucapan Abah benar adanya. Ia pun sudah lelah menghadapi ini semua. Hanya ingin bebas dari rasa bersalah yang selama ini menghantuinya.
Terlebih pada Indah. Ia benar-benar ingin meminta maaf padanya, dan jika memang Jodi mencintai gadis itu, Sudiro akan mengizinkannya.
"Jadi, Abah ... apa yang harus Saya perbuat agar lepas dari teror-teror ini? Saya tobat, Bah," Suroso nampak pasrah. Terlihat dari wajahnya yang berubah pias.
Lelah pasti Ia rasakan. Ia ingin kehidupan normal kembali seperti saat sebelum Ia melakukan kesalahan.
Abah Kyai menatapnya dalam. Senyum Ia ulas sebelum menjawab pertanyaannya.
"Perbaiki solatmu, akhlakmu, dan hatimu,"
"Allah saja Maha Pengampun, apalagi Kita yang hanya manusia?"
"Jangankan hanya Jin. Seisi dunia pun akan musnah jika itu sudah jadi kehendakNya,"
"Maka jangan putus asa. Selama mau berusaha, Allah pasti akan bukakan jalan," jelas Abah Kyai panjang lebar.
Sudiro mendengarkan dengan seksama. Hatinya begitu tenang dan tambah bersemangat.
Ia berjanji akan bersungguh-sungguh pada pendiriannya kali ini. Cukup sudah yang Ia alami selama ini. Ia tak ingin mendapatkan masalah lagi.
***
Ditempat lain, Indah yang sudah baikan bersiap ingin berangkat kerja. Subuh-subuh Ia sudah bangun dan berniat mencuci baju.Suara azan subuh belum bergema. Hanya terdengar alunan merdu orang mengaji dari mesjid.
Indah tergugah. Sudah begitu lama Ia tak pernah melantunkan ayat suci Al-Quran yang dulu sering Ia lakukan.
Kini, semenjak Ia bekerja dan bapaknya meninggal, Indah hanya sibuk dengan pekerjaannya.
Gadis itu keluar dari kamar dan melangkah melewati kamar ibunya. Aneh, tak ada suara apa pun di sana. Hening seperti tak ada orang.
Indah penasaran. Ia mendekat ke arah kamar dan tangannya menekan gagang pintu.
Kriett!
Pintu terbuka perlahan. Indah mendorong pintu agar terbuka lebih lebar, dan ...
"Ibu!!"
***
Malam itu di tengah angin kencang dan rintikan hujan, Kartini memburu waktu, berlarian mencari perlindungan.
Suara orang bersahut-sahutan mengejar dirinya di tengah gelapnya malam tanpa penerangan. Cahaya bulanpun tak nampak karena tertutup awan pekat yang berarak.
Pekikan di sertai derap langkah memecah keheningan malam. Peluh mengucur di antara anak rambut.
Deru napas memburu dan terengah-engah, menahan lelah dan rasa takut yang teramat sangat.
Takut ketahuan, karena malam ini nasib apes menimpa dirinya. Aksi pencurian yang berkedok menakuti dengan bantuan suami pocongnya, ternyata tak mempan pada keluarga Sudirman yang seorang pensiunan TNI, sudah biasa menghadapi hal menakutkan di hutan.
Kartini yang memakai mukenah lusuhnya hampir saja mat* jadi korban sabetan samurai yang memang tersimpan khusus di rumah sang pensiunan.
Berbeda dengan Kartini, pocong yang yang menyerupai suami Kartini dan menjadi penghasut selama ini juga bagai kehilangan kekuatan.
Seperti yang selama ini orang tau, mereka pun takut pada manusia yang pemberani. Kuat menghadapi manusia lemah.Hal dasar yang sering manusia lupakan.
Makhluk itu hilang entah kemana saat Kartini berjuang antara hidup dan mat*. Mungkin inilah ujung dari kekesalan warga selama ini.
Begitu ada salah satu orang yang berani, mereka malah tersulut emosi. Apalagi saat mengetahui jika makhluk itu bukan makhluk halus seperti yang mereka duga selama ini.
Kartini adalah oknum yang mencari kesempatan diantara rasa takut yang merajai.
Kini, Kartini kena batunya. Dimana Ia tadi sempat merasakan ujung mata pisau menggores lengannya.
Darah merembes diantara mukenah lusuh yang Ia kenakan. Pedih, perih tak lagi Ia hiraukan.
Yang ada dipikirkannya saat ini, bagaimana caranya agar Ia mampu menghindar dari kejaran beberapa warga yang hendak menghabisinya.
Terseok-seok, tubuh yang sudah semakin lemah karena darah yang terus mengucur deras, tak membuat Kartini hilang akal.
Ia masuk ke areal pekuburan dan berlari mencari tempat perlindungan. Memasuki area hutan dan memutuskan tersembunyi diantara tingginya semak belukar.
"Kemana setan jadi-jadian itu!" teriak salah satu orang dengan suara menggema.
"Pantaslah uang Kita raib saat kita ketakutan. Ternyata manusia laknat itu penyebabnya!"
"Temukan Dia! biar kutembak sekalian! sudah Aku bilang, setan itu tak ada! yang ada hanya manusia berkelakuan setan!"
Kartini semakin membekap dirinya. Menekuk kakinya dan memeluknya. Tak berani menangis ataupun bersuara. Hanya tubuhnya yang gemetar hebat menahan rasa takut yang teramat.
Suara derap langkah kaki semakin mendekat. Rasa takut lenyap tergantikan dengan emosi yang meledak.
Detak jantung Kartini semakin memacu. Dalam keadaan genting seperti itu, Kartini masih memikirkan nasib anaknya di rumah.
Sesal kian merajai kalbunya. Jika malam ini Ia tertangkap dan dihabisi warga seperti almarhum suaminya, bagaimana nasib ketiga anaknya? mampukah mereka bertahan tanpa dirinya?
Hampir saja jantung Kartini berhenti berdetak, saat Ia mendengar suara tapak kaki mendekat ke arahnya hanya beberapa meter darinya.
Di saat yang bersamaan, mereka dikejutkan dengan suara lolongan an*ing yang bersahut-sahutan. Langkah itu terhenti dan tak lama terdengar obrolan untuk meninggalkan tempat.
Kartini lega. Ia terdiam di tempat. Tak lama Ia merasakan tubuhnya kian melemah. Darah di lengannya semakin mengucur deras.
Tubuh itu ambruk menimpa rerumputan. Sosok tak kasat mata itu perlahan menjadi solid dan membentuk tubuh seseorang.
Ia mendekat dan menggendong Kartini. Membawanya pulang menembus gelapnya malam.
Kartini yang sudah tak sadarkan diri sama sekali tak menyadari jika saat ini Ia berada di gendongan makhluk astral.
Tubuh itupun di biarkan begitu saja diatas kasur, disamping bayi mungilnya yang masih tertidur pulas.
Sosok astral itu terpaksa pergi, saat mendengar suara lantunan ayat suci yang menggema sayup-sayup di kejauhan.
Itulah saat di mana Indah bangun dan berniat untuk beres-beres. Merasa curiga karena kamar Kartini sangat sepi tak seperti biasanya.
Gadis itu memberanikan diri masuk ke dalam kamar dan shock saat melihat ibunya sudah terkapar dalam keadaan yang mengenaskan.
Tangannya bersimbah darah dan mukenah yang Ia pakai kotor, penuh tanah.
Menepis rasa penasaran yang kian merasuki pikirannya, Indah mengangkat tubuh Mulyani, adiknya yang tiba-tiba menangis histeris.
Panik. Indah memilih menolong adiknya terlebih dahulu. Menggendong bayi itu dan membuat susu.
Hanya dalam waktu beberapa menit, Mulyani sudah tertidur. Indah lalu membawa Mulyani ke kamar Danang.
Adik nomor duanya itu terbangun. Ia bersedia menemani Mulyani dan membiarkan Indah ke kamar ibunya.
Indah bergegas ke kamar ibunya yang belum juga sadarkan diri. Merasa luka Ibu terlalu lebar, Indah memutuskan untuk membawa Ibu ke rumah sakit.
Tergopoh-gopoh, Indah berlarian berusaha mencari pertolongan kepada tetangganya.
Tak perduli hari masih gelap dan azan subuh bersahut-sahutan. Langkah Indah terhenti ketika ...