Bismillah
Pocong Itu Bapakku
#part 33
#R.D.Lestari.
Indah kekeh dengan pendiriannya. Lebih baik Ia sadar diri dan melangkah menjauh. Bukankah itu lebih baik?
Meski hati kecilnya tentu saja ingin memiliki seseorang yang mau menerima keadaannya apa adanya.
Bukan karena Ia matre, tapi Jodi memang punya pribadi yang baik, menurutnya.
Jodi lembut, selalu sopan dan tak pernah berbuat macam-macam. Dan, di dasar hatinya yang paling dalam Ia tak dapat memungkiri jika benih-benih cinta itu sedang tumbuh bersemi.
Namun, apalah daya. Orang tua Jodi menolak dirinya mentah-mentah. Hanya karena Ia adalah orang susah dan jauh dari kata mewah.
***
Indah mengulas senyum tipis saat tangannya menarik tali timba yang terasa berat. Penuh tenaga dan banjir peluh di sekitar area wajah juga tubuhnya.
Suasana di waktu surup itu sama sekali tak membuat dirinya takut. Meski langit mulai gelap, dibelakang rumahnya yang merupakan kebon singkong dan banyak pohon-pohon besar, Indah tetap melanjutkan kegiatannya menimba air untuk keperluan keluarganya esok hari.
"Indah ... magrib, Nduk, masuk!" seru ibunya dari dalam rumah.
Indah menggerakkan kepalanya menoleh ke arah rumah. "Yo, Bu. Tanggung. Bentar lagi air di bak mau penuh," sahut Indah seraya menuangkan air dalam ember ke sebuah jerigen yang diberi lubang untuk mengaliri air melalui pipa ke bak mandinya yang terletak di dalam rumah.
Indah kembali melamun. Sedang suara Adzan sayup-sayup mulai terdengar di kejauhan.
"Indah ... masuk, Nak ...,"
Indah mendengus kesal saat lagi-lagi ibunya mengusik kegiatannya.
"Ntar, Bu ... tanggung ...," jawab Indah dengan suara penuh penekanan.
Srekkk!
Indah terhenyak saat rungunya mendengar bunyi dari arah kebun. Seketika pandangannya terfokus pada deretan pohon bambu dan singkong yang tak jauh darinya.
Jantungnya bergemuruh kencang. Menelisik sesuatu yang bergerak diantara rerimbunan bambu, dan ...
Byurrr!
Tali timba terlepas begitu saja dari genggaman tangannya, dan ember terjatuh masuk ke dalam sumur. Secepat kilat Indah berbalik dan berlarian masuk kedalam rumah saat netranya menangkap sesuatu yang terbang melesat secepat kilat.
"Ibukkk!"
Brakk!
Indah menutup pintu sekenanya. Ibu yang saat itu dengan menyusui Mulyani seketika beranjak dari duduknya, mendengar teriakan Indah yang sangat kencang dan mengejutkan.
Bayi Yani menangis histeris saat ibunya melepaskannya saat Ia sedang menyusu.
Suasana menjadi riuh dengan cecaran pertanyaan, tangis Yani dan gema suara Adzan yang masih berkumandang.
Napas Indah terengah-engah dan memeluk tubuh ibunya dengan erat. Gadis itu gemetar dan menutup matanya rapat-rapat. Ia sangat ketakutan.
Sementara Danang hanya menatap terpaku di kursi kayu yang beralas bantal lusuh.
"Wes, wes, duduk dulu, Nduk," perlahan sembari menimang Yani, Kartini membawa Indah ke arah kursi dan menyuruhnya untuk duduk disebelah.
Ia kembali menyusui Yani yang sedari tadi terus menggeliat karena masih lapar.
Suasana kembali tenang seiring selesainya suara Adzan. Indah pun berulang kali mengambil napas dalam dan membuangnya perlahan.
"Ada apa, In? kenapa lari-lari sampai ngos-ngosan seperti tadi?" tanya Kartini pada anak sulungnya yang sudah beranjak dewasa, tapi di matanya masih seperti anak-anak.
Indah menarik napas dalam-dalam sebelum Ia membuka suara. Matanya melesat ke segala arah dan memutar badan. Tangannya perlahan menyibak tirai takut-takut.
Degup jantungnya kembali tak beraturan. Setelah memastikan semua aman, Indah kembali menghadap ibunya dan menghela napas perlahan.
Danang yang sejak tadi hanya terheran melihat kelakuan kakaknya, memilih untuk mendekat. Perasaannya menjadi tak enak.
"Bu ... Indah tadi ...,"
"Hiiii," Indah memegang tengkuknya sendiri. Seketika Ia bergidik ngeri.
Alis Kartini mengernyit. Ia tau, sesuatu pasti terjadi pada anak gadisnya itu.
"Udah Ibu bilang tadi, magrib-magrib jangan diluar. Bahaya. Itu waktunya makhluk halus keluar dan menggangu manusia," terka Kartini yang sontak membuat mulut Indah menganga.
Danang yang mendengar pun jadi ketakutan dan melipir duduk di samping Indah.
"Yo, kan? Kamu pasti lihat sesuatu di luar, 'kan? kalau ndak, ndak mungkin Kamu ketakutan seperti ini,"
Perlahan Indah mengangguk. Ia menatap dalam ke mata ibunya yang menatapnya teduh.
"Bu? apa iya Bapak jadi pocong, Bu? rasanya Indah tak percaya, Bu. Bapak ...,"
Indah menurunkan pandangannya pada Yani. Air mata jatuh di sudut pipinya tanpa Ia sadari.
Ia lalu menggeser tubuh dan menatap Danang yang saat itu juga tertunduk. Dengan penuh kasih sayang Ia memeluk Danang erat dan berbisik di telinganya," Kamu jangan takut, Dek. Tadi Mbak cuma lihat kecoa," Indah menyadari kesalahannya yang pasti akan membuat mental adiknya itu down.
Punya orang tua yang menjadi hantu tentu tak diinginkan anak mana pun. Bukan cuma jadi aib, tapi rasa takut yang membayang di setiap gerak-geriknya.
Untunglah Indah menyadari jika Danang tadi ikut menguping. Maka Ia dengan jeli membuat adiknya itu hilang dari rasa khawatir.
Danang mengangkat wajahnya dan menarik dua sudut bibir hingga tercipta senyuman di wajahnya.
"Jadi, bukan lihat hantu, Mbak?" matanya seketika berbinar. Indah mengangguk perlahan. Ia juga mengulas senyum indahnya.
"Dah, belajar sana. Nanti kalau ada yang ga tau, tanya Mbak. Mbak mau mandi dulu, terus siapin makan buat kamu," tutur Indah dengan lembut.
"Siappp!" Dandang dengan riang masuk ke dalam kamarnya, sedang Ibu menatapnya cukup lama, seolah minta penjelasan.
"In ...?"
Indah kembali duduk dan berbisik di dekat Ibu.
"Indah tadi lihat sesuatu terbang dari balik rerumputan bambu, Bu. Warnanya putih dengan ikatan di kepala. Hilangnya cepet, wuzz gitu, Bu,"
"Makanya, Indah kaget terus langsung berlarian masuk," jelas Indah yang membuat mata Ibu seketika berkaca-kaca.
"Kenapa Kamu yakin itu Bapakmu, Nak? apa Kamu lihat wajahnya?"
Indah menggeleng pelan mendengar pertanyaan ibunya. Apalagi saat Ia melihat tetesan air mata di sudut pipinya.
Indah langsung tergerak untuk menghapus bulir bening yang kini sudah menganak sungai.
"Maafin Indah, Bu. Cuma perasaan Indah tadi bicara kalau itu Bapak, Bu,"
"Entahlah, Indah... Ibu selalu berpikiran jika itu bukan Bapakmu. Meski kadang terselip ragu,"
"Rasanya, Bapakmu tidak seburuk itu. Bagi Ibu, walaupun kita hidup susah dan malas kerja, tapi Bapakmu adalah laki-laki penyayang dan bertanggung jawab,"
"Saking Ia memikirkan keadaan Ibu, Dia memilih melakukan perbuatan buruk itu dan membuat dirinya meninggal dalam keadaan memperihatinkan," Kartini terisak menahan sesak yang kian merajai dadanya.
Indah pun tak mampu menahan tangis yang sejak tadi mendesak ingin tumpah.
Ia kemudian memeluk ibunya yang saat itu juga sesenggukan. Dua wanita yang ditinggal Mulyono itu kini dihujam rasa sedih yang menyelimuti.
Berpisah dari orang yang sangat mereka sayang dan merupakan tulang punggung keluarga, itu tak mudah, dan tak akan pernah menjadi mudah!
***