Part 73

3K 117 1
                                    

#part 73

#R.D.Lestari.

"Nang, ini ... Mbak bawain gado-gado, makan gih. Biar Mulyani sama Mbak," Indah menyerahkan bungkusan yang Ia bawa, tapi Danang malah mengernyitkan dahinya dan menatap heran.

"Nang?" Indah mengulangi ucapannya. Ia pun tak kalah heran dengan sikap Danang yang tiba-tiba terdiam.

"Mbak ... Mbak ga salah, kan? ga lagi ngelindur, 'kan?" tanya Danang menatap dalam seolah menuntut jawaban jujur darinya.

Kali ini malah Indah yang bingung. Ada apa dengan adiknya? ngelindur?

"Ga, kok, Dek... Mbak ga ngelindur. Ini memang Mbak belikan khusus buat Kamu," ucap Indah.

Danang mendesah," kan Mbak dah nyediain sate tadi pagi. Sudah Danang makan tadi, Mbak. Sekarang masih kenyang," jawab Danang yang sontak membuat Indah terhenyak.

"Tadi pagi? bagaimana bisa? Mbak ...,"

"Ya, bisalah Mbak. Kan tadi malam Mbak nemenin Kami di rumah. Kalau bukan Mbak yang beliin sate, siapa lagi?"

Indah benar-benar tak dapat berkata apa-apa. Jelas-jelas Ia baru pulang pagi ini, tapi ... untuk apa Danang berbohong?

"Apa iya Mbak tadi malam nemenin kalian?" Indah mmemastikan. Danang mengangguk mantap.

"Bukannya tadi malam Kang Rahmat yang nemeni kalian?" selidik Indah yang di respon gelengan pelan dari adiknya.

"Waktu di usir tadi malam, Danang dan Mulyani cuma sendirian jalan ke rumah. Mbak yang manggil suruh cepat masuk,"

"Makasih, ya, Mbak. Mbak datang tepat waktu," ujar Danang dengan polosnya.

Batin Indah terasa bagai di tusuk sembilu mendengar penuturan adiknya itu.

Keanehan yang terjadi tertepis dengan rasa iba yang begitu dalam. Sesal karena meninggalkan adiknya dan menitipkan pada orang lain.

Benar kata orang, kita tak bisa percaya pada siapapun selain diri kita sendiri. Meski di depan baik, kita tak tau apa yang ada di hati.

Indah mendekat ke arah Danang dan membelai pucuk kepala adiknya dengan sayang.

"Maafin Kakak, ya? mulai sekarang Kakak ga akan tinggalin kalian lagi. Kakak janji. Nanti kita jemput Ibu sama-sama, ya?" Indah mengulas senyum getir dan mencium kening lebar Danang.

Bocah itu tersenyum tulus. Begitu polos hingga Indah tak mampu menahan tangisnya. Ia tak bisa membayangkan bagaimana bocah itu pulang ke rumah dengan keadaan suasana sekitar yang cukup menyeramkan.

"Kakak mau mandi dulu, ya. Danang jagain Adek dulu, ya?" ucap Indah seraya menyeka air matanya yang berderai.

"Iya, Mbak. Siap!"

Indah mengulas senyum sebelum beranjak dari sisi Danang. Ia lalu melangkah menuju dapur. Aroma busuk seketika menyeruak menusuk hidung.

Indah mengibas tangan di depan hidung dan pandangannya menyisir sekitar.

Pandangannya tertumpu pada piring kotor di atas meja yang berisi tusukan lidi bekas sate.

Dengan rasa penasaran, Indah mendekat dan ...

"Huekkk!"

Seketika Indah mual. Isi perutnya terasa ingin terlontar keluar saat itu juga, melihat piring yang ternyata berisi ratusan belatung sebesar nasi menggeliat menggerogoti sisa daging yang sudah berbau bangkai dan juga sisa bumbu sate yang basi.

'Apa sate ini yang di makan Danang barusan? tapi ... kenapa penuh belatung dan berbau bangkai?'

***

Di kediaman Abah Kyai Sulaiman, Sudiro dengan lahapnya menyantap singkong rebus hasil panen dari kebun belakang rumah Abah.

Setelah mengikuti semua pelajaran dari Abah, Sudiro mengaku hidupnya lebih tenang.

Ia pun kini sudah taat mengerjakan ibadah solat lima waktu tanpa bolong. Mengirim doa untuk almarhum Mulyono dan juga Suroso secara rutin, hingga gangguan dari dua makhluk itu tak pernah lagi terjadi.

Itu pula yang membuat mata hatinya terbuka. Selama Ia berada di rumah Abah, pikirannya tak pernah lepas dari gadis yang di sukai anaknya itu.

Indah memang anak yang baik, terlepas dari kemiskinan yang menjeratnya selama ini. Indah pun tak pernah sedikitpun membalas perlakuan buruk Sudiro yang selalu menyudutkannya.

Pria paruh baya itu menghela napas dalam. Membuat Abah langsung menatap dirinya heran.

"Ada apa, Pak?"

Sudiro menatapnya dalam. "Terima kasih, Bah. Berkat Abah, Saya bisa terlepas dari jeratan pocong dan makhluk gaib lainnya,"

"Saya pun bisa berpikir lebih jernih, hingga bisa memutuskan sesuatu yang baik nantinya,"

Senyum teduh Abah membuat Sudiro semakin tenang. "Kalau boleh tau, keputusan apa yang bisa membuat Pak Sudiro menjadi bahagia seperti ini, Pak?" tanyanya.

Sudiro langsung tersenyum lebar. " Saya akan merestui hubungan anak Saya dengan wanita pilihannya. Gadis baik itu akan Saya jadikan menantu secepatnya, tapi ...,"

Sudiro menghentikan ucapannya saat mendengar suara deru kendaraan di luar rumah.

Abah langsung beranjak dari duduknya dan gegas melangkah ke arah pintu.

Sudiro pun mengikuti langkah Abah dari belakang. Berharap yang datang Jodi, anaknya yang berjanji akan menjemputnya.

Benar saja, setelah pintu dibuka perlahan, Jodi muncul bersama istri Sudiro yang sudah beberapa hari tak bertemu suaminya.

Suka cita bertemu orang yang sangat Ia sayang. Pelukan hangat Ia layangkan saat wanita itu berhambur ke pelukannya.

"Pak ... Ibu kangen," desisnya. Sudiro mengecup kening itu lama. Tanda Ia pun merasakan hal yang sama.

Jodi yang melihat hanya mampu mengulas senyum haru. Ia bahagia melihat kedua orang tuanya yang melepas rindu. Menghayalkan jika itu adalah dirinya dan Indah, gadis yang Ia cinta.

Sudiro yang tak sengaja menatap ke arah Jodi lantas memanggil anaknya itu agar mendekat dan turut dalam romansa bahagia keluarga.

Setelah mengucap terima kasih dan memberikan amplop putih berisi uang, Sudiro melayangkan pelukan pada Abah. Abah pun menyambut dengan haru. Hari ini Sudiro sudah  diperbolehkan pulang dan kembali ke aktifitas seperti biasa.

Perpisahan itu terasa sangat mengharukan. Mereka pergi dengan hati senang dan bercampur kesedihan.

Di sepanjang perjalanan pulang, Sudiro tak pernah lepas berucap syukur.

"Jodi... bagaimana kabar Indah? apa Dia sudah kembali bekerja?"

Jodi terhenyak mendengar kata-kata yang dilontarkan bapaknya. Mungkinkah Ia sedang bermimpi?

Sama seperti Jodi, Istri Sudiro pun langsung melesatkan pandangan ke arah Sudiro.

"Pak?"

Sudiro yang masih mengulas senyum itu memandang balik ke arah istri dan anaknya secara bergantian. Seperti mengerti pikiran mereka.

"Ehm, ya, Bapak ngaku salah. Selama ini Bapak memperlakukan Indah secara berlebihan,"

"Bapak sekarang sadar, Indah itu anak yang baik, dan Bapak setuju jika Jodi ingin menjadikan Indah sebagai istri,"

Jodi membeliak, begitupun ibunya. Masih tak percaya dengan apa yang diucapkan bapaknya. Hal yang sepertinya tidak mungkin di lakukan Sudiro. Menerima Indah menjadi menantunya.

"Kenapa? masih tak percaya? kalau begitu ... bilang sama Indah kalau Kamu mau segera melamarnya," Sudiro menunjuk ke arah Jodi yang membuat pemuda itu tanpa sadar menginjak pedal rem, yang membuat mobil itu mendadak berhenti. Beruntung jalanan kampung itu sepi, hingga tak menyebabkan hal yang fatal. Hanya degup jantung yang berdetak lebih kencang karena mobil berhenti tiba-tiba.

"Astaga! Jodi! hati-hati!" pekik ibunya seraya mengelus dadanya yang bergemuruh kencang.

Jodi perlahan memutar badannya dan menatap lamat bapaknya. Matanya membola masih tak percaya.

"Be--benarkah, Pak?"

***

Dendam Arwah BapakTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang