Exorcism

5 1 0
                                    

Jam istirahat yang seharusnya menjadi pertemuan Juni dengan makanan lezat yang dijajakan para pedagang gerobak di luar gerbang sekolah, telah digagalkan oleh segerombolan orang yang tengah mengejar-ngejarnya untuk sebuah alasan.

KENCAN.

Hal itu membuat Juni harus bermain petak umpet hingga bel kembali berbunyi.

Sebelumnya Cassiana, adik tirinya menjanjikan untuk memperkenalkan Juni dengan beberapa gadis di sekolah. Berharap Juni dapat memacari salah satu dari mereka, agar Juni tidak berpacaran dengan Erika, musuh bebuyutan gadis preman itu.

Namun, suasana perkenalan untuk kencan yang dibuat Cassiana jauh dari apa yang pemuda periang itu harapkan.

Juni tak bisa melakukan apapun saat di sana selain merasa malu. Para gadis itu sangat cantik, namun entah mengapa matanya hanya bisa fokus pada bagian bawah, setelah leher, mereka. Yang membuatnya hampir saja mimisan.

Ia merasa gelisah di sana dan memilih untuk kabur saja.

Kakinya pun kini membawa ia ke area lapangan basket.

Ia melihat seniornya Rey di sana, dan juga teman sekelasnya Valencia. Mereka sedang berdiri berhadapan di tengah lapangan yang saat ini sedang kosong.

Juni merasa penasaran dengan apa yang mereka bicarakan, ia pun mencoba mendekat. Namun tiba-tiba seseorang memegangi bahunya, mencegah ia melangkah lebih jauh.

Ketika Juni ingin menengok dan berteriak di depan wajah sosok yang memeganginya, sosok itu sudah lebih dulu menaruh tangannya di mulut Juni dan jari di tangan yang lain berada dibibirnya. Mengisyaratkan agar Juni tetap diam.

"Kita simak dari jauh aja, bro," ujar sosok itu yang tak lain adalah Gagas. Sepertinya ia berniat untuk melatih kemampuannya bermain basket di sana, namun tak jadi karena keberadaan dua orang yang belum lama ini ia awasi.

Juni mengangguk setuju, mereka berdua pun merunduk dan mengendap-ngendap, menyusup di sekitar semak-semak untuk kembali memperhatikan dua sosok yang nampaknya tengah berada di situasi serius.

Terlihat kesedihan tergantung jelas di wajah Valen, entah apa yang menyebabkan ia menggunakan ekspresi itu.
Sedangkan Rey terlihat sendu dengan bahu yang terlihat lesu.

"How could you be so fine?
(Bagaimana bisa kamu baik-baik saja?)" ucap Valen, ekspresinya seakan ia baru saja dikhianati karena kekasihnya menemukan orang baru untuk dicintai.

"I can see it in your eyes. The same look that you gave me.
(Aku bisa melihatnya di matamu. Tatapan yang sama yang kamu berikan padaku)" lanjut Valen. Air mata mengiringi ucapannya.

Rey ingin berpaling pergi, namun Valen masih terus bicara.

"I don't even need to ask. I know you too damn well. I can see that smile and can tell that you did more than move on.
(Aku bahkan tidak perlu bertanya. Aku terlalu mengenalmu. Aku bisa melihat senyum itu dan tahu bahwa kamu melakukan lebih dari sekedar move on)," sambung Valen. Nada suaranya terasa berat dan suram.

"Delisa, haruskah aku ingatkan jika kamu sudah mati?" cetus Rey. Sejak tadi ia berpikir di kepalanya, haruskah ia mengatakan itu atau tidak. Meskipun ia tidak menginginkannya.

"Hari-hari cerah di antara kamu dan aku sudah berlalu. Sekarang kamu dan aku tidak bisa kembali menjadi kita," lanjutnya. Tidak bisa menahannya lagi dan membiarkan kalimat itu lepas dari kerongkongannya.

"I hate you!" pekik Valen dan membuat angin tiba-tiba berhembus kencang, hingga rambutnya nampak berkibar.
Kemarahan terlukiskan di wajahnya. Bola matanya pun kini bergulir ke belakang kepala, hingga hanya warna putih yang tersisa di rongga matanya.

Devil's Squad (School Version)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang