Orang Tua

4 1 0
                                    

Di bawah lampu jalan di depan rumah berwarna hijau, Juni tengah mengawasi seseorang dari retakan jendela.

Ia berniat seperti itu hingga malam berakhir, namun wanita paruh baya yang tengah diintipnya telah menyadari kehadiran Juni. Wanita itu pun segera keluar untuk menemui sosok asing yang berdiri di luar rumahnya.

Wanita itu kemudian menyapa, "cari siapa ya dek?"

Juni tak menjawab. Ia hanya diam dengan mata yang sudah berkaca-kaca.
"Ibu gak inget aku?" batinnya.

"Dek?" tegur wanita itu. Ia masih belum menyadari bahwa pemuda yang berada di hadapannya itu adalah putra kandungnya. Putra yang pernah ia telantarkan dan kini putranya itu sudah tumbuh besar tanpa bisa ia kenali.

"Saya mau kirim paket bu, hehe," ucap Juni sembari menyerahkan sebuah kotak coklat dari dalam tasnya.

"Tapi saya gak pesen---"

"Ini kiriman dari saudara ibu yang tinggal di Manado," terang Juni sembari berpura-pura membaca resi.

"Oh, iya terima kasih," ucap si ibu sembari menerima kotak itu.

"Kalau begitu saya pamit ya bu. Mau antar paket lain," ucap Juni berpamitan.

"Oh yaya, silahkan, silahkan. Aduh, adek ini rajin ya. Anter paket sampe malem gini," puji si ibu.

"Iya, namanya juga pekerjaan bu, hehe," sahut Juni.

"Mending cari pekerjaan lain dek. Sayang banget, kamu ganteng bisa cari pekerjaan yang lebih enak. Daripada jadi kurir, gajinya kecil terus sering dikomplain sama pelanggan," nasehati si ibu. Juni hanya membalas dengan senyum.

"Saya pergi ya bu," ujar Juni berpamitan lagi.

Juni lalu mengulurkan tangan, "salim," ucapnya, lalu mencium tangan si ibu.

"Baru kali ini saya nemu kurir sesopan kamu," puji si ibu lagi.

Juni terkekeh kecil, "hehe," setelah itu ia pun berlalu pergi. Menulusuri jalan yang sama seperti saat ia datang, sembari menatap langit hitam yang mendung tanpa bintang.

"Dunia itu dingin. Lebih dingin dari ketika aku tinggal di perutmu," gumamnya, sembari mengingat kembali betapa sedih dan perihnya senyum yang menghiasi wajah tua wanita yang ia temui tadi.

Dari luar Juni memang terlihat periang. Setiap hari selalu memasang senyum konyol. Selalu menunjukkan pribadi yang lugu, dungu dan b*doh. Namun, itu bukanlah karakter aslinya. Karena sebenarnya dia adalah pemuda melankolis yang membungkus dirinya dengan tawa, agar tak ada yang mentertawai sifat lemahnya.

Sepanjang jalan ia pun bernyanyi untuk mengusir sedih. Sebuah lagu parodi yang bisa membuat orang lain menenggelamkan diri agar tidak mendengarnya. Lagu tema untuk film Satria Batang Hitam.
"Sinar terang bijiku... Percaya diri!!
Tak kusangka hai engkau seorang Femb*y.
Perangilah keinginan ganti k*l*min
Bumi akan dikuasai kebingungan...
Bangunlah Ksatria, bangun sendiri
Tanpa bantuan~ tangan dan sabun mandi
Bangunlah Ksatria bangun sendiri...
Tanpa obat china atau nonton film semi di komputer pak guru~"

Juni lalu me-riwind nyanyiannya lagi. Kali ini ia sembari menari dengan gerakan Kuchipudi. Tarian yang ia pelajari dari serial film India.

"Sinar terang bijiku... Percaya diri!!
Tak kusangka hai engkau seorang Femb*y.
Perangilah keinginan ganti k*l*min.
Bumi akan dikuasai kebingungan.
Bangunlah Ksatria, bangun sendiri
Tanpa bantuan~ tangan dan sabun mandi
Bangunlah Ksatria bangun sendiri
Tanpa obat china atau nonton film semi di komputer pak guru~"

Ia pun seperti itu sampai ia tiba di rumahnya.

***

"Assalamualaikum. Anak ganteng udah pulang!" pekik Juni dari balik pagar.

"Wa'alaikumsalam," sahut ibunya dan segera membukakan.

"Mama~" ucap Juni sembari memeluk sang ibu.

"Uh pangeran mama darimana aja hum?" tanya si ibu, penuh kasih.

"Ke alun-alun cari pacar mah. Tapi di sana kebanyakan benc**g," ucap Juni, memasang wajah cemberut.

"Ya ampun, nak. Kalau kamu mau pacar, nanti mama cariin. Tipe kamu kaya apa?" tanya sang ibu sembari mengelus putranya itu.

"Um... yang kaya mama ada gak? Tapi yang seusia Juni," pintanya putranya menggoda.

"Kamu ini," si ibu tertawa mendengar permintaan itu. Ia lalu mengajak putranya itu untuk masuk ke dalam rumah.
"Masuk dulu yuk. Mama udah masakin rendang, sate telor puyuh, ayam tepung, sayur bayem, oseng sawi, takoyaki, bihun goreng, rawon, pecel, capcay, sama gulai," ujar si ibu sengaja memasak banyak makanan karena putranya sangat suka makan.

"Hari ini gak ada udang kecap pedas, mah?" tanya Juni sembari berjalan beriringan bersama sang ibu memasuki rumah.

"Gak ada sayang. Tadi udangnya kehabisan. Tapi mama udah pesen ke pedagangnya buat besok. Nanti mama masakin itu ya besok," ujar si ibu, sangat memanjakan Juni. Memberi cinta tanpa kekurangan, meski Juni bukanlah putra yang lahir dari rahimnya.
Juni pun membalas kasih sayang itu dengan menjadi anak yang berbakti. Ia bertekad untuk membahagiakan orang tuanya itu,
untuk membalasa jasa sang ibu yang sudah menyerahkan masa muda dan cantiknya hanya untuk menumbuhkan tunas seperti dia.

"Gapapa deh gak ada udang. Makasih ya mah," ucap Juni memampangkan senyum lebar.

Melihat keakraban Juni dengan ibunya, Cassi pun menjadi cemburu.
Dengan kesal ia pun mendorong Juni menjauh dari ibunya.

"Eh kampret!" seru Juni yang hampir memecahkan pajangan guci di sampingnya.

"Apa lo? Mau gue lempar upil dari sini lo!" seru Cassi sambil melotot.

"Lo kenapa sih belek? Gabut hah?" ucap Juni, emosi.

"Bodo," ucap Cassi ketus.

"Gak boleh gitu cantik. Kamu kalau lagi kesel jangan lampiasin ke abangmu," ujar si ayah yang sedang menonton televisi.

"Tapi abang ngeselin Yah," keluh Cassi.

"Gue ngeselin gimana?" tanya Juni.

"Lo... lo ngeselin aja!" seru Cassi dan pergi ke kamar.

"Gak jelas amat si Asih," gerutu Juni.

"Sudah, kamu makan dulu Juni. Habisin aja. Ayah udah kenyang," ucap sang ayah. Bibirnya menampakan senyum tapi dengan kerutan.
Bagi Juni beliau adalah pahlawan terbaik di dunia, yang memberi langit kehidupan dan tempat bersandar.
Membuat Juni selalu ingin berterima kasih kepada kedua orang tua kandungnya sendiri karena telah membuatnya berada di dunia dan bisa bertemu pahlawan nyata seperti pria bersarung dan berkaus oblong di depannya itu.

"Bener ya Yah. Juni abisin nih. Nanti tengah malem jangan cari-cari makanan sisa di kulkas yah," ancam Juni mencandai.

"Ya udah sisain ayah takoyaki aja. Nanti tengah malem ayah angetin sendiri," ujar si ayah. Takut jika ia tiba-tiba kelaparan di tengah malam lagi.

"Oke," sahut Juni dan segera ke meja makan untuk menghabiskan makanan.

"Saatnya mukbang..." ucapnya dengan penuh semangat.

Bersambung...

Devil's Squad (School Version)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang