Mainan

9 1 0
                                    

Energi hantu menyerang Bayu hingga ia tak bisa berdiri.
Rasa sakit terus menjalar ke tubuhnya.
Perasaan seperti perutnya di belah dan darah di tubuhnya dibiarkan mengalir keluar, kemudian tulang keringnya terasa sedang dipotong-potong dan dipisahkan dari tubuh utamanya.

Dalam keadaan sekarat seperti itu, sebuah bayangan mengerikan tiba-tiba muncul di kepala Bayu.
Tentang sosok korban yang entah apa kesalahannya harus berakhir begitu mengenaskan.
Kepala retak, bahu hancur, tubuh bersimbah darah dan membelalak tak dapat memejamkan mata.

Dalam tangga darurat yang hening itu, Bayu mengerang mencoba meminta tolong. Namun apa daya, suaranya tercekat, tak mungkin ada yang bisa mendengar.

Tapi secercah harapan Bayu dapatkan saat mendengar suara anak kecil yang sedang menyanyi. Suaranya menggema diiringi cekikikan imut nan lucu.

"Ithak... ithak... ding-ding-ding. Iam... iam meyayap... cacang ce-ekol namuk... hap! Yayu dimam-mam!"

Bayu berusaha menyeret tubuhnya mendekati pintu. Ia menggebraknya sekuat yang ia mampu, berharap anak kecil itu menghampiri.
Meski ia terpikir, mungkin anak itu akan takut dan pergi, tapi ia tetap berharap anak itu akan memanggil ibunya atau siapapun yang dapat membantu Bayu untuk sekedar berdiri.

Kriiiieeettt...

Pintu terbuka, menampaki dua sosok pemuda yang salah satunya sedang menggendong batita 12 bulan dalam dekapan. Sosok wanita paruh baya dengan setelan formal pun turut berada di sana, menatap Bayu dengan wajah terkejut dan kasihan.

"Akak... ithak, ithak meyayap," tunjuk si batita pada Bayu yang baginya terlihat merayap layaknya cicak.

***

Dalam diskusi serius yang menegangkan, William menyenggol pelan siku Valen setelah menyadari tokoh yang sedang dibicarakan sudah datang kembali, bersama 2 orang lain dan 1 bayi yang terlelap di atas pundaknya.

"Juni, kenapa lo bawa adik kelas? Terus Bu Agatha kemana?" tanya Feby, memperhatikan sosok junior yang sedang dipapah Juni.

"Kita nemu nih anak pas dia geletak di deket pintu darurat, ukhty. Gak tau ngapain dah. Ditanyain gak jawab daritadi. Kalo Bu Agatha lagi ngobrol sama wali kelasnya kelas 3 di lantai 2," tutur Juni seraya mendudukkan juniornya yang bernama Bayu itu di kursi.

"Mau pesen makan gak?" tawar Juni pada Bayu. Namun Bayu hanya diam saja, ia tak memiliki tenaga untuk sekedar mengangguk.

Valen mengangkat wajahnya menatap Bayu.
Ia menyadari ada aura kelam kesepian dan kesakitan mengitari juniornya itu.
"Lapor Polisi," ujarnya seraya mencengkram kain roknya erat.

"Hah?" William yang duduk di sebelahnya terheran tak memahami.

"Eh kalian dah selesai makan, kan? Berenang kuy! Gue tadi liat ada kolam renang. Keren beud, kolam renangnya in door. Kuy lah kuy!" ajak Juni bersemangat sembari menaik-turunkan alis.

"Lo bawa baju ganti emang?" tanya William.

"Lah, berenang pake boxer aja. Bajunya ntar pake lagi," ujar Juni.

"Ih jorok. Terus lo pulang gak pake pakaian dalem dong? Atau lo mau pulang pake daleman basah?" tanya Feby.

"Kan bisa berjemur dulu, nunggu boxer kering, ukhty. Atau ntar keringin boxer di toilet pake pengering tangan," jawab Juni.
"Kuy lah kuy! Gak sabar pengen berenang gue," ajaknya lagi.

"Banyak orang gak di sana?" tanya Feby.

"Nggak ukhty. Anak kelas 3 pada di atas nonton bioskop sama pada nongkrong di Club's. Kolam renangnya sepi. Kuy lah kuy!" Juni begitu tak sabar untuk berenang, layaknya ikan tangkapan yang baru punya ongkos untuk pulang ke kampung halaman.

"Bentar dulu Jun. Oe mau beli celana renang dulu. Gak mau oe ngikutin saran lo," ujar William seraya merogoh tas bahunya untuk mengambil dompet.

"Yodah, gue juga mau beli juga lah. Untung bawa duit," sahut Juni seraya menepuk tas pinggangnya.

"Anyway, ini adik kelas mau ditinggal?" tanya William melirik Bayu.

"Si Dante aja yang jagain. Dia lagian renangnya nunggu Agie bangun dulu," ujar Juni.
"Kuy lah kuy," ajaknya lagi begitu tak sabar.

"Ya udah." William pun bangkit dari duduknya.

"Val, mau ikut?" ajak Feby dan dibalas anggukan.

"Kak Rin?" ajak Feby basa-basi.

"Gue akan menyusul nanti," sahut Rin, masih merasa nyaman di kursi. Apa boleh buat, ia tak bisa pergi kemana-mana di saat sepatunya masih hilang sebelah.

***

Setelah semua orang pergi, Dante menyerahkan sepatu sneekers berwarna merah muda yang sejak tadi terbawa oleh adiknya pada Rin, dengan menaruhnya di atas meja.
"Jangan gunakan warna itu lagi," ujarnya.

"Kenapa?" tanya Rin mengangkat satu alis.

"Gue membencinya," jawab Dante datar. Ia masih berdiri sembari menimang adik bayinya.

"Bukannya lo pernah bilang lo suka warna itu? You ever said that," ujar Rin menekankan intonasi.

"Ya, benar. Gue memang menyukai warna itu. Tapi, hanya jika adik bayi gue yang memakainya," ungkap Dante tak terbantah.

"Aigoo. Lo terlihat begitu menyayangi bayi bau itu. Tapi kenyataannya mungkin not what it looks like," sindir Rin.

"Mean?" tanya Dante.

"Teman-teman lo baru saja bergosip tentang lo. And... salah satu teman perempuan tengik lo bilang kalau lo gak benar-benar menyayangi adik lo itu. Because... lo hanya menganggap adik lo itu sebagai hiburan," tutur Rin membuka mulut tanpa paksaan.

"Yeah, that's true," ujar Dante tak mengelak.

"Mwo?" Rin terkejut dengan respon Dante.

"Bagi gue, Agie adalah mainan. Mainan favorit gue. Dan gue gak akan biarkan mainan gue diusik oleh siapapun. Gue akan menjaga mainan ini bahkan dengan nyawa gue sendiri," ujar Dante tegas. Matanya berkilap merah, seakan memperingatkan agar Rin tak berani melakukan apapun pada adik bayinya itu.

"Daebak," ungkap Rin sembari tertawa garing.

Sedangkan Bayu hanya terdiam di kursi. Ia begitu tau diri bahwa dirinya sedang diabaikan dan kehadirannya dianggap tak ada.

Devil's Squad (School Version)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang