Memoriam

17 2 3
                                    

Sudah 1 tahun sejak insiden itu, Dante tak menyangka akan terduduk di tempat ini lagi. Di sebuah bangku usang di pinggir danau.

Namun tak ada gadis ceria berambut panjang yang menemaninya seperti di masa lalu. Hanya seorang bayi yang sedang duduk nyaman di pangkuannya yang justru menemaninya saat ini.

Dante kemudian mengambil kotak tua di sampingnya dan baru memutuskan untuk membukanya setelah berdiam diri cukup lama.
Kotak tua yang terkubur dalam tanah layaknya kapsul waktu itu baru saja ia gali atas petunjuk yang diberikan Bayu, adik kelas yang menyatakan dirinya bisa melihat hantu.

Perlahan Dante membuka kotak itu dan menemukan sepucuk surat. Di dalam sana ia pun menemukan ribuan foto dirinya yang terpotret menggunakan masker hitam yang selalu menjadi bagian dari penampilannya, bersama seorang gadis yang menggunakan masker berwarna sama.

"Akak... gimme... gimme..." celoteh Agie yang ingin bermain dengan kotak itu.

Dante pun memberikan kotak tersebut pada Agie dan membiarkan adiknya bermain dengan ribuan fotonya yang ada dalam kotak itu, sementara ia membaca sepucuk surat yang dilipat sangat rapih di dalam hati.

"Hun... apa kabar?

Apa Dante masih ingat panggilan itu?

Iya, ketika kita bersama, Mia panggil Dante dengan sapaan itu.

Mungkin bagi Dante udah bertahun-tahun tapi bagi Mia baru kemarin Mia panggil Dante dengan sebutan Hun.

Mmm... Mia sebenarnya gak ingin Dante baca surat ini, tapi jika Dante berhasil baca surat ini, itu artinya Mia sudah berada di tempat yang paling jauh.

Maaf Dante...
Mia benar-benar minta maaf.

Mia gak kasih tau kondisi Mia yang sebenarnya ke Dante.

Dokter memvonis Mia terkena HIV di usia Mia yang masih semuda ini.

Apa Dante marah?

Mia yakin Dante pasti marah setelah tau itu.

Tapi setidaknya Mia berusaha untuk jujur.

Yang harus Dante tau...

Mia gak berniat mengkhianati Dante dengan tidur bersama pria lain.

Mia tau Dante gak akan percaya, tapi Mia sama sekali gak kenal siapa pria itu.

Karena sebelum Mia bangun dan menyadari diri Mia yang gak mengenakan busana di dalam dekapan pria itu... hal terakhir yang Mia ingat adalah Mia hang out bareng Erika di sebuah Caffe.
Dan setelah Mia minum jus yang dipesan Erika, Mia gak bisa ingat apa-apa lagi.

Mia sangat tau... kalau Mia bilang itu ke Dante... Dante akan lebih marah lagi ke Mia.

Karena Mia kelihatan menuduh Erika tanpa bukti.

Tapi itulah adanya, Mia gak selipkan kebohongan sama sekali.

Dante...

Mia takut sekaligus malu.

Pada Dante dan karena penyakit Mia.

Mia gak bisa berusaha hidup lagi.

Hidup Mia sudah hancur karena penyakit ini.

Mia gak mau menderita lagi.

Karena itu... Mia memutuskan untuk menjadikan tempat ini pemakaman Mia.

Danau yang menjadi tempat kita berdua menghabiskan waktu bersama.
Semua kenangan itu akan Mia kubur bersama diri Mia.

Sekali lagi maaf Dante.

Mia harap Dante menemukan perempuan lain yang bisa Dante cintai.

Dan tolong... jaga dia, lindungi dia, jangan sampai berakhir seperti Mia.

Bye Dante, Bye Hun.

Dari Mia. Si j*l*ng yang layak untuk dikutuk."

Dante meremas surat yang dipegangnya.
Ia merasa dadanya terasa sesak dan membuat ia kesulitan bernafas.

Ia tak terlalu mengerti apa yang terjadi padanya, bahkan gelap sekalipun tak bisa menggambarkan perasaannya saat ini.

"Akak... akak..." celoteh Agie seraya berusaha meraih wajah kakaknya untuk menyeka air mata yang telah membasahi wajah tampan kakaknya itu.

Dante meraih tangan mungil Agie, ia lalu menatap lekat adik kecilnya itu dan memaksakan senyum agar adiknya tak ikut menangis.

"Agie... apa kakak boleh curhat padamu?"

"Umph! Umph! Umph!" jawab Agie, terlihat bersedia menjadi pendengar.

Dante memberi seulas senyum karena antusiasme adiknya.
"Sebelum kamu lahir, kakak memiliki seorang pacar," ungkapnya.

"Cacacal?" sahut Agie.

"Dia ceria, percaya diri, tulus meski memiliki hasrat yang tinggi," lanjut Dante.

"Umph?" Agie membulatkan matanya tak mengerti.

"Namanya Mia. Dia perempuan yang tidak munafik dan jujur pada diri sendiri. Dia menjadi diri sendiri sekalipun dunia mencemo'ohnya," sambung Dante.

"Mi-Mi-Mi-Mi? Mam-mi?" tanya Agie.

"No mommy. Mia," jelas Dante.

"Uh-oh," sahut Agie, tampak menunjukkan satu giginya yang baru tumbuh.

"Kakak sangat menyayangi perempuan itu. Tapi dia sudah pergi. Pergi mendatangi Tuhan seorang diri.
Terbang melayang... mengikuti pergerakan air," ujar Dante seraya menatap pemandangan Danau di hadapannya.

"I-kan... i-kan... i-kan guame," celoteh Agie.

Dante sedikit tergelitik mendengar ocehan Agie tadi.
Ia sedikit tertawa meski air mata masih membasahi wajahnya.

Dante kemudian menghela nafas dan mendongak menatap langit.
"Hmm... Agie, apa kamu akan benci kakak jika kakak membunuh seseorang?" tanyanya.

Agie bersungut-sungut dengan mengerucutkan bibir merah mudanya.
"Unuh pha! Akak Ika?" tanyanya terlihat kesal seraya memegang erat jas sekolah yang dikenakan kakaknya.

"Bukan, bukan kakak Erika yang kakak bunuh. Tapi pria yang---" Dante tiba-tiba terdiam.

Ia lalu menatap seksama adik bayinya itu.
"Kenapa kamu bisa mengira kakak akan membunuh Erika?"

Bersambung...

Devil's Squad (School Version)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang