Perjumpaan

4 1 0
                                    

Biasanya hanya di hari minggu Juni pergi kemari. Ke pemakaman tua di samping pohon kecil dengan bunga berwarna putih.

Setelah menaruh beberapa permen cokelat dan menempelkan stiker dengan karakter pokemon lucu di batu nisan, Juni berdiri dalam diam, berpikir.

Ia selalu ingin menanyakan ini, "apakah ada yang namanya berakhir tanpa awal?"
Namun, keberaniannya tak cukup siap untuk mendengar jawabannya.

Dan selangkah demi selangkah Juni pun pergi tanpa berhasil mengatakan satu patah kata apapun.

Juni yang selalu menyukai langit senja, sekarang hanya bisa menunduk menatap tanah, larut dalam lamunan. Membayangkan gadis itu sedang berada di sisinya, tersenyum dan mendengar ceritanya seperti hari-hari lalu.
Baginya itu saja sudah cukup.
Meski gadis itu akan membuat dia kembali menangis pada akhirnya. Karena Juni tau, gadis itu tidak akan mencintai Juni seperti Juni mencintainya.

Langkah Juni lalu terhenti saat melihat gumpalan putih di depannya. Juni merasa janggal, namun ia ragu untuk memeriksa.

Gumpalan putih itu lalu memanjang seperti seseorang yang sedang meregangkan tubuh.
Juni yang kaget spontan melangkah mundur.

Sesuatu berwarna putih itu lalu membalikkan dirinya dan menampakkan wajah yang pucat dengan tatapan dingin. Terlihat tangan sosok tersebut berusaha keluar dari ikatan kain yang membalutnya, menampakkan kulit tangan yang membusuk dan kuku jari hitam yang runcing.

"Astagfirullah, Astagfirullah, Astagfirullah!"
Juni takut, ia ingin kabur. Tapi satu-satunya jalan pulang untuknya telah dihalangi makhluk mengerikan itu.

Juni lalu menarik napas, mencoba menenangkan diri.
Kemudian ia berancang-ancang, lalu berlari sekuat tenaga dengan memejamkan mata dan melangkahi sosok hantu yang ia kenali sebagai pocong itu, agar ia bisa mencapai motor miliknya yang terparkir tak jauh dari sana.

Tak disangka ia pun berhasil melompati hantu pocong itu.

Namun, beberapa langkah kemudian Juni terjatuh karena pergelangan kakinya telah ditarik oleh sesuatu, hingga wajahnya pun menghantam tanah.

Juni lalu mencoba bangkit, namun nihil. Ia lalu berteriak sejadi-jadinya, "aaaaaaaaaaa... ampun aku masih kecil... aaaaaaaaaaaa... lepasin, lepasin, lepasin! Aku gak sudi masssss!"
Namun sahutan yang ia terima hanya suara lengkingan tawa wanita yang mengkikik di tepi telinga kirinya. "Khihihihihi..."

Juni lalu menoleh ke belakang dan mendapati sosok kuntilanak dengan wajah busuk penuh darah sedang menimpa punggungnya.

Seketika itu... kesadaran Juni pun menghilang.

***

Juni terbangun di kamarnya dengan rasa sakit di seluruh badan.
Ia lalu turun dari ranjang dan menyadari ada bekas jejak kaki berwarna merah di lantai. Ia pun melihat ada noda lumpur kering di pergelangan kakinya yang membentuk cap tangan.

Juni bingung, kemudian mengamati sekeliling.

Ini bukanlah kamarnya.

Juni tak tau ia sedang berada dimana. Tapi... meski ranjang yang ia tiduri nampak sama dengan miliknya, namun bantalnya berbeda. Sarung bantalnya tidak berpola kembang-kembang seperti yang biasa ia gunakan.
Dan dinding kamar palsunya itu nampak rapuh, seperti terbuat dari tanah basah dan langit-langit atapnya hanya berupa kayu yang berjajar dengan sedikit celah.

Juni lalu mendengar suara yang memanggilnya. Suara lembut yang familiar itu terus memanggil-manggil. "Kak Jun!
Kak Jun!
Kak Jun!
Kak Jun!"

Dalam ketakutan, Juni menoleh kesana-kemari untuk mencari asal suara itu.

Sebuah retakan tiba-tiba saja muncul dari atap kayu di atasnya. Juni pun mendongak memperhatikan. Retakan itu pun membesar dan merubuhkan kayu-kayu tersebut menjadi kepingan, lalu memperlihatkan sesosok gadis kecil yang sepertinya sejak tadi menggali untuk membukakan jalan keluar.

Pada detik itu, suasana hati Juni berubah seutuhnya.
Ia yang awalnya ketakutan berubah menjadi senang tiada tara. Air mata jatuh ke pipinya, bersamaan dengan terbitnya senyum yang merekah lebar di wajahnya.

Juni yang selalu berharap suatu hari nanti akan bertemu Gi, gadis mungil yang ia cintai, dan saat inilah hari itu tiba. Membuatnya bahagia tanpa pura-pura.

Gadis itu lalu mengulurkan tangan untuk membantu Juni keluar. Juni pun menyambutnya dan sekuat tenaga memanjat keluar.

"Huh~ kakak berat ya," ucap gadis itu, mendudukkan diri di atas rerumputan.

"Ini mimpi ya?" gumam Juni, tak berhenti menatap gadis lucu di hadapannya.

Gadis itu menggeleng. "Kakak lagi mati suri."

"Heeeeeeeeh... mati suri gimana?" tanya Juni, melebarkan mata terkejut.

"Kakak kayanya keracunan makanan deh, makanya pingsan depan makamku."

"Ah, masa kakak keracunan makanan?" Juni mengernyit tak percaya.

"Emang kakak habis makan apa sih?" tanya gadis itu.

"Kakak makan risoles, terus makan indumie doang," jawab Juni.

"Mungkin diantara itu yang bikin kakak keracunan," duga gadis itu.

"Gak mungkin ah. Kakak udah sering makan risoles yang di jual di depan sekolah kakak, tapi kakak gapapa," elak Juni. "Kalo indumie..."

"Umh?"

"Apa gara-gara hasil nyolong jadi gak berkah yah? Atau Dante taburin racun tikus ke mie-nya?" pikir Juni.

"Mungkin mie-nya udah kadaluarsa. Kakak gak liat tanggalnya?" tanya gadis itu.

"Gak sih."

Gadis itu lalu bangkit berdiri. "Udah waktunya kakak pulang. Oh yah, makasih permen coklatnya. Rasanya enak. Terus kakak jangan sering-sering nyanyi depan makamku ya. Nanti kakak kena tilang sama denda loh sama penjaga makam."

"Gi..." ucap Juni dengan suara lemah. "Kakak... kakak gak mau pulang... kakak masih kangen kamu," rengeknya.

"Kakak emangnya gak takut lama-lama di sini? Di sini banyak pocong loh," ujar gadis itu, mencoba menakut-nakuti.

"Kakak gak akan takut selagi ada kamu," sahut Juni, yakin.

"Tapi kakak belum waktunya di sini. Orang tua kakak butuhin kakak. Adik-adik kakak juga butuhin kakak. Temen-temen kakak juga, terutama kak Va----"

"Bodo amat! Kakak betah di sini sama kamu!" seru Juni, bersikeras. Meski ia harus terjebak di tempat itu selamanya, ia merasa tak apa, ia bisa bahagia.
Ia bisa bahagia dengan hanya melihat gadis menggemaskan itu selamanya.

"Kakak yakin? Bentar lagi Idul Adha, kakak gak mau ngantri pembagian daging?" Gadis itu berusaha membujuk.

"T-tapi, tapi..." Juni mulai menangis sesenggukan seperti anak kecil.

"Ya udah, kakak boleh di sini sebentar lagi. Yuk jalan-jalan liat kunang-kunang, abis itu kakak pulang ya," ajak gadis itu, menawarkan tangan. Juni tanpa ragu pun menyambutnya. Mereka berdua lalu berjalan beriringan ke arah bulan purnama bersinar.

Bersambung...

Devil's Squad (School Version)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang