Makhluk Perbatasan

5 1 0
                                    

"Kematian bukanlah mimpi."

***

Knop pintu yang terkunci terdengar sedang diputar paksa.
Naluri William pun menyala. Ia lalu bangkit dan bersiaga, meminta Nara untuk tetap berada di belakangnya.

Dengan berjuta pikiran dan bayangan yang memenuhi kepala, William menatap ke arah pintu, memfokuskan dirinya dan mengumpulkan keberanian untuk melawan apapun yang akan muncul dari sana.

"Halo? Ada orang di dalam? Aku butuh tempat bernaung," ucap suara dari balik pintu itu. Terdengar  samar dan hampir dalam bisikan.

Karena tak ada yang menjawab, sosok yang berada di balik pintu itu mulai memukul-mukul pintu dengan keras. "Aku tau kalian di dalam. Bisa buka pintunya? Aku ketakutan di luar sini sendirian." Suaranya terdengar jelas sekarang, namun sangat aneh. Lebih terdengar dingin dan tanpa emosi.

Pikiran William berputar-putar, ingin tau siapa yang ada di luar pintu itu. Apa sebaiknya dibiarkan masuk?

Namun saat William akan menghampiri pintu tersebut, wajah anak-anak pembawa bunga hitam yang tadinya hampa seketika berubah menjadi berekspresi terkejut. Mereka pun serentak berlari menghampiri William dan langsung memeluknya, mencegah agar William tak membukakan pintu itu.

William nampak bingung. Ia tak tau harus berbuat apa. Sementara ketukan di pintu itu semakin kuat dan cepat. Siapapun yang berada di luar pintu itu sepertinya mulai habis kesabaran dan akan segera mendobrak masuk.

Nara tiba-tiba menarik ujung kaus William, terlihat tangannya yang lain sedang menunjuk ke arah jendela.

William memahami maksud Nara. Mereka kemudian menghampiri jendela.
Di luar, bunyi gerimis dan serangga beradu beriringan, seakan melantunkan harmoni kematian.
Bergegas William membantu Nara untuk lebih dulu keluar melalui jendela. Dan saat tiba gilirannya, William yang baru saja akan melewati ambang jendela, terhentak kaget karena pintu kelabu di ruangan itu sudah terbanting ke dalam. Menampakan sosok wajah yang seluruhnya berwarna merah, dengan bola mata hitam pekat dan senyum lebar yang tak manusiawi mengukir di bibirnya yang tebal.

"Kak Iam!" seru Nara, membuat William tersadar kembali dan segera melompat keluar.

Dengan napas memburu, William pun menggandeng Nara untuk berlari bersama.
Anak-anak pembawa bunga hitam pun turut berlari bersama mereka, meski beberapa telah tertangkap oleh makhluk itu, menyisakan jeritan menyedihkan yang membuat pilu dan menyesakkan bagi siapapun yang mendengar.

***

Bulan nampak mengintip dari balik segumpal awan yang menggantung rendah di langit.
Nampak hujan pun masih mendera diantara dedaunan yang tumbuh di lantai hutan.

Setiap langkah yang William dan Nara ambil rupanya telah membawa mereka pada tujuh jasad mati yang tergeletak begitu saja dengan keadaan membiru tanpa adanya bekas luka. Pakaian yang mereka kenakan nampak kotor, tercabik dimakan waktu dan cuaca.

William menatap tubuh-tubuh itu, ia kemudian menyadari bahwa beberapa dari jasad itu adalah orang-orang yang telah dikabarkan hilang selama berminggu-minggu dalam berita yang pernah ia lihat di TV.
Yang diduga mereka semua telah menjadi korban sekte sesat pemuja setan atau semacamnya.

Seorang anak pembawa bunga tiba-tiba membungkukkan badan di hadapan salah satu jasad yang terbujur kaku dengan posisi tengkurap.
Rambutnya berwarna hijau-abu dan tangannya sedang menggenggam sesuatu.

Sebuah pita berwarna pink.

William mengulurkan tangan ke tanah dan mengambil pita itu. Menulusuri tekstur dan detailnya dengan seksama.

Firasat William menjadi tak enak. Ia lalu menatap Nara dan ingin bertanya. Namun, ia mengurungkan.
William lalu menggandeng tangan Nara lagi dan melanjutkan perjalanan bersama anak-anak pembawa bunga hitam yang tersisa.  Menerobos kabut samar, tak peduli apapun yang sudah menunggu mereka di depan sana.

Ketika kabut perlahan menghilang, William baru menyadari, sudah tak ada pepohonan lagi di sekeliling mereka. Hanya ada hamparan padang rumput gelap yang terbentang luas.

Tampak seorang pemuda dengan kostum aneh berdiri di ujung sana.

Wajahnya begitu sempurna berpendar dalam cahaya bulan yang seakan menyorotnya dan tirai tipis hujan membuatnya seakan berkilau menerangi sekelilingnya.

Ia yang menyadari kehadiran William, Nara dan anak-anak pembawa bunga hitam pun tersenyum ramah, kemudian menyapa. "Hai." Meski hanya satu kata saja, suaranya sudah terdengar teduh dan dalam.

Namun William tak menyahut sapaan itu. Ia hanya diam dengan tatapan menyelidiki.
Ia lalu menyadari sesuatu. Bayangan panjang yang berada di bawah sosok pemuda di hadapannya itu nampak tak biasa. Bentuk bayangannya seperti seorang wanita dengan tanduk kambing dan matanya menyala.

William dengan takut memundurkan langkah perlahan sembari mengeratkan gandengan tangan pada Nara.

"Tak perlu takut. Namaku Belden. Aku kemari untuk menolong," ucap pemuda itu seakan bisa membaca pikiran William.

William bertukar pandang menatap Nara. Gadis mungil itu mengangguk, seakan menyatakan sosok di hadapan mereka sama sekali tak berbahaya. William lalu memindahkan pandangan ke depan menatap Belden yang saat ini sedang menghunuskan pedangnya ke arah bayangan di bawahnya itu.

Suara teriakan tiba-tiba terdengar menggema, bayangan mengerikan itu menjerit dan melontarkan kutukan dengan bahasa yang aneh dan asing di dengar.

Belden lalu mengayunkan pedangnya lagi, menebas bayangan hitam itu, hingga tubuhnya terputus menjadi dua bagian.

Bayangan iblis itu pun seketika lenyap tak tersisa.

Setelah itu langit malam yang mendung mendadak berubah cerah, hujan berhenti turun, digantikan keheningan menenangkan menggantung di udara.

Belden lalu menyarungkan kembali pedangnya di pinggang. Kemudian menatap William dan Nara bergantian.

Tepat saat William akan melangkah pergi, Belden membuka mulut dan bertanya. "Kamu sedang mencari temanmu, William?"

"Hah?" William mengerutkan kening. "Hold up, darimana lo tau nama..." kata-katanya menggantung.

Belden tertawa pelan sembari menggelengkan kepala. Deru lembut hujan pun seketika kembali menyapu sekitar. "Kamu sendiri yang memberitahuku 15 menit yang lalu."

"15 menit? Perasaan belum ada 5 menit kita di sini," ucap William bertambah bingung.

"Ayo, cari temanmu. Dia harus bertemu adik lamanya," ajak Belden dan berjalan lebih dulu untuk memandu.

"Tapi... lo siapa?" tanya William, ekspresinya masih menampakkan keraguan.

Belden menghentikan langkah, lalu menoleh. "Percuma untuk menjelaskan siapa aku. Karena kamu tidak akan percaya," ucapnya dengan senyum.

"Tapi..."

"Ayo," ajak Belden lagi. "Jika dia dibiarkan, kehidupan manusia di bumi tidak akan lagi sama."

William masih ragu. Ia lalu menatap Nara untuk membuat keputusan, akan ikut bersama pemuda asing itu atau tidak.
Tapi Nara hanya diam dengan tatapan penuh arti. Gadis mungil itu sepertinya juga merindukan Dante, salah satu kakak-kakak'an-nya, yang jujur saja, hampir tak ada harapan untuknya.

Bersambung...

Devil's Squad (School Version)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang