Mengungkap (1)

6 1 0
                                    

"Kamu bersamaku sebentar, aku bersamamu selamanya."

***

William bertanya apakah Valen bercanda dengan apa yang baru ia ungkapkan kepadanya.

Namun, gadis cenayang itu mengatakan bahwa dia tidak bercanda.

"Lo adalah cinta pertamanya. Lo yang mengajari Nara cinta, Will." Seperti itulah katanya.

Mendengar itu William tak mampu berpikir. Ia hanya berdiri terdiam dengan helm yang ia pegang.

"Lo ingin kesempatan buat lihat dia? Dan dia lihat lo?" tawar Valen.

"Jelasin..." ucap William dengan suara parau.
"Jelasin semua yang lo tau," pintanya.

Valen lalu menawarkan tangannya. William dengan sedikit ragu pun menyambutnya.

Valen kemudian meminta William untuk menutup mata, dan tak lama kemudian William diminta untuk kembali membuka matanya.

"Ini dimana?" tanya William yang menyadari bahwa mereka berdua sudah berpindah ke tempat lain. Tempat yang ia rasa belum pernah ia kunjungi namun nampak begitu familiar.

"Kamar lo," jawab Valen.

"Hah? Hold up... kamar oe gak gini. Di sini gak kaya kamar oe," ujar William bingung. Karena tempat yang saat ini mereka kunjungi lebih mirip seperti kamar asrama sederhana, tanpa nuansa anime sama sekali.

"Dulu ini kamar lo. Biara udah jadi tempat tinggal lo waktu itu," terang Valen.

"Oe gagal paham sumpah," ucap William yang semakin bingung.

"Gue akan jelasin pelan-pelan sambil mengamati," ujar Valen dan mendudukkan diri di sebuah kursi kayu di samping ranjang.

Tiba-tiba seseorang pun datang melalui pintu dan membuat William membeku dengan wajah terperangah.

"Apa-apaan..." gumam William hampir menjatuhkan helm yang dibawanya. Ia begitu shock karena melihat sosok dirinya sendiri yang sedang memakai kemeja collar khas pendeta pria, berjalan melewatinya.

"Lo pernah bilang, kalo lo gak bisa menikah dengan Nara kelak, lo gak akan pernah menikah. Jadi, itu lah yang terjadi pada lo. Lo memilih perjaka seumur hidup dengan menjadi seorang Pastor," terang Valen.

"Saat itu... kapan?" tanya William semakin bingung.

"Saat sebelum Gagas mengubah masa lalu," ucap Valen, semakin misterius.

"Hah?" William hanya bisa mengatakan itu.

"Dia punya kemampuan itu Will. Gagas bagai mesin waktu yang bisa melintasi masa lalu dan mengubah apa yang ingin dia ubah," terang Valen seraya memasukan permen karet ke dalam mulut.

"Ubah apa? Kenapa dia ubah? Apa alasannya? Apa tujuannya?" cecar William tak sabar.

Valen tak langsung menjawab. Ia memberi isyarat dengan matanya untuk mengamati sosok William yang lain, yang sedang mengenakan pakaian pastor.

Jika dilihat-lihat William yang itu sangat berbeda. Ia nampak lebih kurus seakan menderita.

"Kapan akan membaik?" gumamnya seraya menatap botol obat sakit kepala yang digenggamnya.
"Kapan mentari terbit lagi?" gumamnya lagi dan kemudian ia menegak habis seluruh pil yang ada dalam botol itu tanpa meminum air.

Ia lalu membaringkan tubuhnya di ranjang dengan kaki yang menggantung di pinggir.

Ia pun mulai sekarat dengan sangat menyakitkan.

Tangannya memegang erat bantal, lehernya tercekik, napasnya tersumbat, darah mengalir keluar dari mulutnya.

Namun... ia masih sanggup membuat sedikit senyum.

Karena, pada akhirnya, sakit kepala yang terus ia alami sudah tak terasa sakit lagi.

"Val..." ucap William dengan napas tersenggal dan gemetar. "Apa... a-apa oe barusan bunuh diri?" tanyanya dengan terbata.

"Nara satu-satunya obat lo Will. Dan... menurut gue bukan cuma obat untuk lo," ujar Valen seraya bangkit berdiri. Ia lalu mengambil selimut dan menutupi wajah William yang sudah tak bergerak di atas ranjang dengan itu.

"Bukan cuma... maksud lo apa? Oe beneran gagal paham," ucap William dengan mata memerah dan wajah yang sudah pucat.

"Lo mungkin mengira kalo lo, Jun dan Dante gak pernah berebut apapun selama kalian menjadi sahabat," ujar Valen seraya membuat gelembung permen karet.

"Seingat oe emang gak pernah," sangkal William.

"Iya, seinget lo. Karena Gagas ambil ingatan itu. Ingatan kalo kalian bertiga pernah merebutkan dan mencintai gadis yang sama," ungkap Valen, memasang wajah iri.
Ia lalu mengambil sebuah buku, semacam diary, yang berada di atas meja dan memberikannya pada William untuk dibaca.

"Tapi, Dante mengalah lebih dulu. Karena, rasa cinta dia bukan n4fsu terhadap lawan jenis. Melainkan rasa cinta seperti dia menyayangi adiknya," sambung Valen.

"Adik?"

"Lo tau sendiri kan, Dante sejak dulu ingin punya adik perempuan? Tapi, ibunya justru melahirkan saingan.
Karena itu Dante jadi hilang kendali dan sulit kontrol emosi," ucap Valen

"Bukannya dia udah punya adik perempuan? Erika sama Agie," ujar William mengernyit.

"Maksud gue, sebelum ada Agie dan sebelum Denta--- maksud gue Erika kembali jadi adiknya," terang Valen.

"Oh, iya sih. Sebelum Agie lahir dan waktu Erika sempet dibawa lagi sama ibu kandungnya, Dante jadi sering berurusan sama Polisi," sahut William.
"Mhm... wait, wait... lo tadi keceplosan bilang Denta. Siapa Denta? Siapa yang lo maksud?"

"Mulut gue typo tadi," elak Valen.

"Gak mungkin." William memicingkan mata. Ia tak mudah ditipu.

Bersambung...

Devil's Squad (School Version)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang