Persahabatan

4 1 0
                                    

Kira-kira satu tahun yang lalu di gedung tua bernama Dimòniu Neru atau dalam bahasa berarti Iblis Hitam. Dimana orang-orang menghilang begitu saja ketika melangkah memasuki halamannya. Dengan begitu misterius.

Entah bagaimana Juni bisa sampai kesana. Ke dalam gedung terkutuk itu.
Ia kini sedang bertatapan langsung dengan sosok tinggi berbalut jaket hitam, dengan masker wajah yang juga hitam yang menutupi sebagian wajahnya. Salah satu tangannya menggenggam sebuah kapak yang terus meneteskan noda darah ke bawah lantai.

"Dan..." ucap Juni, seakan menuntut penjelasan. "Lo... kenapa lo..." Rasa takut dan bingung bercampur menjadi satu di kepalanya.

Dante lalu bergerak dengan perlahan, melangkah ke tempat yang lebih terang, kemudian menanggalkan maskernya.

"Terlalu sakit," ucapnya terdengar sedih namun juga dingin dan berbahaya. "Gue ingin membawa adik gue kembali dan ini satu-satunya cara." Kedua mata hitamnya kini nampak berkaca-kaca.

Juni yang menyadari apa yang sudah Dante lakukan, spontan meninju kaca jendela di sampingnya dengan kedua tangan bergantian dan berteriak, menangis dengan perpaduan rasa sakit dan kemarahan yang memilukan.

"Gue jadi teringat saat kita kanak-kanak," ucap Dante, ekspresinya nampak lain, terkesan lebih dingin dan angkuh. "Lo yang gak pernah menangis meski mainan lo direbut... tapi menangis seperti ini bertahun-tahun lalu. Ketika berlari ke rumah William, karena ayah lo menghajar. Saat itu... gue yang juga ada di sana... pertama kalinya, gue tau lo bisa menangis."

"Kalo lo manusia, harusnya lo paham," isak Juni, kemudian jatuh berlutut di hadapan sahabat karibnya itu. "Sebenci apapun gue sama dia, tapi dia tetep keluarga gue."

"Menurut lo apa yang lebih sepi daripada menertawakan nasib, Jun?" tanya Dante. Matanya kemudian beralih pada sosok jasad pria yang terkapar bersimbah darah di pojok ruangan. Perlahan ia melangkah mendekati jasad itu.

"Silahkan kutuk gue atau laporkan gue pada Polisi. Karena telah membunuh ayah lo," tantang Dante. Ia kemudian menyeret jasad korbannya, berniat membawa pergi dengan menarik rambutnya. "Tapi... lo harusnya mengerti kenapa gue lakukan ini." Ada nada pembelaan dari kalimatnya. "Yang lebih pantas mati seharusnya memang mati. Menggantikan seseorang yang pantas kembali hidup."

Dan sebelum ia benar-benar pergi, ia kembali memandang Juni, lalu berucap lagi. "Gue bertanya-tanya, kenapa masih ada rasa simpati dalam diri lo untuk ayah yang membuang lo?"

"Tolong gue..." pinta Juni tiba-tiba, dengan air mata yang sudah turun sederas hujan. Membuat Dante terdiam, hampir tak jadi pergi, menatap Juni dengan ekspresi penuh tanda tanya.

"Tolong gue, Dan..." pinta Juni lagi, menengadahkan kepala dan menatap Dante putus asa. "Orang-orang yang ilang setiap hari. Di luar kemauan mereka sendiri. Entah diculik atau dibunuh... itu ulah lo, kan?" tanyanya sembari mengepalkan tangan yang berlumur darahnya sendiri.

"Ya," ucap Dante mengakui. "Lo sepertinya ahli dalam memecahkan misteri. Lo cocok menjadi Detektif," pujinya.
"Ah, harusnya gue bertepuk tangan, tapi sayang... tangan gue penuh. Selamat tinggal," ujarnya berpamitan.

"Asal lo tau, gue dateng ke sini bukan buat cari tau atau nangkap siapa pelaku yang bikin orang-orang ilang. Gue bukan dateng buat nangkap lo atau laporin lo ke Polisi," ucap Juni menekankan.

"Lalu?" tanya Dante masih memunggungi dan hanya menoleh sekedarnya.

"Gue butuh bantuan lo Dan! Gue... gue gak sanggup hidup! Gue... tolong gue..." pinta Juni memohon dengan isakan keras.

Dante membalikkan tubuh setelah melepaskan pegangan dari jasad korbannya, kemudian menghampiri Juni, menarik kerah kausnya agar membuatnya berdiri.

"Ini pertama kalinya," ucap Dante hampir tergelak. "Orang-orang yang gue temui di sini, selalu dan tanpa henti memohon untuk hidup mereka," lanjutnya menahan tawa. "Tapi lo kebalikannya? Lo memohon untuk dibunuh?" tanyanya heran.

Devil's Squad (School Version)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang