Malam Mus Xyus

4 1 0
                                    

Juni tiba-tiba mengirim pesan pada Dante, bahwa ia tak jadi menginginkan tawaran Dante, berapapun mie instan yang akan Dante berikan padanya. Juni pun memutuskan untuk pulang saja. Bukan karena kesal sebab telah menunggu terlalu lama, tapi ada satu hal di dalam hati sanubarinya yang memaksa untuk segera pulang dan bergegas berlindung di dalam sarung bapaknya.

Dante pun tak mempersalahkan, ia bahkan mengatakan dengan jujur bahwa mie instan yang ia tawari sebenarnya berisi racun. Meski tidak terlalu berbahaya tapi bisa sedikit mengancam kesehatan.

Tanpa diduga, Juni berkata bahwa ia sudah tau. Karena ia pernah mencicipi salah satunya, ketika ia dan Daniel mengambilnya tanpa sepengetahuan Dante.

Dante kemudian bertanya, mengapa jika sudah tau, tapi masih menginginkannya?

Dan jawaban Juni membuat Dante ingin mencoba memakan mie instan beracunnya itu sendiri.

***

"Akak, kuki... kuki... kuki!" celoteh Agie, meminta cookie. Itu caranya menyambut kakaknya yang baru saja pulang.

"No," larang Dante. "Terlalu banyak makan itu, nanti gigimu sakit."

Wajah Agie pun berubah cemberut. Ia lalu menggerutu dengan bahasa bayi sembari menghampiri kembali balok-balok mainan yang masih berserakan di lantai.

Dante yang melihat adik lucunya sedang merakit sebuah monumen pun tersenyum. Insinyur berusia 13 bulan itu sepertinya sedang merancang sebuah menara yang akan menyaingi Menara Pisa.

Saat menaruh ranselnya dan ingin ikut bermain, sang ibu tiba-tiba memanggil. Ia meminta bantuan Dante untuk mengganti pakaian adiknya dengan piyama.

Langsung saja Dante menggendong Agie ke dalam kamar bayinya.

Namun saat ia sampai di depan kamar Agie, ia melihat kamar di samping, yaitu kamar miliknya sendiri terbuka lebar dan lampunya sudah menyala terang.

Ia berprasangka bahwa Daniel telah memasuki kamarnya tanpa ijin lagi. Ia pun mengabaikannya dan berniat mengomeli Daniel nanti, setelah mengganti pakaian Agie.

Ketika langkahnya berada dalam kamar Agie, Dante sempat melihat sepintas ada sebuah bayangan yang tadinya berada di atas tempat tidur kusut Agie.

Ia ingin menganggap itu hanya halusinasi. Tapi ada hal lain yang membuat perasaannya tidak nyaman.

Mainan yang tak terhitung jumlahnya berserakan di segala tempat, seakan kamar itu habis di rampok. Dan stiker-stiker kartun tertempel di dinding dan langit-langit.

Itu aneh. Tidak mungkin Agie yang melakukan. Pikirnya.

Dante lalu mengambil langkah akhir dari kamar bayi itu. Menghampiri ibunya sembari menggendong Agie dalam dekapan.

Di dapur, Dante kemudian menjelaskan pada ibunya yang sedang sibuk menyiapkan makan malam bersama seorang asisten rumah tangga baru.

Dante berkata bahwa rumah mereka mungkin saja telah dimasuki penyusup, perampok bersenjata, penculik, atau mungkin badut psikopat. Dan ia meminta agar ibunya membawa Agie ke tempat aman, sementara ia akan melawan penyusup itu.

Sang ibu justru tertawa dan mengatakan Dante terlalu banyak menonton film horor.

Namun Dante tetap bersikeras dan membuat ibunya menjadi kesal.

Si ibu lalu memeriksa kamar bayi kecilnya  itu sendiri, untuk memastikan apakah pengakuan anak sulungnya itu benar atau tidak.

Ketika si ibu pergi kesana dan melihat sekeliling, ia tak merasa ada yang aneh, tak ada tanda-tanda kamar itu dimasuki penyusup.

Dan benar saja, ketika Dante memeriksanya kembali, tidak ada apa-apa di sana. Mainan Agie sudah tersimpan rapih di tempatnya. Juga tak ada stiker di dinding dan di langit-langitnya. Semua nampak normal, semua nampak seperti biasanya.

Si ibu lalu mengomeli Dante dan menyuruhnya agar segera menggantikan pakaian Agie.

Dante tak bisa berkata-kata lagi. Ia menghela napas dan menggelengkan kepala atas kebodohannya. Hari ini mungkin dia hanya sedikit tegang dan banyak pikiran.

***

Setelah membacakan dongeng dan berhasil menidurkan adik kecilnya, Dante pergi ke dapur untuk merebus mie instan.

Ayahnya yang melihat itu cukup heran, karena tak biasanya Dante melakukan kegiatan itu. Memasak untuk dirinya sendiri.
Namun sang ayah tak mempersalahkan atau bertanya, ia hanya menganggap itu adalah perubahan yang baik bagi putra tertuanya.

Setelah mie-nya jadi, Dante hanya diam, menatap mangkuk di hadapannya penuh ragu.
Beberapa menit kemudian, ia mulai mengambil nafas panjang dan melahap semuanya dengan cepat.

Tapi setelah itu, ia tak merasakan apapun. Tak terjadi apa-apa padanya.
Tak seperti pengakuan Juni.

Dante kembali menghela napas, lalu bangkit berdiri dan menuju kamar mandi, melepas pakaian, kemudian berdiri di bawah shower dan menyalakannya. Membiarkan air turun membasahi tubuh atletisnya.

Setelah selesai, ia pun mematikan shower. Namun, air tak mau berhenti keluar dari sana.

Lubang pembuangan di lantai pun tersumbat, membuat air menggenang hingga pergelangan kakinya.

Dante yang masih berusaha menghentikan air mengalir dari shower, mulai kelelahan.

Dan ketika air sudah mencapai betisnya, Dante memutuskan untuk meminta bantuan orang lain saja. Ia lalu membuka pintu kaca di belakangnya, namun pintu itu tak mau terbuka.

Ia mulai panik. Ia mencoba mendobrak pintu itu sembari berteriak memanggil seseorang di luar.
Namun semua usahanya itu terasa sia-sia. Sementara air sudah naik mencapai pinggangnya, dan terus naik hingga membenamkan kepalanya.

Dalam sekejap Dante sudah tenggelam dalam shower box-nya sendiri.
Teriakannya segera berubah menjadi gelembung udara.

Sebuah bayangan hitam tiba-tiba terlihat menempelkan wajahnya di dinding kaca. Berjalan sembari mengawasi dari sisi ke sisi yang lain, tanpa berniat untuk menolong.

Dante menelan air dan mulai kehabisan nafas. Ia pun mengapung tak berdaya di dalam peti mati kacanya.

***

Udara dingin membangunkan Dante.
Dengan terengah, ia menekan dadanya yang terasa sesak dan mencoba menghirup udara sebanyak-banyaknya.

Setelah ritme nafasnya kembali teratur, Dante menyadari bahwa dirinya sudah berada di tempat yang berbeda.

Tempat yang belum pernah ia kunjungi sebelumnya.

Ia seperti berada di tengah belantara hutan yang gelap. Karena hanya pepohonan yang bisa ia lihat melalui pencahayaan sinar rembulan.

Ketika obor-obor menyala, Dante baru mengetahui, tempat yang saat ini ia duduki adalah sebuah kursi singgasana mewah dengan ornamen tengkorak hitam. Di sekelilingnya terdapat orang-orang bertudung yang juga hitam, sedang menunduk dan mematung sembari menggenggam obor.

Belum sempat ia mempelajari situasinya yang saat ini hanya tertutup jubah berwarna hitam berkilau keemasan, sesosok makhluk berwarna merah dengan sayap dan tanduk telah mendarat di pangkuannya.

Makhluk itu mengelus wajah Dante dengan tangannya yang kurus dan panjang, mencoba selembut mungkin agar kuku runcingnya tak melukai wajah tampan Dante.

Seseorang kemudian datang mendekat. Orang itu juga memakai tudung yang sama dengan yang lain.
Ia menghampiri Dante sembari mendorong sebuah kursi roda. Di atas kursi roda itu, terduduk seorang wanita muda dengan rambut beruban seputih salju. Sekilas ia terlihat mati, namun matanya sangat hidup dan terpaku ke arah Dante.
Kegilaan terasa memancar dari sorot matanya itu.

Saat gadis itu sudah berjarak 2 meter di hadapan Dante, mulut gadis itu terbuka sedikit dan menggumamkan sesuatu. Meski suaranya tak terdengar, namun Dante bisa membaca gerak bibirnya yang mengatakan, "tolong."

Dan saat rembulan menghilang di telan awan, sebuah pedang berkilau dihunuskan tepat ke arah leher gadis itu. Menggoroknya terbuka, mengeluarkan dengan deras cairan  kental berwarna merah yang ditampung dalam sebuah gelas wine.

Bersambung...

Devil's Squad (School Version)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang