A Cup of Coffee

462 41 31
                                    

Setelah memastikan jepitnya sudah terpasang rapi, perempuan berusia menjelang kepala tiga itu bergegas dari rumahnya. Sebelum itu, tentu dia sudah menghampiri orang tuanya untuk meminta restu. Mungkin sedikit lucu untuk seseorang yang harusnya sudah hidup sendiri, terlebih usianya sudah matang. Akan tetapi, dia memiliki prinsip lain. Baginya, berbakti kepada orang tua lebih penting daripada memikirkan kesenangan pribadi. Barangkali ini juga sebabnya dia masih betah menyendiri.

Teman-teman di kantor sebenarnya sudah sering menjodohkannya dengan orang lain. Biasa, candaan yang tidak ada selesainya. Dia tahu betul kalau mereka sebenarnya menginginkan yang terbaik untuknya, tetapi jodoh itu tidak bisa dipaksa, bukan?

Pekerjaannya bukan yang mentereng, justru sering dianggap sebelah mata oleh banyak orang. Namun, dia lebih menyukai bekerja di kantor polisi ini. Setelah sekian lama berpindah tempat kerja, baru kali ini dia mendapatkan lingkungan yang sangat suportif. Aneh, padahal teman-temannya bekerja sebagai polisi, tetapi mau melihatnya yang seorang office girl ini sebagai manusia. Sebagai saudara yang baik.

Mengingat itu, membuat air matanya menetes perlahan. Sungguh dia bersyukur bisa mendapatkan semua rezeki ini.

Tidak mau berlarut dalam tangis, dia menepuk pelan kedua pipinya. "Yuk, semangat-semangat! Demi Ayah dan Ibu."

Dia membuka pintu kantor. Masih belum ada yang datang, kecuali Gilang yang memang menetap di sana sebagai tahanan. Pria bertubuh besar itu juga masih tidur di dalam selnya.

Dengan sigap, dia mengambil sapu, pengki, dan serbet untuk mengelap debu. Perempuan itu bergegas ke ruang lobi untuk membersihkan ruangan tersebut sebelum ada yang datang.

Pertama yang datang adalah Wendi dan Andhika. Keduanya menyapa dan kadang menjahili perempuan itu dengan tebak-tebakan buah yang sama sekali tidak nyambung sebelum berjalan menuju meja kerja masing-masing.

Setelahnya, ada Komandan berikut Hesti. Tidak jauh berbeda dengan Wendy dan Andhika, mereka juga menyapa dengan ramah. Hesti bahkan mengajaknya cipika cipiki seperti ibu-ibu sosialita. "Jeng Ayu, apa kabar?"

"Ya ampun, Bu Hesti ada-ada aja. Saya baik," balasnya sembari tersenyum. Hesti juga ikut terkekeh pelan sebelum menuju biliknya.

Yang terakhir adalah Surya, orang yang sering dijahili koleganya untuk dijodohkan dengannya. Pria itu sudah absen beberapa hari ini karena sakit pencernaan. Mungkin juga kelelahan karena sering patroli malam, ditambah akhir-akhir ini banyak muda-mudi melakukan balapan liar di jalanan. Setelah menaruh jaketnya di ruang loker, dia memasuki lobi dengan agak lemas. "Pagi, Yu."

"Pagi. Masih belum sembuh banget, Pak?" Entah atas dasar keberanian apa hingga Ayu sanggup melakukannya. Sedetik kemudian, dia menyalahkan dirinya sendiri. Ngapain gue sok akrab gitu, batinnya.

"Enggak apa. Gue enggak enak kalau kelamaan bolos. Pan elu jadi kesepian," balas Surya.

Masih aja ini orang. Ayu menggeleng. Sudah jadi rahasia umum kalau mereka tidak pernah akur hingga disamakan dengan Tom and Jerry. Namun, kali ini Ayu tidak membalas. Perempuan itu tidak mau menimbulkan masalah, mengingat Surya masih sakit.

"Bikinin gue kopi, ya? Lu tahu yang gimana, kan?" tanya Surya, yang rupanya masih di sana.

Ayu langsung menggeleng lagi. "Ada-ada bae minta kopi. Pak Surya belum sembuh bener itu perutnya. Jangan nyari penyakit, lah."

Surya berkacak pinggang. "Bawel amat lu. Emang lu bini gue?"

"Bukan gitu, ya ampun!" Ayu jadi kesal sendiri. Disandarkannya sapu yang sedari tadi dipakainya itu ke dinding terdekat, dan dia kembali mengomel panjang, "Bapak kalau sakit lagi nanti enggak bisa kerja dengan baik. Terus kalau udah gitu, yang nanti disalahin Komandan siapa? Saya lagi, kan? Makanya, manut napa!"

"Kalau gue minta kopi, berarti gue udah baikan. Gitu aja, Yu. Oke?"

There's Something About YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang