Tentang Centaur (4)

225 20 8
                                    

Ingin sekali rasanya Ayu membolos hari ini, tetapi itu tidak mungkin. Surya akan mencarinya, bahkan kalau perlu sampai ke lubang cacing. Namun, dia langsung tersadar, mengapa dia yang harus lari? Sejak awal Surya sudah menyebalkan dengan pergi berlibur begitu saja. Harusnya dia yang lebih galak di sini. Ya, nanti Ayu akan mengomel panjang lebar di depan pria itu.

Saat berjalan menuju pantry, dia sudah dihadang pria dengan rompi hijau neon yang khas itu. Pria itu menyandarkan punggungnya di pintu masuk, benar-benar tidak mengizinkannya masuk. Matanya melihat sekilas pada Ayu, dan dia menangkap adanya perubahan pada perempuan itu. Ya, lagi-lagi, warna rambut perempuan itu berubah. Seperti anggota grup girlband Korea Selatan saja, pikirnya. Seingatnya, dua minggu lalu rambut Ayu masih cokelat keemasan.

"Pak, saya harus buatin kopi buat yang lain," ucap Ayu lembut. Sial, mengapa dia kembali takut dengan pria ini?

"Nih." Seperti biasa, tidak ada ucapan apa pun setelahnya, Surya memberikan gantungan kunci Disney kepada perempuan bersurai cokelat kehitaman tersebut.

"Hah? Apa ini, Pak Surya?" tanya Ayu heran. Sirna sudah ketakutannya.

"Kaleng sarden."

Ayu memanyunkan bibir. "Ini gantungan kunci, Pak."

"Itu tahu, make nanya lagi."

"Ya, enggak. Maksud saya, kenapa Bapak kasih saya gantungan kunci begini?"

"Eh, Sumarni, yang minta oleh-oleh dari Amerika siape?" tanya Surya jengkel.

Ayu terkekeh. Saat dia memberi tahu alasan Surya dimusuhi para petugas, dia sempat memaksa pria itu untuk memberinya oleh-oleh. Kalau tidak salah, saat itu Ayu benar-benar meluapkan kejengkelannya dengan berkata, "Mana oleh-olehnya? Udahlah pergi dadakan, enggak bawa oleh-oleh. Payah, hu!"

Astaga, bisa-bisanya dia lupa sudah berkata seperti itu!

"Eng, kirain Bapak enggak niat," ucap Ayu.

"Niat, lah. Kalau enggak niat, enggak bakalan gue beliin."

"Hm, cuman gantungan kunci? Jauh-jauh ke Amerika buat ngasih saya gantungan kunci?"

"Maunya banyak lu, ya?" Surya kembali jengkel, tetapi dia lalu tertawa kecil karena tahu kalau Ayu menjahilinya. Ya, sebenarnya mereka sering saling menjahili, dan ini juga yang dirindukannya selama ini. "Sebenarnya ada beberapa. Kalau lu enggak mau ini, gue ada yang lain."

Surya kembali merogoh saku di rompinya. Dia lalu mengeluarkan sebuah rautan pensil berbentuk replika Gunung Rushmore. Ada beberapa wajah presiden Amerika Serikat di sana, persis dengan tempat aslinya. "Nah, ini bisa buat lu rautin pensil alis, kan. Ini presiden Amerika Serikat, by the way, bukan muka-muka hokage di Konohagakure."

"Saya enggak nonton Naruto," jelas Ayu. "Ini enggak ada kaca kecilnya, ya, Pak? Yang biasanya buat ngintipin rok anak sekolah."

"Lu mau ngintipin siapa, Yu? Astaga, dosa itu." Surya menggeleng. "Atau ini. Menurut gue, ini yang lebih bagus."

Surya menaruh sesuatu di tangan Ayu, yang setelah dilihat lagi itu adalah dreamcatcher berukuran kecil. Ayu tersenyum, sebenarnya yang seperti ini banyak ditemui di Bali dan Yogyakarta. Namun, dia tahu ini tanda mata asli Suku Indian.

"Gue tahu dari Dhika kalau lu ada mendem dan mikir sesuatu. Yah, barangkali itu terbawa sampai lu enggak bisa tidur dengan baik. Ini, sih, cuman dugaan gue aja, ya, Yu. Gue juga enggak tahu tidur lu sebenarnya enak atau enggak." Surya menunduk. "Maksud gue, kemarin itu gue enggak ngabarin karena takut aja. Ya, emang gue aneh juga enggak ngomong apa-apa ke elu. Gue jujur mau ngabarin, tapi kita, kan, beda jam. Yah, sebenarnya bukan suatu excuse juga karena gue sering chatting sama Dhika dan Wendy. Eng, gimana, ya, gue jelasinnya?"

Ayu tertawa tiba-tiba, membuat Surya terkejut. Satu hal yang tidak diketahui pria itu bahwa Ayu juga tidak berinisiatif bertanya. Pada kenyataannya, mereka serupa. Mereka sama-sama takut jika kabar itu akan membuat mereka makin kikuk. Ayu tidak bertanya karena merasa dia bukanlah orang yang perlu tahu semua hal soal Surya, meskipun pada akhirnya jengkel sendiri karena tidak mendapat kabar apa pun dan menganggap pria itu ingin menghilang begitu saja dari dirinya. Sementara Surya sendiri tidak mengabari juga karena takut tindakannya akan dianggap hal yang aneh oleh Ayu, meski dia akhirnya merasa bersalah karena benar-benar tidak mengabari perempuan manis ini.

"Enggak usah dijelaskan. Saya sudah tahu, Pak." Ayu lalu tersenyum kecil.

"Jadi, maaf gue diterima?" tanya Surya pelan.

"Pfft! Bapak enggak salah apa-apa, kok. Kenapa harus minta maaf? Kita ... kita cuman salah paham aja. Dikit." Ayu lagi-lagi tersenyum. "Makasih banyak, ya, Pak."

"Oke, oleh-oleh sisanya gue taruh di pantry. Jangan sampai diambil anak-anak lain. Itu khusus buat lu aja," jelas Surya.

"Iya. Makasih, ya," ucap Ayu lagi. "Bapak baik banget ini."

Mendadak terbit ide jahil Surya. "Eh, gue enggak nerima ucapan terima kasih doang. Kasih balesan, dong."

Ayu melongo. Ternyata orang ini tidak tulus sama sekali. Apa karmanya juga yang meminta uang kepada teman-temannya kemarin saat mereka mengambil oleh-oleh dari Arab Saudi? Itu dibawanya karena dia sempat umrah beberapa minggu.

"Apa, Pak? Buatin kopi tiap hari? Itu enggak usah dibawain oleh-oleh juga udah jadi tugas saya," jelas Ayu.

"Yah, yang istimewa, kek. Udah gue bawain segala macem, udah gue minta maaf, masa gini aja?"

Ayu langsung kesal. "HAH?"

"Enggak, enggak jadi. Udah dulu, gue mau balik susun laporan." Surya berlalu dari pintu pantry, disertai tatapan jengkel Ayu. 

***

(Catatan Penulis: di atas itu adalah bentuk dari rautan pensil yang dibawa Surya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

(Catatan Penulis: di atas itu adalah bentuk dari rautan pensil yang dibawa Surya. Iya, persis gitu. Receh emang wkwk)

There's Something About YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang